Rammang-Rammang Maros Sulsel, yang Mempesona dari Pertanian Organik dan Ekowisata

MAROS - Pertanian organik menjadi salah satu inisiasi masyarakat Desa Salenrang, Maros, Sulawesi Selatan dalam mewujudkan ekowisata. 

Lebih dari menuai hidup sehat, langkah ini digadang-gadang akan menjadi daya tarik tersendiri dalam mendukung pariwisata Rammang-Rammang.

Kampung Berua sebagai objek pusat wisata Karst Rammang-rammang yang menyuguhkan pemandangan sawah dikelilingi tebing-tebing karst akan semakin pas ketika hamparan sawah itu dikelola dengan cara-cara alami dari tangan petani lokal nan berbudaya.

Bertani menjadi sumber utama mata pencaharian masyarakat Desa Salenrang, maka pertanian organik dipilih menjadi bagian dari inisiasi warga, utamanya bagi sejumlah petani milenial.

Salah satunya ialah Darwis, yang telah mencoba sistem budidaya pertanian organik pada sebidang sawah milik kedua orang tuanya yang berada di Kampung Berua.

Tidak mudah melakukannya, selain harus lebih banyak belajar dalam mengaplikasikan bertani secara alami, Darwis juga dihadapkan dengan kekhawatiran keluarga terhadap keberhasilan usahanya dalam mencoba pertanian organik. Belum lagi masyarakat sekitar.

Pria berusia 37 tahun itu tetap gigih melakukan pertanian organik yang dinilai memiliki banyak manfaat dan menghasilkan produk pertanian yang unggul hingga mampu menopang perekonomian dan pariwisata Rammang-rammang.

"Saya pikir kalau itu bisa dikembangkan maka bisa menjadi daya tarik tersendiri, meski agak sulit beralih karena sekitar sawah kami menggunakan kimia, masih model pertanian konvensional," ujar Ketua RT Kampung Berua tersebut.

Memberikan contoh yang baik kepada masyarakat, bagi Darwis, menjadi hal yang mutlak. Sebab kebanyakan masyarakat akan menampakkan perubahan jika mendapatkan contoh hasil yang maksimal.

Darwis meyakini bahwa setiap orang cenderung ingin melihat hasil terlebih dahulu dibanding asas manfaat yang bisa diperoleh dari setiap langkah awal yang berbeda.

Alhasil, percobaan pertanian organik yang dimulai sejak 2020 ini memiliki hasil sama dengan pertanian konvensional secara kuantitas, namun kualitasnya tentu lebih baik dan terjamin lebih sehat.

"Warga rata-rata mau serius jika sudah melihat hasil, jadi harus ada contoh. Tidak akan bisa kalau tidak ada yang mulai, sementara hasilnya kurang lebih sama. Cuma butuh proses untuk memurnikan lahannya," tutur mantan Ketua Kelompok Sadar Wisata Rammang-Rammang.

Hasil pertanian organik ini rencananya diperuntukkan bagi pelancong yang datang ke Desa Salenrang sebagai buah tangan khas Wisata Karst Rammang-Rammang.

Rammang-Rammang/FOTO VIA ANTARA

Wujud kemandirian desa

Bersama inisiasi warga, pertanian organik turut menjadi fokus utama pengembangan Desa Salenrang dalam mewujudkan kemandirian desa. Terlebih desa ini telah dinobatkan sebagai Desa Ketahanan Pangan pada 2017 lalu dan menjadi Desa Wisata pada 2021.

Sekretaris Desa Salenrang Sumantri menyebut bahwa visi sebagai Desa Lumbung Pangan dan Desa Wisata sangat bisa jalan beriringan untuk saling mendukung pengembangan masyarakat ekowisata.

Pengembangan pertanian organik menjadi sebuah proses yang harus dicoba dan dilakukan masyarakat Salenrang guna menghasilkan produk pertanian unggul dan berkualitas sekaligus mempertahankan predikat Desa Ketahanan Pangan.

"Kalau ini bisa berhasil, meskipun berkurang produksinya, mungkin bisa dijual sedikit. Tapi itu bisa dua kali lipat harganya, karena ini beras organik, sehat dan tidak terkontaminasi bahan kimia," tutue Sumantri dilansir Antara, Jumat, 25 Maret.

Sejak 2020, uji coba telah dilakukan dan masih dalam proses belajar pengembangan pertanian organik. Masyarakat Desa Salenrang dinilai masih harus memperoleh nutrisi pengetahuan soal budidaya pertanian organik.

