KLKH Tetapkan Tersangka Kasus TPS Illegal

JAKARTA - Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK) telah melakukan proses pidana kasus tempat pembuangan sampah (TPS) ilegal di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, dan sejauh ini telah menetapkan serta menahan satu tersangka.

Direktur Penegakan Hukum Pidana Gakkum KLHK Yazid Nurhuda menjelaskan bahwa penanganan itu bermula dari pengaduan lembaga swadaya masyarakat (LSM) kepada Ditjen Gakkum pada Januari 2022.

"Isi pengaduannya adalah terdapat TPS ilegal sepanjang 3 kilometer di bantaran Sungai CBL di Desa Sumberjaya, Kabupaten Bekasi, yang telah beroperasi bertahun-tahun. Kegiatan tersebut menyebabkan banjir dan pencemaran air sungai," ujar Yazid dalam konferensi pers virtual diikuti di Jakarta, Jumat 25 Februari.

Lokasi itu diperkirakan telah beroperasi sebagai TPS ilegal dari 2014 sampai Januari 2022 dengan luas sekitar 3,6 hektare dan diperkirakan memiliki total timbulan sampah sekitar 508.775,9 meter kubik.

Pejabat Pengawas LHK Ditjen Gakkum kemudian melakukan verifikasi ke lokasi, mengambil sampel dan menganalisisnya di laboratorium.

Ditjen Gakkum telah mengamankan tiga alat bukti terkait operasi TPS ilegal itu yaitu keterangan saksi, keterangan ahli dan alat bukti surat.

"Saudara ES sebagai penanggung jawab koordinator kegiatan tersebut yang sudah kita tetapkan sebagai tersangka dan saat ini kami titip di rutan Bareskrim Polri," tuturnya.

Dia menjelaskan bahwa untuk sementara delik yang disangkakan kepada tersangka adalah kerusakan lingkungan sambil KLHK menunggu hasil laboratorium terkait pencemaran lingkungan. Pihak Ditjen Gakkum saat ini tengah menyusun berkas perkara dan akan diserahkan kepada Kejaksaan Agung RI.

Pasal sangkaan yang akan dikenakan kepada tersangka adalah Pasal 98 dari Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu melakukan kegiatan yang mengakibatkan dilampauinya kriteria baku mutu kerusakan.

Tersangka terancam hukuman penjara minimal lima tahun dan maksimal lima tahun serta denda minimal Rp3 miliar.