Eksklusif, Ketua Forum Rektor Indonesia Panut Mulyono, Penerimaan Masuk PTN Harus Ditata Ulang
Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kerap menyasar pejabat, politisi dan pengusaha. Tapi kali ini yang menjadi sasaran adalah Rektor Universitas Negeri Lampung (Unila) dan sejumlah jajarannya. Sebagai Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng., IPU, ASEAN Eng., benar-benar terkejut. Ia tak menyangka perbuatan itu dilakukan oleh sejawatnya. Menurut dia proses penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri (PTN) khususnya jalur mandiri harus ditata ulang.
***
Seperti petir di siang bolong, komisi anti rasuah Indonesia mengarahkan radarnya ke institusi pendidikan tinggi. Kali ini yang disasar adalah salah satu perguruan tinggi negeri (PTN). Lembaga pendidikan tinggi semestinya menjalankan tujuan luhur pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, ternyata pemimpinnya tak tahan godaan. Mereka tergiur untuk menyalahgunakan kewenangannya demi keuntungan pribadi. Adalah Rektor Universitas Negeri Lampung (Unila) Prof. Dr. Karomani, M.Si., beserta sejumlah jajarannya terjaring dalam operasi tangkap tangan oleh KPK pada Sabtu 20 Agustus 2022.
Ikut ditangkap dalam perkara ini Kepala Biro Perencanaan dan Hubungan Masyarakat Unila Budi Sutomo, dan Ketua Senat Unila Muhammad Basri yang ditangkap di Bandung. Sedangkan Mualimin (dosen), Dekan Fakultas Teknik Unila Helmy Fitriawan, dan Wakil Rektor I Bidang Akademik Unila Heryandi terjaring di Lampung. Selain itu ditangkap juga ajudan Karomani, Adi Triwibowo yang terjaring di Bandung dan Andi Desfiandi, pihak swasta yang ditangkap di Bali. Dari sekian yang ditangkap, empat orang sudah berstatus sebagai tersangka, yaitu Karomani, Heryandi, Muhammad Basri dan Andi Desfiandi.
Sebagai Ketua FRI, Panut Mulyono berharap publik untuk tidak mengeneralisir semua rektor sama, seperti yang menimpa Karomani dan kawan-kawan. Karena masih banyak rektor dan akademisi PTN yang punya integritas dan menjunjung tinggi kejujuran dalam proses penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri. “Namun seperti kata pepatah, karena nila setitik rusaklah susu sebelanga. Ini yang menyedihkan kami semua. Kami sedih, prihatin karena hal ini mencoreng, menodai citra perguruan tinggi dan mengusik rasa keadilan,” katanya.
Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Masa Bakti Mei 2017–Mei 2022 ini makin sedih, karena peristiwa ini terjadi di ujung kepemimpinannya sebagai ketua organisasi tempat bernaungnya para rektor dan pemimpin perguruan tinggi negeri dan swasta di tanah air. Soalnya pada bulan Oktober 2022 ini akan dilakukan pergantian kepemimpinan di FRI. “Sekarang kasus ini sudah di tangan penegak hukum kita ikuti saja prosesnya. FRI tidak akan melakukan intervensi, soal sanksi dari perbuatan yang dilakukan kita tinggal mengikuti aturan hukum yang ada,” tukasnya.
Selama ini dikenal ada tiga jalur masuk PTN. Yaitu Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) yaitu seleksi masuk perguruan tinggi melalui nilai rapor dan prestasi akademik. Lalu ada Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) yang merupakan seleksi bersama untuk penerimaan mahasiswa baru di lingkungan perguruan tinggi negeri menggunakan pola ujian tertulis secara nasional. Dan ketiga ada jalur penerimaan jalur mandiri yang di Unila dikenal dengan nama Simanila.
Menurut Panut Mulyono memang rektor PTN diberikan diskresi untuk menentukan siapa yang bisa diterima di PTN. Namun pertimbangannya tetap kemampuan akademik, bukan besar kecilnya jumlah sumbangan yang diberikan orang tua calon mahasiswa. Dibukanya jalur mandiri ini dimungkinkan bagi pimpinan PTN memberikan afirmasi untuk anak berkebutuhan khusus, yang memiliki prestasi dalam bidang seni, olahraga dan sains untuk masuk PTN.
