Matinya Represivitas Saddam Hussein di Tiang Gantung

JAKARTA - Saddam Hussein adalah sosok yang tak tergoyahkan. Kepemimpinannya di Irak langgeng hingga 24 tahun. Segala cara dilakukan Saddam untuk mempertahankan kekuasaannya, termasuk lewat cara-cara represif. Saddam menekan segala potensi yang ia nilai berseberangan, potensi yang datang dari masyarakat maupun yang bergulir di kalangan politikus.

Saddam lahir pada 28 April 1937 di salah satu wilayah termiskin di Irak, Al-Awjah, Tirkit. Ia lahir di keluarga petani. Ayahnya meninggal ketika Saddam berada di dalam kandungan sang ibu. Jalan Saddam menjadi Presiden Irak sekaligus tokoh sejarah yang fenomenal --di Irak maupun di dunia-- dimulai ketika ia terjun dalam dunia politik dengan bergabung dalam Partai Baath.

Di Partai Baath, Saddam memainkan peran penting. Ia bahkan terlibat dalam penggulingan kekuasaan Abdul Rahman Arif pada tahun 1968. Kekuasaan pun jatuh ke tangan Hasan Al-Bakr, pemimpin Partai Baath yang memimpin operasi penggulingan Abdul Rahman Arif. Saddam diangkat sebagai wakil saat Hasan Al-Bakr menggenggam kekuasaan.

Seiring waktu, posisi Saddam terus menguat. Ia bahkan berhasil membuat Hasan Al-Bakr mengundurkan diri dari kursi Presiden Irak. Saddam pun berhasil naik menjadi Presiden Irak sekaligus pimpinan Partai Baath. Saddam kemudian melakukan pembersihan partai dari tokoh-tokoh yang dinilai tak sejalan dengannya. Sejak itu pula represivitas Saddam makin menjadi.

Orang-orang yang menentang Saddam kala itu dipenjara bertahun-tahun. Beberapa bahkan tewas. Tak cuma itu. Pemerintah Irak di bawah Saddam juga melakukan pembantaian terhadap rakyat Kurdi di utara Irak dan rakyat Syiah di selatan Irak.

Ambisi Saddam menjadikan Irak pusat kepemimpinan negara-negara Arab menggantikan Mesir justru membawa Irak ke dalam peperangan panjang. Peperangan yang bertujuan mencapai penguasaan Irak atas Teluk Persia.

Pada September 1980, Saddam melancarkan serangan ke ladang-ladang minyak Iran. Serangan yang dikenal dengan Perang Teluk I itu berlangsung selama delapan tahun. Perang itu baru berhenti pada 1988 akibat gangguan ekspor minyak yang terganggu serta utang luar negeri Irak yang membengkak.

Meski begitu, Saddam tetap membangun kekuatan militer Irak. Setelah dirasa cukup kuat, Saddam kembali mengerahkan tentara Irak untuk menyerbu tetangganya, Kuwait. Serbuan yang dimulai pada Agustus 1990 itu dikenal dengan sebutan Perang Teluk II. Incaran Saddam dalam Perang Teluk II masih sama, yaitu menguasai minyak Kuwait untuk memperkuat pendapatan ekonomi negaranya. 

Gencetan untuk Irak

Serangan Irak atas Kuwait tersebut menimbulkan kecaman internasional. Saat itu Irak terkena embargo perdagangan dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) beserta Amerika Serikat dan Arab Saudi menjadi pihak-pihak yang menentang keras manuver Saddam. Meski begitu, ia tetap mengabaikan kecaman dan enggan menarik tentaranya dari Kuwait.

Hal ini membuat Koalisi PBB yang terdiri dari Tentara Amerika Serikat, Arab Saudi, Kuwait, Suriah, Bahrain, Qatar, Inggris, Australia, Bangladesh dan Belanda, ramai-ramai melawan tentara Irak yang didukung Uni Soviet dan Korea Utara. 

Kalah jumlah pasukan dan milter membuat Irak, Uni Soviet dan Korea Utara menelan kekalahan telak atas serangan koalisi PBB sehingga membuat mereka harus menarik mundur pasukannya dari Kuwait pada Januari 1991.

Kekalahan itu membuat Saddam banyak dikecam oleh rakyatnya sendiri akibat menelan kerugian nyawa maupun kerugian materiil ratusan miliar dollar. Protes keras khususnya datang dari suku Kurdi dan warga Syiah. Kecaman warga tersebut dibalasnya dengan menyapu pemukiman penduduk dan menculik serta membunuh mereka. 

Selama perang, Saddam juga menggunakan senjata dan bom kimia yang menyebabkan kematian ribu orang. Sebagai bagian dari perjanjian gencatan senjata dengan PBB, Irak dilarang memproduksi atau memiliki senjata kimia, biologi, dan nuklir. Ditambah lagi sanksi lain yang menyebabkan gangguan ekonomi yang parah di Irak.

Penolakan Saddam mematuhi perjanjian PBB untuk memproduksi senjata kimia menyebabkan serangan udara empat hari oleh Amerika Serikat dan Inggris Raya pada akhir 1998 yang dikenal dengan Operasi Gurun Rubah. 

