Menembus Awan Kumulonimbus untuk Menghalau Hujan di Jakarta
JAKARTA - Tahun 2020 diawali dengan bencana banjir berskala luas. Jakarta, Tangerang, dan Bekasi terendam air. Meski begitu, potensi banjir lebih parah dapat terjadi di sepanjang musim penghujan ini. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) turun tangan. Beberapa waktu lalu, kami ikut terbang bersama mereka, melihat langsung proses modifikasi cuaca.
Jumat, 3 Januari lalu, kami bergegas mengejar sebuah penerbangan di Skuadron 2 Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Bukan penerbangan komersial menuju kota-kota penuh wisata. Tujuan penerbangan kami adalah awan kumulonimbus. Di sana, kami akan menyemai puluhan ton zat higroskopis semacam garam dapur (NaCI) dan CaCI2 di bibit-bibit awan yang menampakkan potensi turunkan hujan.
Teknik modifikasi cuaca ini dilakukan untuk merangsang hujan turun lebih awal sebelum sampai ke daratan Jakarta. Maklum, hari itu, Jakarta dan sekitarnya masih diselimuti suasana paranoid akan banjir. Ada dua jadwal penerbangan hari itu. Pada pukul 09.00 WIB dan 14.00 WIB. Kami ikut penerbangan kedua. Siang hari, kala langit dipenuhi awan gelap. Perasaan kami tak karuan, tentu saja.
"Yakin, beneran mau ikut? Wah, di atas itu rasanya seperti naik wahana, karena kita mau mendatangi awan. Masuk ke awan, tapi aman. Kita naik pesawat CN295," kata seorang penerbang dalam briefing yang kami ikuti sesaat sebelum terbang. Jika itu adalah ucapan selamat datang, maka itu adalah sambutan yang amat tak menyenangkan buat kami.
Guncangan di 10 ribu kaki
Mesin pesawat CN295 yang akan mengangkut kami ke udara akhirnya dinyalakan. Selain CN295, TNI Angkatan Udara (AU) juga menurunkan satu pesawat Casa yang akan terbang setelah kami. Seperti CN295 yang kami naiki, kru di pesawat Casa juga membawa misi yang sama: menabur garam di wilayah udara perairan Jakarta dan sekitarnya.
Pukul 14.50 WIB, kami menaiki pesawat yang sudah siap di landasan pacu. Deru pesawat terdengar keras di telinga kami. Kru di landasan pacu saling berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Memasuki lambung pesawat, kami bersesak dengan alat besar berbentuk tabung yang jadi penampung sekaligus penebar garam. Di kabin kemudi, pilot mulai menaikkan kecepatan. Kami tahu, kami segera lepas landas.
Pesawat lepas landas dengan mulus. Bahkan lebih mulus dari rata-rata lepas landas pesawat komersial yang pernah kami alami. Namun, semuanya berubah ketika kami mencapai ketinggian 10 ribu kaki di atas permukaan laut. Cuaca yang kami pantau lewat celah jendela masih sama: mendung. Kekhawatiran kembali menguasai diri kami.
Dalam ketinggian itu, pesawat melakukan banyak manuver untuk mencari bibit awan yang tepat untuk disemai garam. Goyangan ke kiri dan ke kanan membuncahkan isi kepala dan perut kami. Pusing dan mual luar biasa kami rasakan. Di tengah kondisi itu, para kru TNI AU tetap bekerja seakan tengah berada di atas laut tenang. Mereka tak tergoyahkan.
Pada titik-titik tertentu, seorang kru yang duduk di ekor pesawat memberi aba-aba untuk memutar kemudi pada pembawa mesin garam. Aba-aba itu diikuti oleh para kru lain yang langsung memukul tabung penampung garam. Tabung dipukul dengan palu berlapis karet yang bertujuan untuk mengurangi dampak kerusakan dari pukulan-pukulan tersebut.
Pukulan-pukulan itu sendiri penting untuk memastikan garam mengalir lancar melalui sebuah pipa di tabung. Pukulan pun bukan sembarang pukul. Akurasi amat penting dalam pekerjaan ini. Koordinasi antara kru penabur garam, kru pemantau bibit, dan kokpit --yang diisi Captatin pnb Gilang P Pranajaya bersama ilmuwan BPPT yang bertindak sebagai co-pilot-- harus terjalin dengan baik.
Kami terbang selama hampir tiga jam dengan penuh khawatir. Bukan apa-apa. Jika dalam penerbangan normal kami meminimalisir turbulensi dengan menghindari awan-awan hujan macam kumulonimbus, dalam penerbangan ini kami justru menjadikan awan kumulonimbus tujuan yang harus kami tembus. Sebab, dari awan-awan itulah potensi terbesar hujan turun.
Soal pusing dan mual luar biasa, kami bukan satu-satunya yang mengalami. Seorang awak media yang duduk lesehan bersama kami pun tampak pucat karena mual dan pusing. Guncangan luar biasa di dalam awan kumulonimbus lebih dari wahana permainan ekstrem sebagaimana digambarkan seorang penerbang sebelum kami lepas landas.
Teknik penyemaian garam
Setelah garam habis disemai, kami kembali ke Lanud Halim Perdanakusuma. Kami tiba sekitar pukul 17.30 WIB dengan sisa-sisa kemualan. Kami bahkan tak tahu ke mana saja kami terbang. Di atas, kami hanya menemukan awan-awan sebagai pemandangan kami. Pilot pesawat, Kapten Gilang menjelaskan, penerbangan tadi dilakukan di sekitar wilayah Selat Sunda. Penyemaian menghabiskan 2,4 ton garam.
tutur Gilang.
Gilang menjelaskan, penyemaian tak dilakukan secara sporadis. Menurutnya, untuk menentukan awan mana yang akan ditabur garam, dia menggunakan weather radar yang sudah terpasang di pesawatnya.
tambahnya.
Lebih lanjut, Gilang menjelaskan tantangan yang dihadapi selama penerbangan. Sebagaimana kami jelaskan sebelumnya, bahwa penerbangan ini amat berbeda dengan penerbangan komersial pada umumnya. Soal awan yang biasanya dihindari. Dalam penerbangan ini, pesawat malah digiring menuju awan.
tutupnya.