Karena itu dengan OTT KPK di Unila ini ia berharap penerimaan masuk PTN khususnya jalur mandiri harus ditata ulang. “Sikap kami meminta agar kejadian di Unila ini tidak terulang agar marwah perguruan tinggi kembali seperti harapan kita. FRI mendorong pemimpin PTN untuk mengevaluasi dan memperbaiki tata kelola penerimaan seleksi mandiri untuk menjamin rasa keadilan, akuntabilitas, transparansi serta menghindarkan diri dari praktik koruptif,” katanya kepada Edy Suherli dari VOI yang melakukan wawancara secara daring belum lama ini. Inilah petikan selengkapnya.
Dunia pendidikan kita kembali menjadi pusat perhatian setelah terjadi OTT KPK atas Rektor Unila Karomani dan sejumlah orang lainnya yang juga sebagai akademisi Unila, sedemikan rusaknya dunia pendidikan kita sehingga terjadi kasus korupsi ini terbongkar, bagaimana pendapat Anda sebagai pendidik dan Ketua Forum Rektor Indonesia?
Kalau saya berani mengatakan pendidikan tinggi kita tidak seburuk itu, OTT KPK pada salah seorang rektor itu bukan cerminan begitulah dunia pendidikan kita khususnya perguruan tinggi. Kalau ada kecurangan itu lebih pada integritas pemimpin perguruan tinggi tersebut, tidak bisa digeneralisir untuk semua. Karena masih banyak pemimpin perguruan tinggi yang punya integritas bagus. Banyak sekali yang punya visi dan misi untuk pendidikan Indonesia ke depan yang lebih maju. Sebuah kasus tidak bisa disamaratakan.
Namun demikian seperti kata pepatah, karena nila setitik rusak susu sebelanga. Ini yang menyedihkan kami semua. Kami prihatin karena hal ini mencoreng citra perguruan tinggi dan mengusik rasa keadilan.
Untuk kasus OTT Rektor Unila ini apakah bisa disandingkan dengan fenomena gunung es?
Kalau dikatakan ini seperti fenomena gunung es kemungkinan ada. Tetapi saya tidak punya data soal jenis-jenis kecurangan apa saja yang kerap terjadi.
Apa maksud diadakannya seleksi masuk PTN lewat jalur mandiri?
Seleksi mandiri di perguruan tinggi negeri (PTN) itu diadakan demi tujuan mulia. Lewat seleksi jalur mandiri ini memberikan diskresi kepada para pemimpin perguruan tinggi untuk mengambil keputusan dan melakukan afirmasi yang tujuannya mulia. Misalnya untuk memberikan afirmasi kepada anak-anak kita yang memiliki kebutuhan khusus. Atau mereka yang pendidikan menengah atasnya kurang bagus, sehingga sulit bersaing secara bebas dengan sekolah lain (di kota) dengan basis nilai. Lalu bisa juga memfasilitasi anak-anak yang memiliki prestasi dalam bidang seni, olahraga dan sains (olimpiade sains). Mereka ini kita beri “kemudahan” untuk masuk ke PTN. Jadi tujuan diadakannya jalur mendiri itu untuk inklusifitas, pemerataan dan tujuan mulia yang lain.
Seleksi mandiri diperkenankan memungut biaya di luar uang kuliah tunggal (UKT), berupa sumbangan dari orang tua calon mahasiswa memang ada aturannya. Untuk hal seperti ini harus akuntabel, transparan dan peruntukannya jelas untuk pengembangan institusi, dan untuk subsidi silang.
Jadi dalam konteks OTT Rektor Unila ini menyalahi aturan, tidak sejalan dengan tujuan diadakannya seleksi mandiri?
Ya begitulah, dari sisi siapa yang membayar, masuknya ke mana, apalagi dikaitkan dengan diterima atau tidaknya seorang mahasiwa di sebuah PTN itu jelas menyalahi aturan. Karena sebetulnya calon mahasiswa masuk atau lulus seleksi berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan. Untuk mereka yang sudah dinyatakan lulus baru dikemukakan soal sumbangan. Bukan mereka yang bisa membayar lalu dipertimbangkan untuk diterima. Dan sumbangan itu bukan ke pemimpin perguruan tinggi, tapi ke institusi.
