Di Sidang MK Novel Sebut KPK Tak Berdaya Usai Undang-Undang Direvisi, Pimpinan Beda Pendapat
JAKARTA - Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan hadir sebagai saksi dari pihak pemohon dalam sidang lanjutan pengujian UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 yang digugat ke Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu.
Dalam persidangan tersebut, Novel mengatakan revisi undang-undang yang disahkan oleh DPR RI itu telah membuat lembaga antirasuah menjadi tak berdaya. Bahkan, dia menyebut lembaga ini lebih tak berdaya dari aparat penegak hukum lain yang mengurusi masalah korupsi.
"Dibandingkan dengan semua aparat penegak hukum bahkan dibandingkan dengan PPNS, KPK menjadi lebih tak berdaya karena KPK tidak bisa melakukan tindakan dalam keadaan mendesak. Ini yang kemudian dianggap ironi," kata Novel dalam persidangan yang ditayangkan secara daring tersebut, Rabu, 23 September.
Ketidakberdayaan KPK pasca revisi UU KPK tersebut kata dia menyangkut empat hal krusial dalam pemberantasan korupsi yaitu penyadapan, penggeledahan, penyitaan, dan penghentian penyidikan.
Mengenai penyadapan, Novel menjelaskan akibat revisi ini pihaknya harus mengurusi perizinan yang berbelit dan berlapis. Dia menyebut jika sebelum revisi dia hanya perlu meminta izin kepada Direktur Penyidikan kemudian langsung kepada pimpinan, kini proses tersebut harus dilakukan secara berlapis hingga ke Dewan Pengawas KPK dan lebih lama waktunya. Hal inilah yang kemudian membuat lembaganya itu tak bisa mendapatkan barang bukti tindak pidana korupsi secara cepat belakangan ini.
Padahal, kerja penindakan korupsi harus cepat dan segera karena bukan tak mungkin pelaku tindak kejahatan justru menghilangkan barang bukti.
Hal ini juga terjadi dalam proses penggeledahan. Akibat revisi UU KPK, penggeledahan hanya boleh dilakukan atas izin Dewan Pengawas KPK. "Dengan adanya proses yang harus meminta izin tidak memberikan ruang untuk melakukan tindakan lebih dulu setelah OTT atau tindakan tertentu untuk mencari tersangka yang melarikan diri. Ini menjadi terhambat," tegasnya.
Baca juga:
"Fakta terjadi. Banyak hal dilakukan memang terhambat. Ini terkait penggeledahan sehingga proses ini harus menunggu selesai dulu baru dilakukan," imbuhnya.
Begitu juga dengan penyitaan. Menurutnya penyitaan dengan keharusan mengantongi izin dewan pengawas membuat tim penyidik kerepotan dan menyimpan potensi penghilangan barang bukti karena pelaku maupun pihak yang terlibat memiliki kesempatan, saat tim meminta izin kepada Tumpak Hatorangan, cs.
Novel kemudian menegaskan, meski proses penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan dapat dilakukan tanpa meminta izin terlebih dengan pimpinan maupun pengadilan lebih dulu jika dalam keadaan mendesak namun pengawasan tetap berjalan dengan baik karena prosesnya dilakukan berjenjang.
Lebih lanjut, dia menyinggung ketentuan baru penghentian penyidikan yang jadi wewenang KPK dan diatur dalam UU KPK Nomor 19 Tahun 2019. Menurut dia, dulunya saat lembaga antirasuah ini tak punya wewenang tersebut, dia yakin tak akan ada intervensi dari pihak luar untuk menghentikan kasus korupsi tertentu.
Namun hal ini justru berbalik menjadi permasalahan dan membuat adanya peluang terjadinya intervensi. "Atau malah terjadi masalah dalam proses yang dilakukan sehingga prosesnya tidak proporsional atau tidak efektif," ungkapnya.
"Dari empat hal yang saya sampaikan tentunya proses penegakan hukum dampaknya terlihat dan melemahkan dalam proses penegakan hukum yang dilakukan," ujarnya.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata yang hadir sebagai pihak terkait atau yang mewakili KPK, mengakui proses permintaan izin yang harus dilakukan oleh satuan tugas penyidikan sebelum melakukan penyadapan hingga penyitaan barang bukti membuat proses pengusutan perkara berjalan lebih panjang.
Hanya saja, dia membantah jika ada hambatan akibat adanya Dewan Pengawas KPK. Apalagi, setelah adanya UU KPK 19 Tahun 2019, dia merasa tak ada hambatan yang harus dihadapi oleh tim penyidik.
"Jadi sejauh ini kalau dianggap ada hambatan mungkin tidak karena semua permohonan selalu disetujui oleh Dewan Pengawas. (Misalnya) terkait dengan penyadapan, ini dengan keberadaan dewas apakah ada hambatan? Sebetulnya sejauh ini kalau dianggap hambatan mungkin juga tidak, karena semua permohonan penyadapan yang diajukan itu selalu disetujui oleh dewas," ungkapnya.
Meski begitu, Alex menyebut mekanisme permintaan izin itu kurang tepat karena harusnya hal itu berada di bawah pimpinan langsung. "Bagi kami rasa-rasanya ya kurang tepat karena seharusnya quality assurance berbagai kegiatan di KPK menjadi tanggung jawab pimpinan," ujarnya.
Sementara Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang turut hadir dalam persidangan itu mengatakan, apa yang dikhawatirkan Novel tersebut bisa saja terjadi. Hanya saja, dia tak bisa menggambarkan lebih jauh apakah proses perizinan ini memperlambat seperti kata penyidiknya itu.
"Kami tidak bisa menggambarkan ini sebagai memperlambat atau menghambat. Tidak. Tetapi menambah prosedur lagi sehingga kemudian kekhawatiran yang disampaikan Pak Novel Baswedan tadi memang bisa terjadi," ujarnya.
Diketahui, sejak disahkan DPR pada September 2019 lalu, UU KPK kemudian digugat ke MK. Salah satu pihak yang mengajukan gugatan adalah pimpinan KPK periode 2015-2019 yaitu Agus Rahardjo, Laode M Syarief, dan Saut Situmoran.
Selain itu ada nama sejumlah pegiat antikorupsi lainnya, termasuk pimpinan KPK periode sebelum Agus Rahardjo, yaitu Erry Riyana Hardjapamekas, Mochamad Jasin dan sejumlah nama lainnya.