Menko Airlangga Sebut RI Patut Miliki Kewaspadaan Tinggi Hadapi Stagflasi Global
JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto mengingatkan, perekonomian nasional patut memiliki kewaspadaan tinggi dan bersiap menghadapi potensi stagflasi global.
“Mencermati tingginya ketidakpastian perekonomian global maka perekonomian nasional patut untuk memiliki kewaspadaan tinggi,” kata Airlangga dikutip dari Antara, Jumat, 9 Desember.
Kewaspadaan perlu ditingkatkan karena memasuki kuartal terakhir 2022 ternyata perekonomian global masih terus menghadapi hantaman perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi global oleh sejumlah lembaga internasional memperlihatkan untuk tahun ini akan berada pada rentang 2,8 persen sampai 3,2 persen.
Bahkan, lanjutnya, terpangkas tajam untuk tahun depan dari yang semula diharapkan bertengger pada rentang 2,9 persen sampai 3,3 persen menjadi hanya 2,2 persen sampai 2,7 persen.
Kemampuan perekonomian global untuk pulih dari pandemi COVID-19 juga ditambah dengan tantangan terkini berupa lonjakan inflasi, pengetatan likuiditas dan suku bunga, stagflasi, gejolak geopolitik, climate change serta krisis sektor energi, pangan dan finansial.
Ketidakpastian yang tinggi akibat dari kondisi ini pun menempatkan perekonomian global berada dalam pusaran badai yang sempurna atau the perfect storm sehingga mengakibatkan munculnya ancaman resesi global pada 2023.
"Pandemi COVID-19 menunjukkan kepada kita bahwa global solidarity bukan hanya jargon. Tidak ada yang benar-benar aman sampai seluruh dunia aman," ujar Airlangga.
Sinyal pelemahan ekonomi global turut tercermin dari kembali melambatnya Purchasing Managers’ Index (PMI) global yang berada di level kontraksi 48,8 pada November 2022 setelah pada bulan sebelumnya tercatat 49,9.
Banyak negara yang secara teknis telah memasuki level kontraksi PMI sejak Juli 2022 bahkan hingga November seperti China 49,4, Inggris 46,5, Amerika Serikat 47,7, Jepang 49 dan Jerman 46,2.
Meski tekanan pada sisi harga mulai mereda, penurunan kinerja manufaktur secara global di antaranya juga merupakan imbas dari pelemahan indeks output serta terbitnya kekhawatiran sektor manufaktur terhadap prospek perekonomian ke depan.
Meski demikian, pertumbuhan seluruh sektor manufaktur ASEAN pada November 2022 tetap terjaga di level optimis yaitu 50,7 bahkan sebagian besar menunjukkan tingkat ekspansi seperti Singapura 56, Filipina 52,7, Thailand 51,1 dan Indonesia 50,3.
Sementara terjadinya supply disruption terutama pada sektor energi dan pangan akibat pandemi dan gejolak geopolitik telah membuat tingkat inflasi global merangkak naik pada level tinggi.
Lonjakan inflasi yang kemudian direspons sejumlah negara dengan memberlakukan pengetatan kebijakan moneter melalui peningkatan suku bunga pada akhirnya memberikan tekanan lebih kepada perekonomian global.
Baca juga:
- Soal Impor Gula Rafinasi, Mendag Zulhas: Izinnya Belum Ada
- Atasi Investor yang Masih Berat Hati Tanam Modal di Indonesia, Pemerintah Perlu Beri Jaminan Kemudahan Investasi
- Konsumsi Rumah Tangga Tetap Kuat dan Investasi Bakal Menggeliat, Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia pada 2023 Masih di Jalur Positif
Pada Oktober 2022, inflasi tinggi tercatat masih terjadi di sejumlah negara seperti Argentina 88 persen, Turki 85,5 persen, Rusia 12,6 persen, Italia 11,9 persen, Inggris 11,1 persen dan Uni Eropa 10,7 persen.
“Second round effect tingkat inflasi yang tinggi tersebut akan dirasakan pada stabilisasi neraca perdagangan akibat penurunan permintaan ekspor,” kata Airlangga.
Berbagai tekanan tersebut akan membawa potensi stagflasi serta tantangan lain seperti pelemahan pasar tenaga kerja global karena penurunan upah riil serta permintaan kredit.