PTN tidak bisa dibandingkan dengan penerimaan mahasiswa di PTS, yang sumbangan itu amat menentukan, menurut Anda?
Ya tidak boleh, karena kita (PTN) adalah institusi pemerintah, sehingga siapa saja mahasiswa yang diterima harus ada kriterianya. Bukan siapa yang bisa membayar banyak lalu diterima. Setelah mahasiswa diterima baru disodorkan untuk memberikan sumbangan selain UKT yang harus dibayar tiap mahasiswa.
Seleksi jalur mandiri ini sebenarnya juga berdasarkan nilai seperti halnya SNMPTN dan SBMPTN?
Untuk SNMPTN dan SBMPTN murni nilai, tidak ada yang afirmasi. Untuk jalur mandiri, kita bisa menentukan kriterianya, namun untuk menjamin agar anak yang terima itu bisa sukses pendidikannya harus dilakukan pendampingan oleh PTN yang menerima. Demi pemerataan pendidikan bisa mengambil anak-anak yang sekolahnya di perbatasan atau terpencil. Kualitas pendidikannya jelas berbeda dengan yang bersekolah di kota dengan fasilitas memadai. Konsekwensinya dari PTN menyediakan matrikulasi, ada pendampingan, untuk mereka. Jadi meski nilai awal mereka tidak sebaik nilai mahasiswa yang masuk lewat tes, diharapkan mereka bisa mengikuti dan menyelesaikan studi. Ada banyak yang setelah matrikulasi, pendampingan bisa mengejar dan nilainya bagus. Soalnya semasa di SMA/SMK siswa kurang baik karena fasilitas kurang, mendapat bimbingan dari guru yang kompeten penguasaan materinya menjadi kurang.
Kalau tidak ada jalur mandiri, yang masuk UGM dan PTN lainnya hanya mereka yang berasal dari Jawa dan kota besar lainnya. Tidak ada pemerataan. Itulah tujuan mulia dari jalur mandiri itu.
Ada suara minor, setelah OTT KPK di Unila, yang bilang agar jalur mandiri ini dihentikan, apa tanggapan Anda?
Kalau ada yang mengusulkan penghentian jalur mandiri, ayo kita kaji, dievaluasi dan diskusikan lagi. Kalau memang itu yang mau diambil harus ada juga alternatif solusinya. Apa yang bisa mengakomodir tujuan baik dan mulia seperti yang menjadi landasan awal penerimaan jalur mandiri. Prinsipnya perubahan terhadap suatu sistem harus menyediakan fasilitas baru untuk menjalankan tujuan baik yang ada di sistem itu.
Saat masih menjadi rektor UGM bagaimana pengawasan dan transparansi penerimaan jalur mandiri?
Kewenangan untuk seleksi jalur mandiri itu dari kewenangan pimpinan PTN masing-masing. Untuk UGM sampai saya menyelesaikan masa bakti sebagai rektor akhir Mei 2022, yang ikut tes jalur mandiri tidak ada pungutan lain selain UKT. Kecuali untuk yang kerjasama, seperti dari pemda, instansi atau perusahaan tertentu yang mengirimkan calon mahasiswa terbaiknya. Uang sumbangan dan UKT dibayarkan oleh pemda atau instansi tersebut. Dalam penerimaan jalur mandiri ini penentu utamanya itu kemampuan akademik.
Untuk penerimaan mahasiswa baru 2022-2023 sekarang, rektor UGM yang baru menjabat mengenakan sumbangan sukarela pengembangan institusi. Sumbangan ini tidak ada ikatan, karena diedarkan setelah mahasiswa diterima. Sumbangan yang masuk semuanya jelas dan transparan digunakan untuk apa saja. Ada audit internal dan eksternal untuk ini.
Jadi faktor utama untuk terima di jalur mandiri itu bukan sumbangan?