Menurut Sumantri, alih fungsi lahan pertanian diakui menjadi kendala mewujudkan swasembada pangan sejak beberapa tahun terakhir. Lahan pertanian disulap menjadi pemukiman, gudang, pabrik, dan fasilitas umum.

Rel kereta api menambah krisis lahan pertanian di Desa Salenrang. Rel kereta api mengambil ruang bertani sekitar 7 hektar untuk satu jalur dan menjadi lebih ketika dibangun penambahan jalur.

"Kalau ada poros ke Bosowa lagi, itu sudah dua kali lipat. Jadi bagaimana menyiasatinya, mereka harus didorong beralih ke pertanian organik. Kuantitas sedikit tapi menjanjikan kualitas dan harga yang relatif lebih mahal," ujarnya.

Meski demikian, Kampung Berua dan Desa Salenrang pada umumnya memiliki potensi mengembangkan pertanian organik karena dikelilingi oleh dua sungai yakni Sungai Pute dan Sungai Barua sehingga kontaminasi dari luar bisa lebih diminimalisir.

Rammang-Rammang/FOTO VIA ANTARA

Pupuk organik guano

Ketertarikan petani milenial mencoba pertanian organik di tengah-tengah area pariwisata bukan tanpa alasan, Desa Salenrang memiliki sumber daya alam yang terbilang potensial untuk mendukung sistem pertanian itu dilakukan.

Kotoran kelelawar atau guano sebagai bahan baku pupuk tersedia di gunung-gunung karst area wisata Rammang-rammang, sehingga kini tengah dikembangkan masyarakat Desa Salenrang menjadi pupuk organik atau pupuk guano.

Hewan ini memang kerap dijumpai pengunjung saat magrib menjelang. Jenis kelelawar yang ada di daerah Rammang-rammang ini merupakan kelelawar pemakan ikan, yang ketika menjelang malam akan beterbangan menuju laut untuk mencari ikan.

Pengolahan pupuk organik guano pun telah hadir di Desa Salenrang sejak dua tahun terakhir, menjadi salah satu Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) dan dikelola oleh warga setempat. Salah satunya seorang petani milenial bernama Naharuddin.

Selain potensi ketersediaan bahan baku, keprihatinan terhadap kelangkaan pupuk di pasaran turut mendasari hadirnya Rumah Pupuk Organik Guano "Tai Sarang" milik Bumdes Salenrang.

"Kami memang mau beralih ke pupuk organik, paling tidak itu lebih sehat," kata Naharuddin.

Proses pengolahan pupuk tidak menjadi hal yang sulit, namun memperoleh bahan baku guano harus penuh kehati-hatian. Sehingga jika tiba waktu pengambilan guano, maka akan menyimpan lebih banyak.

Melalui Bumdes Appakabaji Pupuk Guano, Pemerintah Desa ikut memberdayakan masyarakat lokal dari Kampung Berua untuk mengambil guano yang letaknya berada di atas gunung dan di dalam gua.

Proses ini, menurut Naharuddin tidaklah mudah. Harus menunggu sekitar enam sampai tujuh bulan untuk bisa naik ke gunung mengambil guano, tujuannya agar tidak merusak habitat kelelawar, apalagi membuat mereka merasa terancam.

Namun di sisi lain, guano ini tidak boleh juga dibiarkan sebab amoniak guano akan mengancam keberlangsungan habitat kelelawar.

"Jika kita ambil, justru menolong kelelawar dari kepunahan karena kalau tidak diambil (guano) maka amoniaknya sendiri yang akan buat mereka pergi. Semakin bertumpuk dan akhirnya pergi," kata Naharuddin.

Sejak hadir pada 2020, Rumah Pupuk Organik Guano telah menghasilkan 100 sak pupuk. Jika dijual, pupuk guano ini dihargai Rp50 ribu untuk 10 kg. Namun sejauh ini, pemasarannya difokuskan hanya kepada masyarakat sekitar. Bahkan dibagi secara gratis ke warga setempat.

Naharuddin bersama pengelola Rumah Produksi Pupuk Guano memiliki tujuan lebih dari sekadar sisi ekonomi, tujuan utamanya ialah guna mendukung peralihan masyarakat minimal di Dusun Rammang-Rammang menerapkan pertanian organik dan tidak lagi memakai pupuk kimia.

Dari sana, diyakini akan melahirkan sebuah produk tani berkualitas dan unggul karena tanpa bahan kimia selama pengelolaannya. Produk ini tentu menjadi pelengkap ekowisata Rammang-Rammang.