Belajar Memahami Tweet Menteri Siti Tentang Deforestasi
''...pembangunan besar-besaran tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi''.
Postingan ini sempat membuat nama Siti Nurbaya, masuk trending di Twitter. Padahal potongan itu berasal dari banyak tulisan yang berasal dari satu kesatuan utuh rangkaian informasi (thread).
Informasi opini diksi Zero Deforestation dan FoLU Net Carbon Sink 2030, mulai dimainkan pada potongan tweet itu saja. Foto-foto diedit sedemikian rupa, ditambah narasi-narasi yang jauh dari konteks dan substansi awal.
Kebenaran tersamarkan. Diksi-diksi opini mulai dimunculkan. Halal dan haram, salah dan benar, bercampur aduk. Seperti pada salah satu postingan akun medsos Greenpeace, dimana pada kalimat pembuka menuliskan:
''...Presiden Jokowi menandatangani komitmen mengakhiri deforestasi dan degradasi lahan 2030....''.. Kalimat senada seperti ini bahkan juga dinyatakan oleh pejabat negara asing, dan diterbitkan oleh media-media massa luar negeri. Opini salah diksi berkembang sangat liar.
Padahal faktanya, KTT Perubahan Iklim atau COP26 masih berlangsung, sesi-sesi dialog masih berjalan, dan hingga tulisan ini dibuat belum ada satupun kesepakatan apapun ditandatangani.
Pernyataan Presiden Jokowi di COP26 terkait FoLU net carbon sink 2030, semakin ramai dikampanyekan secara struktur dan massif oleh pihak luar dan dalam negeri, adalah sama dengan Zero Deforestation 2030.
Sehingga saat ada pernyataan resmi Siti Nurbaya melalui akun media sosialnya, meluruskan bahwa FoLU Net Carbon Sink 2030 bukanlah Zero Deforestation, netizen yang 'Maha Benar dengan lentik jari-jarinya' langsung bereaksi.
Niat pelurusan informasi untuk menjaga kedaulatan Republik Indonesia dari tekanan ala asing, tidak lagi dipandang sebagai informasi edukasi. Hasil dari editan sepotong tweet dan disebarluaskan oleh medsos LSM secara berantai, seolah mengajak netizen ikut mengutuk Pemerintah Indonesia gak becus! Ingin nebang pohon demi ambisi membangun!
Karena itu saya ingin menulis panjang, mengambil peran untuk memberi sedikit edukasi informasi. Tulisan ini akan sangat amat berat, dan banyak istilah-istilah teknis 'bahasa langit' yang coba 'dibumikan'. Jadi bagi yang berminat meneruskan membaca, boleh sediakan secangkir kopi dan cemilan lebih dulu. Bagi yang tidak berniat membaca, juga tak apa-apa, asal saja jangan ngajak diskusi tapi pake diksi opini yang gak tepat dengan Indonesia.
1. Apa itu FoLU net carbon sink dan Zero Deforestation?
FoLU net carbon sink dan Zero Deforestation merupakan dua entitas berbeda. Beda kelamin. Bedanya bagaikan bumi dan langit.
Zero deforestation atau nol deforestasi terdiri dari dua kata. Nol artinya tidak ada. Deforestasi artinya pengubahan area hutan menjadi lahan tidak berhutan secara permanen untuk aktivitas manusia. Jadi deforestasi bukan berarti tebang pohon, tapi landscape lahan secara keseluruhan.
Maka secara sederhana zero deforestation artinya area hutan dan lahan tidak boleh berubah sedikitpun untuk aktivitas manusia. Tidak boleh diapa-apain sebagaimana bentuk aslinya. Segala bentuk apapun yang mengganggu keberadaan kawasan hutan dilarang total diganggu manusia. Bahkan andai sebatang pohon tak sengaja tumbang karena kesenggol aktivitas manusia, maka haram hukumnya. Manusianya jadi penjahat lingkungan. Begitu kira-kira.
Sedangkan FoLU net carbon sink, terdiri dari kata Forestry and Other Land Use/FoLU atau kehutanan dan penggunaan lahan lainnya. Net carbon sink artinya penyerapan karbon bersih. Istilah ini dikeluarkan setelah berbagai upaya 6-7 tahun terakhir.
Maka FoLU Net Carbon Sink secara sederhana adalah emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya pada tahun 2030 nanti mampu diserap bersih, tidak memberi pengaruh lagi pada pelepasan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
Maka yang bersih itu emisi dari sektor kehutanannya. Bukan bersih kawasan hutan dan lahannya dari aktivitas manusia.
Maksud istilah net atau negatif emisi pada FoLU net carbon, juga bukan berkonotasi pada jelek atau buruk, melainkan bahwa emisi karbonnya tersimpan, tidak terlepas ke atmosfer sebagaimana misalnya emisi dari kebakaran hutan dan lahan gambut.
Bila nol atau negatif emisi, maka terjadi keseimbangan alam dari sektor kehutanan atau FoLU Net Carbon Sink.
Simulasi sederhananya kira-kira begini: Ada beberapa kawasan hutan dibuka untuk membangun fasilitas jalan bagi satu kampung yang terisolasi, maka emisi dari aktivitas pembangunan itu tidak boleh lebih atau bahkan kurang dari janji manis NDC Pemerintah Indonesia. Jadi semuanya udah dikalkulasi dengan simulasi-simulasi, dengan kata kunci KESEIMBANGAN. Pembangunannya harus seimbang dengan lepasan emisinya.