Bukan, faktor utama adalah kemampuan akademik. Tapi seleksi akademik ini tidak bisa disamaratakan dengan metode yang sama, anak-anak yang berasal dari SMA/SMK kurang baik karena fasilitasnya kurang, sulit bersaing dengan mereka yang berasal dari sekolah yang fasilitasnya memadai. Misalnya seorang siswa dari daerah terpencil, dia yang terbaik di sekolahnya. Anak ini bisa masuk di perguruan tinggi kita, kemudian di-upgrade lewat matrikulasi dan pendampingan untuk menguasai ilmu-ilmu yang belum dikuasai saat di SMA.
Untuk wilayah Indonesia yang luas dan kualitas pendidikan yang tidak rata pola penerimaan mahasiswa seperti apa yang ideal?
Menurut saya afirmasi tetap bisa dilakukan. Lalu soal biaya pelaksanaan pendidikan di PTN selama bisa dipenuhi oleh pemerintah atau lembaga tertentu, tidak perlu ada sumbangan. Cuma selama ini ada defisit, itulah yang diselesaikan dengan subsidi silang lewat sumbangan orang tua.
Misalnya untuk “mencetak” seorang sarjana Teknik Kimia, dibutuhkan dana Rp10,5 juta per semesternya. Tapi tidak semua bisa membayar sejumlah itu. Kalau dirata-rata kemampuan bayarnya itu Rp6juta. Jadi ada defisit Rp4,5juta per anak setiap semesternya. Sumbangan itu ada karena persoalan ini. Ada subsidi silang antara yang punya dengan yang tidak punya. Kalau defisit itu bisa ditutup oleh pemerintah atau pihak-pihak yang bisa bekerjasama dengan kampus, tidak perlu ada sumbangan. Itu gambaran umum untuk Fakultas Teknik Kimia, untuk Fakultas Kedokteran defisitnya lebih besar lagi.
Baca juga:
Kalau kita lihat postur APBN kita, alokasi untuk Pendidikan itu cukup besar, pertanyaannya apakah itu sampai ke PTN?
Postur anggaran Kemendikbudristek 2021, alokasi anggaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Diktiristek) sebesar Rp31,2 triliun. Anggaran tersebut tidak besar jika digunakan antara lain untuk 122 PTN dan 3.044 PTS. Dari pagu anggaran untuk fungsi pendidikan tahun 2021 sebesar Rp550 triliun (20 persen APBN), Kemendikbudristek yang di dalamnya ada Ditjen Diktiristek mendapat Rp81,5 triliun, sedangkan Kementrian Agama mendapat Rp55,85 triliun, kementrian/lembaga lain Rp23 triliun, dan transfer ke daerah Rp299 triliun. Jadi sebenarnya anggaran untuk PTN tidak mencukupi. Sedangkan postur Rencana Kegiatan dan Anggaran Tahunan (RKAT) UGM tahun 2021 penerimaan dana dari pemerintah sebesar 36,73 persen.
Jadi anggaran dari pemerintah itu kurang. Lalu untuk menutupinya dari mana, ada yang dari UKT mahasiswa, kerjasama dengan instansi tertentu, dll. Anggaran memang besar untuk pendidikan tapi dibagi-bagi untuk sekian banyak itu sampainya tidak besar.
Di Forum Rektor Indonesia (FRI) sendiri apa hal krusial yang dibicarakan soal penerimaan mahasiswa baru?
FRI itu bukan pengawas atau lembaga akreditasi, tapi lebih ke perkumpulan untuk membahas bagaimana perguruan tinggi itu harus dikembangkan, bagaimana perguruan tinggi di dalam negeri ini saling bekerjasama dan saling memberi. Jadi bagaimana tata kelola perguruan tinggi itu bisa lebih baik.
Perguruan tinggi itu seharusnya membangun kekuatan moral yang mengedepankan aspek etika dan moral dalam seluruh aktivitas dan kegiatan, ini sering kita diskusikan. Karena itu saat ada penyimpangan (OTT KPK Rektor Unila) kita tidak mengira hal ini terjadi.
