Pengamat Nilai Industri Kecil dan Menengah Perlu Dibebaskan dari Cukai Minuman Berpemanis
JAKARTA - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran menilai industri kecil dan menengah (IKM) perlu dibebaskan dari cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) untuk mencegah penurunan volume penjualan dan kenaikan harga.
"Cukai MBDK merupakan wacana lama yang implementasinya direncanakan pada tahun 2023. Target pencanangan tersebut mempertimbangkan kondisi pemulihan ekonomi nasional dan daya beli masyarakat," kata Hasran dikutip dari Antara, Selasa, 22 November.
Hasran menuturkan kebijakan ini juga menambah beban konsumen karena cukai akan didistribusikan ke konsumen secara langsung melalui instrumen kenaikan harga sehingga dikhawatirkan berpotensi mengurangi minat konsumen dalam mengonsumsi produk.
Pengenaan tarif cukai minuman berpemanis akan didasarkan pada kandungan gula dan pemanis buatan yang terdapat di dalamnya. Maka, semakin tinggi kadar gulanya maka akan semakin tinggi juga besaran cukai yang akan dikenakan.
Lantaran hal tersebut, kemungkinan besar industri besar dan sedang (IBS) sektor makanan minuman akan memilih untuk mereformulasi produknya dengan kadar gula yang lebih rendah.
Namun, perusahaan juga membutuhkan waktu untuk mengambil langkah ini mengingat risiko yang ditimbulkan juga cukup signifikan.
Sejauh ini posisi IKM sektor makanan minuman dalam cukai MBDK masih belum jelas karena subjek cukai MBDK masih belum ditetapkan.
Namun, apabila subjeknya diperluas ke IKM, kebijakan ini akan menambah beban yang ditimbulkan oleh pandemi dan kenaikan harga BBM bersubsidi.
"Pemerintah perlu memberikan kepastian waktu penerapan cukai MBDK terlepas dari kondisi apapun yang akan dihadapi Indonesia. Kepastian waktu ini juga penting untuk menghilangkan uncertainty atau ketidakpastian yang berpotensi mempengaruhi sikap investor IBS sektor makanan minuman," katanya.
Data BPS menunjukkan industri makanan minuman merupakan salah satu industri yang tumbuh positif selama pandemi COVID-19.
Selama empat triwulan berturut-turut di tahun 2020, kontribusinya terhadap PDB indonesia tumbuh masing-masing sebesar 3,94 persen, 0,22 persen, 0,66 persen dan 1,66 persen secara tahunan (yoy).
Namun, peningkatan ini ditopang oleh pertumbuhan pada IBS yang hanya 1 persen dari total unit usaha industri makanan minuman di seluruh Indonesia.
Seiring dengan melandanya pandemi Covid-19 pada 2020, banyak IKM sektor makanan minuman berhenti beroperasi.
Baca juga:
- Mengenal Tim PDKB PLN, Rela Bertaruh Nyawa demi Listrik Tetap Menyala
- Capaian TKDN PLN hingga 30 September 2022 Sebesar 48,8 Persen
- Toraja Jamin Keterisian Penumpang hingga 70 Persen, Menhub Budi Karya Ajak Pemda Lainnya Beri Stimulus ke Sektor Penerbangan
- RUU Migas jadi Barometer Keseriusan Jalankan Transisi Energi
Data BPS menunjukkan di 2020, industri kecil dana mikro sektor minuman mengalami penurunan produksi selama empat triwulan berturut-turut pada tahun 2020.
Begitu juga dengan IBS sektor makanan mengalami penurunan produksi tiap triwulannya.
"Ketika ekonomi nasional mulai pulih, banyak pelaku usaha sektor ini yang kembali mengoperasikan usahanya. Namun mereka kembali dihadapkan dengan tantangan lain, seperti kenaikan harga BBM bersubsidi. Tarif MBDK yang akan diberlakukan nanti sudah pasti akan semakin menambah beban pada biaya produksi," imbuh Hasran.