Pencemaran di Teluk Bima NTB: Laut Tertutup Cairan Berwarna Coklat dan Ikan Ditemukan Mabuk

JAKARTA - Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono akan mendukung polisi dan pemda setempat untuk mengusut pencemaran yang terjadi di perairan Teluk Bima, Nusa Tenggara Barat.

"Kejadian seperti ini jelas merugikan kesehatan laut. Kami berkoordinasi dengan pemda dan siap mendukung penyelidikan sampai tuntas," kata Menteri Trenggono dalam siaran resmi KKP, Kamis 28 April.

Berdasarkan data yang dikumpulkan unit pelaksana teknis (UPT) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Denpasar, Bali, pencemaran terpantau di Pantai Lawata, Kota Bima, mulai 27 April 2022.

Material penutup permukaan laut berwarna coklat berbentuk seperti gel, tidak berbau minyak, dan tidak bercampur sempurna dengan air laut.

Di sekitar area pencemaran ditemukan beberapa ikan dalam keadaan mabuk bahkan mati. Sampel air permukaan, air bawah permukaan, dan bangkai ikan telah dikirim untuk dilakukan uji laboratorium oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bima.

"Tim KKP terus melakukan pengumpulan data. Balai KKP di Jembrana juga tengah melakukan pencitraan kondisi sebelum dan sesudah kejadian," papar Menteri Trenggono.

Terkait dengan pencemaran kawasan perairan, sebelumnya KKP juga telah menyegel Unit Pengolahan Ikan CV IP di Muara Baru, Jakarta Utara, untuk menghentikan sementara kegiatan di unit pengolahan tersebut.

Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP Laksamana Muda TNI Adin Nurwaluddin dalam rilis di Jakarta, Senin (11/4), menyampaikan berdasarkan hasil pengawasan, CV IP melanggar ketentuan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10 tahun 2021 terkait kewajiban memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) bagi usaha pengolahan yang telah memiliki Surat Kelayakan Pengolahan (SKP).

"Hasil pemeriksaan kami, usaha pengolahan ikan tersebut tidak memiliki IPAL dan limbah dari kegiatan pengolahan ikan langsung dibuang ke saluran air, sehingga berpotensi mencemari lingkungan," ujar Adin.

Adin menjelaskan berdasarkan skala usaha yang dimiliki, IPAL tersebut seyogyanya merupakan konsekuensi terbitnya Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP).

Dengan tidak adanya IPAL, lanjutnya, maka UPI tersebut sangat rentan menyebabkan pencemaran. "Seharusnya berdasarkan skala usahanya, UPI tersebut harus memiliki sistem dan teknologi pengolahan limbah yang baik, tidak dibuang sembarangan seperti ini," ujarnya.