Kami FRI mengeluarkan sikap soal penerimaan mahasiswa jalur mandiri di PTN, sikap kami meminta agar kejadian di Unila ini tidak terulang agar marwah perguruan tinggi kembali seperti harapan kita. FRI mendorong pemimpin PTN untuk mengevaluasi dan memperbaiki tata kelola penerimaan seleksi mandiri untuk menjamin rasa keadilan, akuntabilitas, transparansi serta menghindarkan diri dari praktik koruptif. Kami juga mengajak pemimpin perguruan tinggi untuk menjaga marwah sebagai garda terdepan dalam menjunjung tinggi etika dan integritas moral. FRI juga menjaga rasa kebersamaan demi terciptanya tujuan pendidikan nasional Indonesia.
Pendidikan yang baik itu adalah paspor untuk menuju kejayaan sebuah bangsa. Pendidikan itu harus dikelola secara berkelanjutan dan selalu berinovasi. Tidak boleh menyelesaikan masalah dengan emosi. Perbaikan harus, tapi harus dengan bijaksana.
Oke, kita tunggu bagaimana proses hukum untuk rektor Unila dan beberapa akademisi dari kampus itu yang terkena OTT KPK
Karena persoalan sudah di ranah hukum kita hormati prosesnya, kita tidak akan intervensi. Biarlah porsesnya berjalan jujur, transparan dan berbasis fakta. Soal sanksi dari perbuatan yang dilakukan kita tinggal mengikuti aturan hukum yang ada. Semoga ini bisa menjadi warning bagi mereka yang ingin berbuat tidak baik. Bisa jadi pembelajaran bagi pemimpin perguruan tinggi dan semua pihak dan bisa mengambil hikmah dari kejadian ini.
Ini Kiat Sehat Ala Profesor Panut Mulyono
Sibuk dengan aktivitas sebagai Guru Besar, Ketua Forum Rektor Indonsia (FRI) dan aktivitas lainnya tak membuat Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng., IPU, ASEAN Eng., abai dengan kesehatan. Ia punya cara sendiri agar kesehatannya tetap prima dan tugas-tugas bisa diselesaikan dengan baik. Berolahraga dan melakoni aktivitas bermusik menjadi pilihannya dalam menjaga kesehatan.
Setelah purnatugas sebagai Rektor UGM Masa Bakti Mei 2017 – Mei 2022 ia kembali lagi sibuk mengajar. “Saya prinsipnya menjalankan tugas dengan baik. Setelah tidak lagi menjabat sebagai rektor saya ditugaskan kembali ke kampus Teknik Kimia UGM. Setiap pagi dari Selasa sampai Jumat saya mengajar,” ungkap Panut yang pernah mengajar antara lain mata kuliah Perpindahan Panas, Analisis dan Optimasi Sistem Teknik Kimia, dan sejumlah mata kuliah lainnya.
Kembali ke habitannya selama ini membuat kebahagiaan tersendiri bagi Guru Besar Fakultas Teknik Kimia UGM ini. “Saya senang sekali bisa lebih banyak waktu mengajar lagi. Setiap pagi bisa bertemu dengan adik-adik mahasiswa. Selain berbagi ilmu, bisa juga bercerita berbagai hal pada mereka,” lanjutnya.
Di luar mengajar Panut punya hobi bermain tenis untuk menjaga kesehatannya. “Sore nanti saya ada jadwal main tenis. Kalau teman-teman main band saya ikut menyumbangkan lagu. Pokoknya kita bernyanyi saja meski suaranya sumbang. Kegiatan itu yang membuat saya senang selain mengajar,” kata pria yang juga bergabung dalam organisasi Persatuan Insinyur Indonesia (PII) dan The Society of Chemical Engineers of Japan (SCEJ).
Saat masih menjadi rektor, Panut hanya bisa menyisihkan waktunya sekali dalam sepekan untuk bermain tenis. Setelah tak menjadi rektor, waktunya untuk bermain tenis bisa lebih banyak lagi. “Dulu saat masih rektor saya cuma bisa setiap Sabtu pagi dalam sepekan. Sekarang sudah bisa dua kali, Rabu sore saya juga main tenis. Saya bermain dengan profesor di UGM, dosen muda bahkan mahasiswa. Kalau sudah di lapangan juga guyon dan bercanda. Jadi itu yang bikin happy dan sehat,” kata pria yang pernah mendapat predikat sebagai Dosen Teladan I, Fakultas Teknik UGM pada tahun 1996.
