Curhat Jusuf Kalla Soal Susahnya Bangun PLTA di Poso, Dari Konflik Sosial Hingga Permasalahan Birokrasi PLN

JAKARTA - Presiden Joko Widodo hari ini meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso Energy 515 MW dan PLTA Malea Energy dengan kapasitas 90 MW milik keluarga mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Dalam kesempatan yang sama Jusuf Kalla mencurahkan isi hatinya terkait kendala yang dihadapinya selama membangun pembangkit EBT terbesar di Indonesia Timur tersebut.

"Awalnya kendala sosial yang sudah berhasil kita selesaikan dengan dialog pada tahun 2001. Kemudian kita memikirkan bagaimana agar konflik tidak terjadi lagi, adalah dengan meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakatnya," ujar JK dalam sambutannya saat peresmian PLTA di Kabupaten Poso, Sulteng, Jumat, 25 Februari.

Ia mengakui, salah satu kekurangan di wilayah Sulawesi Tengah adalah ketersediaan tenaga listrik yang belum bisa menggerakkan industri khususnya rumah tangga masyarakat.

Usai menyelesaikan konflik sosial, Kalla mengakui dirinya yang tidak bisa menangkap peluang dan keuntungan karena tidak mempercayai teknologi. Perusahaannya sempat bekerja sama dengan PT Telkom untuk mengembangkan telekomunikasi di wilayah Indonesia Timur dengan mengandalkan tenaga manual.

"Rugi sedikit, kemudian saya konsultasi dengan adik saya, bisnis apa yang bisa jangka panjang? Dia bilang listrik, akhirnya kami mulai bangun karena melihat potensi di Poso yang punya banyak sungai," ujarnya.

Pembangunan awal PLTA ini juga tidak lepas dari sejumlah tantangan. Ia mengaku butuh 5 tahun untuk mengurus perizinan dengan PT PLN dan butuh 7 tahun untuk menyelesaikan proses pembangunan fisik PLTA tersebut.

"Bayangkan kita butuh 12 tahun untuk menyelesaikan pembangunan ini. Tapi Alhamdulillah dengan adanya pemimpin baru, sekarang perizinan hanya butuh waktu 1 tahun," kata dia.

Mantan Wakil Presiden ke-10 dan ke 12 ini mengungkapkan dibutuhkan beberapa hal untuk mencapai target pemerintah untuk mengurangi emisi sebanyak 29 persen pada tahun 2030.

"Banyak yang tidak bisa membangun PLTA mini karena berbelitnya aturan negosiasi sehingga prosesnya berjalan lambat. Yang sulit dalam pembangunan ini bukan teknisnya tapi birokrasi," beber Kalla.

Berbeda dengan PLTA umumnya yang menggunakan konsep waduk sehingga membutuhkan lahan yang besar, PLTA Poso menggunakan sistem pengelolaan run-off river (ROR). Sistem ini tetap mempertahankan aliran sungai selama 24 jam, hanya menggunakan bendungan atau tanggul berukuran cukup kecil sebagai penahan atau gerbang air.

Saat ini pembangkit ramah lingkungan ini telah terinterkoneksi dengan saluran transmisi 275 kV ke Provinsi Sulawesi Selatan. Tak hanya itu, PLTA Poso juga telah tersambung dengan saluran transmisi 150 kV dari pembangkit ke Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Jusuf Kalla menyebut PLTA yang dibangun pihaknya menyerap hingga 2.000 tenaga kerja. Sebanyak 80 persen dari pekerja ini berasal dari warga lokal.

"Hanya chief engineer saja yang datang, yang punya pengalaman. Sisanya semuanya dikerjakan oleh anak bangsa. Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN)-nya juga besar," ujar Jusuf Kalla.

Sementara terkait besarnya biaya pembangunan PLTA yang dua kali lipat dibanding PLTU, pihaknya tak menampik. Jusuf Kalla menyebutkan Biaya untuk membangun kedua PLTA berkapasitas total 605 MW ini mencapai 1,2 miliar dolar AS atau Rp17 triliun.

Kendati mengakui biaya pembangunan PLTA yang lebih mahal dibanding pembangkit berbasis fosil, Jusuf Kalla menyebut biaya operasional PLTA lebih murah.

"Memang secara investasi di awal ini besar kalau pengembangan EBT. Hanya saja, secara operasionalnya kedepan jauh lebih murah. Sedangkan jika PLTU, investasi di depannya memang murah namun ongkos operasionalnya mahal," tambah Jusuf Kalla.