Perawat Ditangkap Polisi, RSUD Bengkulu Tengah Bantah Ada Pegawainya Jadi Pemasok Obat Aborsi
BENGKULU - Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Bengkulu Tengah membantah keterkaitan tenaga honorer bidan berinisial ER menjadi penyedia atau pemasok obat penggugur kandungan bagi KD, perawat yang ditangkap polisi.
Direktur Umum RSUD Bengkulu Tengah Herry Kurniawan mengatakan bahwa dirinya sudah mengonfirmasi langsung kepada ER terkait permasalahan tersebut.
"Saya telah konfirmasi dengan ER dan beliau membantah memasok obat-obatan penggugur kandungan tersebut kepada KD," kata Herry dilansir Antara, Sabtu, 2 April.
Namun, ER dan tersangka KD merupakan teman. KD sambung Herry sering bertanya terkait obat yang biasa digunakan untuk memperlancar menstruasi atau haid.
Karena tidak memiliki kecurigaan terhadap KD, ER memberitahukan obat-obatan yang biasa diberikan dokter untuk memperlancar haid kepada pasien.
"Hal itulah yang disalahgunakan oleh pelaku," ujar Herry.
Menurut Herry, berdasarkan peraturan di RSUD Bengkulu Tengah, seorang bidan tidak boleh mengeluarkan obat tanpa resep dokter.
"Hal ini akan menjadi perhatian khusus manajemen dan tentu akan kami cari kebenarannya, hari ini saya sudah meminta ER untuk menghadap ke ruangan saya untuk penjelasan lebih lengkap," ujarnya pula.
Baca juga:
KD mengaku mendapatkan obat-obatan tersebut dari seorang bidan yang bekerja di RSUD Bengkulu Tengah.
Sebelumnya, Tim Opsnal Macan Gading Kepolisian Resor (Polres) Bengkulu dan anggota unit tipiter menangkap KD, warga asal Kabupaten Bengkulu Tengah yang menjual obat penggugur kandungan.
Atas penangkapan tersebut, Polres Bengkulu menyita barang bukti berupa tujuh butir obat misiprostol 200 mcg, 40 spet merek One Med, dua wing Needie, tiga hansaplast merek Ultra Fix.
Kemudian dua buah gubing, satu buah penjepit infus warna putih, satu botol alkohol merek Pro Injection, satu buah vitamin Neoroson, dan satu buah vitamin.
Satu obat Keluarga Berencana (KB) merek Andason, satu botol obat Pitokin Oxitocin, tiga buah sarung tangan warna putih, dua unit handphone, satu unit mobil, dan uang tunai Rp2,1 juta.
Atas perbuatannya, tersangka terancam Pasal 196 juncto 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun.