Hari Film Nasional, 30 Maret: Masa Depan Film Indonesia Dalam Genggaman Gawai

JAKARTA - Terjangan badai pandemi COVID-19 kepada industri film membuat pelaku perfilman harus cari akal. Pandemi memaksa industri ini harus berinovasi agar pasar film tetap ada dan terjaga. Selain itu pandemi yang berkepanjangan juga telah melumpuhkan para pekerja film. Sebuah kisah tanpa skenario di Hari Film Nasional yang jatuh pada 30 Maret.

Menurut data filmindonesia.or.id yang diolah oleh VOI, film Indonesia pada 2017 mencapai 118 produksi film, pada tahun 2018 mengalami kenaikan menjadi 146 film. Terjadi penurunan pada tahun 2019 dengan total produksi 130 produksi film.

Badai pandemi COVID-19 sangat keras menghantam terhadap industri ini, terbukti pada tahun 2020 hanya 58 film yang dapat diproduksi. Tercatat 26 film diproduksi dari periode Januari-Maret, tiga bulan kemudian setelah awal pandemi di Indonesia yaitu April 2020 industri film vakum.

Pada bulan Agustus 2020industri film mencoba bangkit dengan memproduksi 27 film. Dan 2021 pun tak banyak peningkatan hanya 21 rilisan film.

Bioskop yang sepi selama pandemi COVID-19. (ANTARA)

Ribuan Terdampak

Sejak pandemi COVID-19, Persatuan Karyawan Film dan Televisi (PKFT) mencatat dari 7000 anggotanya yang tersebar di Indonesia, 2500 diantaranya kehilangan mata pencahariannya karena produksi film yang terhenti selama pandemi.

Namun hal yang patut disyukuri adalah selalu ada peluang dapat dimanfaatkan agar industri film dapat bangkit. Salah satunya melalui film di pelantar digital baik yang gratis ataupun berbayar.

Melalui survei perilaku konsumen yang dikeluarkan McKinsey & Company, menyebutkan masyarakat menyukai hiburan digital termasuk film. Minat terhadap hiburan digital meningkat 20 persen selama periode waktu April hingga November 2021.

Pada 2021 tercatat ratusan film Indonesia di layanan pelantar digital. Jajak pendapat enam enam bulan terakhir mencatat sebanyak 56,3 persen menonton melalui pelantar digital gratis, dan sebanyak 36,5 persen menonton via pelantar digital berbayar.

Perubahan Pola Konsumsi

Namun, sesungguhnya adanya pola konsumsi penonton kepada produk film bukanlah hal baru. Karena sejak 2017 terjadi peningkatan layanan streaming  digital Netflix di Indonesia.

Netflix mengalami lonjakkan pelanggan  dalam kurun waktu empat tahun, dari 93 ribu pelanggan pada tahun 2017 menjadi 850 ribu pada tahun 2020. Hal ini menunjukkan sebelum pandemi melanda, masyarakat telah melirik layanan streaming  sebagai alternatif untuk  menyaksikan film.

Pandemi COVID-19 membuat era pergeseran menonton film secara streaming terjadi  menjadi lebih cepat. Jika sebelumnya menonton secara digital adalah alternatif, namun sekarang adalah pilihan utama.

McKinsey juga mencatat, 93,8 persen masyarakat menikmati film secara daring. Masyarakat yang mengaku menonton film di bioskop hanya 4,5 persen selama setengah tahun terakhir. Keinginan publik untuk mengonsumsi hiburan di luar rumah termasuk ke bioskop turun tajam hingga 33 persen dalam periode waktu yang sama.

Bioskop mulai dibuka dengan memberlakukan protokol kesehatan. (ANTARA)

Namun, perubahan perilaku konsumen ini tidak dibarengi dengan kesanggupan atau keinginan membayar konten. Hampir 43 persen dari masyarakat hanya mau membayar kurang dari Rp50.000 per bulan untuk menonton layanan streaming.

Hal ini menunjukkan masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk menghargai film sebagai karya. Tak mengherankan masyarakat banyak yang streaming di kanal daring secara ilegal.

Survei juga menunjukkan masyarakat sebanyak 56 persen menikmati film secara cuma-cuma melalui pelantara legal seperti Youtube ataupun situs film gratisan yang illegal.

Posisi para pelaku industri film Indonesia saat ini serba salah, karena makin sempitnya ruang fisik untuk menayangkan film serta rendahnya tingkat apresiasi masyarakat kepada film di ruang digital. Pelaku film juga tidak mungkin memaksa membuka layar bioskop karena pandemi yang belum reda.

Ribuan film dalam genggaman dapat di akses dapat sebulan, bukan hal mudah merayu masyarakat untuk pergi ke bioskop.

Pascapandemi

Bagaimana pun masih ada 20 persen masyarakat yang kangen menonton film Indonesia di bioskop setelah pandemi, yaitu mereka yang berusia 30 tahun ke bawah. Sensasi menonton layar lebar dengan sistem suara canggih pasti berbeda dengan streaming.

Jangka waktu panjang, mungkin kita akan melihat bioskop non-konvensional seperti bioskop drive-in dengan pengalaman menonton film dari mobil pribadi.

Terjadi juga pergeseran dalam industri film yang tidak lagi didominasi oleh rumah produksi besar. Rumah produksi independen kini punya akses untuk menayangkan filmnya.

Netflix mengalami lonjakan pelanggan yang luar biasa selama masa pandemi COVID-19. (Unsplash)

Gerakan kolektif mereka dapat melahirkan pelantar digital buatan sendiri seperti laman bioskoponline.com. Selama pandemi sebanyak 30 judul film Indonesia dapat di tonton di pelantar streaming digital.

Masa depan industri film Indonesia sangat dipengaruhi oleh penangangan penyebaran virus COVID-19, namun diperlukan payung hukum untuk perlindungan hak cipta hingga kasus pembajakan karya dapat diminimalkan, hingga ruang digital lebih ramah kepada film.

Dengan sehatnya atmosfer digital, harapan masyarakat akan membaiknya industri film Indonesia di kemudian hari bukanlah mimpi yang tidak bisa dipenuhi. Selamat Hari Film Nasional.