Beberapa tahun pascaserangan Amerika Serikat dan Inggris itu, Saddam mulai berhenti melakukan produksi senjata kimia dan Nuklir. Hal ini diketahui dari pengakuan John Nixon seorang Agen CIA yang mewawancarai Saddam Hussein secara langsung pasca ditangkap pada 2003.

Dalam bukunya yang berjudul Debriefing The President: Interrogation of Saddam Hussein. John Nixon menyimpulkan bahwa Saddam telah menghentikan program senjata nuklir Irak di awal tahun 2000 dan tidak berniat memulainya kembali.

911

Namun, kendati Irak telah menghentikan program senjata nuklir mereka, serangan teror 11 September 2001 --yang juga dikenal dengan serangan 911-- membawa petaka bagi Irak dan kekuasaan Saddam. Saat itu, Presiden Amerika Serikat, George W Bush menuduh Saddam sebagai dalang aksi teror yang menghancurkan WTC dan Pentagon tersebut. 

Menanggapi tuduhan itu, Saddam lantas mempersilakan PBB untuk memeriksa negaranya pada 2002. Walaupun PBB sudah menyelidiki tuduhan itu, Amerika Serikat tak merasa puas. Bush kembali menuduh Irak memiliki senjata pemusnah massal.

Bush juga mengultimatum Saddam pada 17 Maret 2003 untuk segera meletakkan jabatannya sebagi Presiden Irak dan meninggalkan Irak dalam waktu dua hari. Bush juga mengancam jika Saddam bersikeras mengabaikan ultimatum tersebut, maka Amerika Serikat akan melakukan serangan ke Irak.

Gertakan Bush jelas diabaikan oleh Saddam yang sejak dulu enggan didikte Amerika Serikat, hingga Bush benar-benar mengirimkan tentara Amerika Serikat ke Irak pada 20 Maret 2003. Dalam invasi itu, Amerika Serikat dibantu Inggris.

Serangan itu menargetkan tertangkapnya Saddam, hidup atau pun mati. Sementara itu, Saddam menginstruksikan kepada rakyatnya agar berjuang mengorbankan nyawa untuk melawan pasukan koalisi Amerika Serikat dan Inggris.

Perlawanan dari pihak Irak yang jelas tak seimbang itu menyebabkan jatuhnya Ibu Kota Baghdad ke tangan Amerika dan Inggris pasa 9 April 2003. Dalam kondisi terdesak, Saddam melarikan diri, berpindah-pindah wilayah. Pelariannya terhenti pada 13 Desember 2003. Saddam berhasil ditangkap di Tikrit, dekat tempat kelahirannya.

Hancurnya kekuasaan orang yang diperhitungkan di kalangan negara-negara Arab maupun internasional ini membuat sebagian rakyat Irak yang telah lama merasa terkekang meluapkan kegembiraan. Mereka menjatuhkan patung Saddam di Kota Baghdad. Media internasional juga menjadikan aksi perobohan patung oleh rakyat Irak itu sebagai simbol jatuhnya rezim yang disebut pemimpin paling otoriter di Timur Tengah.

Amerika Serikat menyerahkan Saddam ke pengadilan internal Irak, serangkaian dakwaan kejahatan perang dan pelanggaran HAM dilimpahkan kepadanya. Saddam didakwa atas peristiwa pembantaian Dujail pada 1982 dan atas serangan gas kimia ke sebuah desa suku Kurdi selama operasi Anfal tahun 1986. Data dari Human Right Watch memperkirakan antara 50 ribu sampai 100 ribu orang terbunuh selama operasi Anfal. Sementara pejabat Kurdi menyebut ada 182 ribu korban jiwa.

Dihukum mati

Sejak proses peradilan tersebut Saddam Hussein dipenjara oleh pasukan Amerika di pangkalan militer Camp Cropper, sampai akhirnya pada 5 November 2006, ia secara resmi dijatuhi hukuman mati. Dua bulan kemudian, tepatnya 30 Desember 2006 ketika Iduladha, sejarah mencatat Saddam dieksekusi hukuman gantung.

Hukuman gantung Saddam yang berkuasa di Irak selama 24 tahun itu ditayangkan secara eksklusif oleh Iraqi TV, bahakan tayangannya masih dapat kita lihat hingga sekarang. Kematiannya menjadi berita yang mengebohkan dunia saat itu. Begitu pun bagi penduduk Irak. Ada yang gembira karena menggap Saddam adalah orang yang kejam, ada yang bersedih karena menggap pemimpin Irak itu adalah Pahlawan.

Sementara, John Nixon Agen CIA yang mengiterogasi Saddam dalam bukunya berjudul Debriefing The President: Interrogation of Saddam Hussein memberikan kesan terhadap Saddam sebagai orang yang kharismatik. Bahkan ia menuturkan sosok Saddam sangat kontras dengan apa yang disampaikan media-media di Amerika Serikat.

"Dia adalah salah satu individu paling berkarisma yang saya pernah temui. Ketika dia bisa mengesankan, baik, lucu, dan santun."

Namun menurut Nixon, seorang Saddam juga bisa menunjukkan sisi kelam, ia adalah orang yang kasar, arogan, serta menyeramkan ketika habis kesabaran.