Menggugat Nama Jalan Daendels demi Mengingat Jasa Diponegoro

JAKARTA - Sejarawan JJ Rizal pernah mengungkap perasaan tentang apatisnya orang-orang modern menggali wawasan soal nama-nama jalan. Bukan apa-apa. Baginya, nama jalan adalah identitas yang penting untuk mempertegas rangkuman peristiwa yang pernah terjadi terkait sebuah tempat.

Keresahan JJ Rizal beralasan. Sebuah kasus pernah terjadi di Ibu Kota pada 2018 silam. Kala itu, Gubernur Anies Baswedan dan wakilnya Sandiaga Uno berwacana mengganti nama Jalan Warung Buncit menjadi Jalan AH Nasution. Wacana itu urung menyusul kontroversi yang mengemuka.

“Nama jalan sering dianggap bukan sesuatu yang penting. Aneh memang, kalau tidak dapat dikatakan ironis. Sebab, hal itu terjadi justru ditengah semangat menggebu menemukan simbol dan identitas seiring kota-kota di Indonesia keranjingan menggarap proyek mentereng city branding,” kata JJ menggambarkan fenomena yang ia tangkap.

Soal nama jalan dan pelik kisah di baliknya, kita bisa merujuk pada Jalan Daendels. Sejak nama, jalan ini telah memancing banyak kekeliruan. Kala mendengar nama Daendels, banyak orang yang langsung mengasosiasikan sosok Marsekal Guntur alias Gubernur Jenderal Herman Williem Daendels yang dalam kepemimpinannya berhasil membangun megaproyek Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) melintang dari Anyer hingga Panarukan.

Namun, kita tak akan membahas kisah Sang Gubernur Jenderal dan jalan yang tersebut. Jalan Daendels yang akan kita bahas adalah jalan yang membelah sisi yang berbeda meski keduanya sama-sama berada di Pulau Jawa. Jalan Daendels ini melintang di sepanjang Jalur Pantai Selatan sepanjang 130 kilometer dari Kabupaten Cilacap di ujung barat Jawa Tengah hingga Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Jalan ini mengambil nama dari seorang asisten residen di wilayah Ambal ketika itu, A.D Daendels. Ia mengawali kiprahnya di tahun 1838. Dua Daendels bagai langit dan bumi. H.W Daendels yang sempat membuat kas Hindia-Belanda di ambang kebangkrutan karena megaproyeknya jauh lebih superior dibanding A.D Daendels. Ia hanya menjabat asisten residen yang kontribusinya sebatas pada mengganti nama jalur yang dulunya dikenal sebagai Jalur Diponegoro dengan namanya.

Ada alasan kenapa nama Jalur Diponegoro diganti dengan namanya, yakni untuk meredam, menghilangkan, atau setidaknya sejenak mengaburkan sisa semangat perlawanan Diponegoro seusai perang Jawa tahun 1825 hingga 1830. Penggantian nama jalan jadi strategi untuk memastikan tak ada lagi pemberontakan melawan Hindia-Belanda di kemudian hari.

Ajaibnya, nama jalan tersebut masih bertahan hingga saat ini. Ia berhasil langgeng melewati Orde Lama, Orde Baru, Hingga Orde Paling Baru. Kiranya itulah alasan kuat mengapa jalur yang juga dikenal dengan nama Belangrijke Wegen atau Jalan Raya Utama patut dikiritisi. Kenapa? karena jalur ini dulunya sudah dikenal dengan nama dari Pangeran Jawa keturunan Jawa–Madura-Sumbawa, sebagai jalan dimana ia dan pengikutnya bergerilya di ruas jalan tersebut selama Perang Jawa.

Maka dari itu, seperti kata anak millennial sekedar mengigatkan: sebaiknya pemerintah sudah tentu mengganti nama Daendels, lalu kemudian diganti dengan nama Pangeran Diponegoro seperti sedia kala, guna mengingat kembali keberanian beliau melawan Belanda, keberaniannya melawan penindasan, serta keberanian beliau melawan ketidakadilan pada masanya.

Apalagi yang mengidolakan sosok Pangeran Diponegoro itu begitu banyak, hingga sampai ke seluruh pelosok nusantara bahkan dunia. Hal itu sesuai gambaran yang diberikan oleh Iksaka Banu dalam cerpen yang berjudul Pollux dari bukunya "Semua untuk Hindia".

Ia menuliskan: Pelaut macam kita memang cuma mendengarkan kabar. Tapi, pangeran Jawa ini, ah aku selalu sulit mengucapkan namanya. Dia sungguh luar biasa. Mampu menandingi pasukan Eropa pimpinan Letnan Kolonel Sollewijn, Cochius, Michiels, bahkan Mayor Jenderal Van Geen.

“Sayang, kudengar Pangeran itu akhirnya berhasil dikalahkan. Aku hanya ingin mengatakan, seharusnya rakyat Belgia memiliki hati sekeras pangeran ini. Vercingerotix dulu juga mampu menahan balatentara Romawi yang perkasa. Kita butuh revolusi. Merekalah yang tinggal di tanah kita, bukan sebaliknya!” tambahnya.

Oleh karena itu, atas nama mereka yang berjuang untuk kemerdekaan, atas nama mereka yang berjuang menutut keadilan, dan atas mereka yang berjuang untuk mendapatkan haknya. Sekiranya nama jalan tersebut sudah layak untuk diubah dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Paling tidak, ketika ada yang melewati jalan tersebut dikemudian hari, semburat semangat dari Pangeran Diponegoro bisa menjadi secerah harapan dalam hidup, dalam bermasyarakat dan bernegara.

“Zaman Edan, terkutuklah nasib ku, karena aku lahir untuk meluruskan mu,” William Shakespeare, dalam bukunya, "Hamlet".