Untuk musik ternyata bermula saat dia menjadi dekan Fakultas Teknik Kimia. “Waktu Pak Wikan Sakarinto masih menjadi Dekan di UGM, dia punya grup band. Saat mereka bermain saya ikut meramaikan dengan bernyanyi,” lanjutnya.
Setiap tahun UGM sebagai alamaternya menyediakan MCU (medical check up) untuk tenaga akademik yang berusia 40 tahun ke atas dan spesial pemeriksaan untuk usia 50 tahun lebih. Momen ini selalu diikuti oleh Panut. Bahkan ia mengikuti saran seorang sahabat untuk mencatat hasil MCU sebelum dan sesudah menjadi rektor. “Saran itu saya turuti dan setelah dibandingkan hasil MCU setiap tahunnya tidak ada perubahan yang berarti, stabil saja,” kata Panut yang sudah menghasilkan puluhan karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal nasional dan internasional.
Beban dalam hidup ini lanjutnya, harus bisa disikapi dengan bijaksana. “Semua orang punya beban hidupnya masing-masing. Semua orang bebannya berat, tak hanya rektor, ketua FRI dan lain-lain. Dosen pun bebannya juga berat. Harus pandai membagi waktu agar problem itu bisa diselesaikan,” tegas pria yang sudah menulis buku berjudul Analisis Sistem Teknik Kimia dan juga buku lainnya dengan judul Ekonomi Teknik.
Solidaritas
Karena hasil MCU setiap tahunnya masih relatif aman. Dokter yang memeriksa, kata Panut tidak menyarankan dia untuk mengurangi asupan makanan tertentu. Cuma karena istri tercinta sudah mulai mengurangi asupan makanan yang tinggi kadar gulanya seperti nasi, ia ikut solidaritas dan menemani sang istri; Ir. Nur Indrianti, M.T., D.Eng., IPU, ASEAN Eng. “Sebagai bentuk solidaritas saya juga ikut tidak mengonsumsi nasi kalau di rumah. Tap kalau di kampus saat jam istrirahat ada nasi saya masih bisa mengonsumsinya. Juga kalau ada undangan atau ajakan makan dari sahabat saya masih bisa makan nasi,” kata Panut yang mengganti asupan karbohidrat dari singkong, ubi, dan pisang jika di rumah.
Meski tidak ada pantangan makanan tertentu ia sadar kalau makan tidak boleh berlebihan. “Daging saya masih makan dan juga yang lainnya, tapi kuncinya tidak boleh berlebihan. Kalau yang kebanyakan itu bisa berdampak tidak baik bagi tubuh,” ungkapnya.
Karena kedua anaknya sudah menyelesaikan studi dan bekerja di kota lain, tinggal ia dan istri yang tinggal di kediamannya di Yogyakarta. “Anak pertama saya; Aji Resindra Widya, S.T., M.Eng., D.Eng., setelah menyelesaikan S1 dari Teknik Elektro UGM melanjutkan ke Tokyo University of Teknology. Rampung S2 dan S3 ia bekerja di perusahaan elektornik SONY di Tokyo,” katanya.
Sedangkan anak keduanya, Dyah Ayu Permatasari, S.T., M.Mgt. mengikuti jejaknya kuliah Fakultas Teknik Kimia. “Selesai S1 Teknik Kimia UGM dia melanjukan ke Melbourne University mengambil program studi bisnis. Sekarang dia mengabdi di Bank Indonesia di Jakarta,” katanya.
Sehari-hari, di rumah Panut hanya bersama istri dan ART yang membantu mereka. Karena istri juga mengajar, ia lebih banyak mengabdikan diri untuk masyarakat dan negara. “Saya sebagai guru mengajar dan membimbing mahasiswa dengan harapan bisa menjadi orang baik dan punya kontribusi untuk pembangunan bangsa,” kata Panut Mulyono menyudahi perbincangan,
“Namun demikian seperti kata pepatah, karena nila setitik rusak susu sebelanga. Ini yang menyedihkan kami semua. Kami prihatin karena hal ini mencoreng citra perguruan tinggi dan mengusik rasa keadilan,”