2. Apa itu NDC?
Ini kepanjangan dari Nationally Determined Contribution (NDC). Inilah janji manis pemerintah Indonesia pada segenap rakyat Indonesia dan pada penduduk dunia, bahwa dari negara ini akan menyumbang penurunan emisi sebesar 29% dengan usaha sendiri, dan 41% dengan bantuan dunia internasional.
Mengapa harus ada bantuan dunia internasionalnya? Agar tidak hanya Indonesia aja yang ditekan-tekan suruh menurunkan emisi, tapi di negara luar malah sibuk menambah emisi yang merusak bumi, tapi kita rakyat Indonesia yang disuruh menanggung bebannya untuk rakyat negara lain. Itukan gak adil namanya, apalagi bagi negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.
Janji manis terkait NDC ini pertama kali disampaikan pada forum internasional (kesepakatan negara-negara) di KTT Perubahan Iklim/COP21 Paris tahun 2015. Kesepakatan ini kemudian diratifikasi dalam hukum positif Indonesia dalam bentuk UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang perubahan iklim hasil perjanjian Paris.
Maka sahlah janji 29% dan 41% menjadi PR besar pemerintah Indonesia (pusat sampai daerah). Janji ini harus segera diimplementasikan pada kebijakan dan kerja tapak, karena kalau tidak terealisasi sampai 2030 maka namanya cuma pencitraan dan retorika semata.
Nah...kita mulai serius ya ke lebih detil lagi. Tolong bacanya hati-hati biar semakin paham.
Dari target NDC Indonesia, sektor kehutanan mendapat mandat paling besar, yakni menurunkan 24,1 % dari total 41 % janji emisi karbon. Disusul sektor energi (15,50 %), limbah (1,40%), industri (0,11 %), dan pertanian (0,13 %).
Jadi, disinilah kata kunci dari pernyataan pemerintah bahwa pada tahun 2030 nanti, sektor kehutanan dan penggunaan lainnya akan menurunkan emisi sesuai janji dalam NDC. Inilah yang kemudian istilahnya FoLU Net Carbon Sink 2030. Jadi yang tercapai adalah penurunan emisi dari sektor kehutanan dan lahannya, jadi bukan hutan dan lahannya tidak boleh diapa-apain sama sekali. Hutan dan lahannya masih boleh dimanfaatkan, selagi emisinya terjaga, yang berarti terjaga jugalah kualitas lingkungannya.
3. Kenapa sih kawasan hutan masih harus diapa-apain untuk pembangunan?
Inilah pertanyaan yang sering menjadi bahan kampanye para aktivis lingkungan. Baik banget sih pertanyaannya, apalagi perhatian generasi Z sekarang sudah mengarah pada cinta lingkungan. Kita bisa melihat masa depan cerah sebenarnya untuk Republik ini.
Namun sayangnya, pertanyaan ini kadang berhenti hanya sebatas bertanya, tapi tidak dibarengi dengan melihat fakta lapangan bahwa tata kelola hutan di Indonesia sudah menanggung beban yang sangat berat sekali.
Kawasan hutan lindung sudah banyak dirambah, bahkan sudah ribuan orang bertempat tinggal dalam kawasan hutan, bersurat pula.
Ada sekitar 34 ribu desa, yang masyarakatnya hidup di sekitar bahkan di dalam kawasan hutan, hidup secara turun temurun, dan sebagian besar masih berada di bawah garis kemiskinan.
Masyarakat desa ini sebagian terisolir, tanpa mendapatkan fasilitas yang menjadi hak mereka sebagai warga negara yang diatur dalam UUD 1945 seperti jalan, listrik, telekomunikasi, pendidikan, dll. Akibatnya mereka tidak punya alternatif pilihan ekonomi untuk sejahtera. Miskin turun temurun, padahal tinggal di sekitar sumber daya alam yang melimpah ruah.
Selain itu kondisi lingkungannya juga sangat amat berat. Hutan sudah terlanjur dibebani izin, dikuasai korporasi besar, berpuluh tahun kontrak izinnya berlaku. Gak bisa asal dicabut, karena pemerintah sebagai simpul semua kepentingan tidak boleh bersikap semena-mena.
Gambut yang kodratnya basah, berjuta-juta hektar dipaksa kering. Di atasnya ditanami akasia dan sawit. Jutaan rakyat Indonesia hidup dari aktivitas itu. Baik legal maupun ilegal. Mereka akan hidup mati mempertahankan kebunnya. Bahkan jika diganggu-ganggu, mereka rela untuk angkat parang. Jika tak sangat hati-hati, maka potensi konflik sesama anak Bangsa sangat berpotensi untuk berubah menjadi 'perang terbuka'.
Kubah gambut sudah rusak porak poranda. Di atasnya ada usaha yang menghidupi jutaan perut rakyat Indonesia. Jika tak diolah, rakyatnya lapar. Jika tidak dijaga, kapan saja bisa seketika membara, menjadi bencana karhutla dan bencana asap. Menderita sama-sama.
Dan masih sangat banyak persoalan lainnya. Banyak sekali.
Maka jika terminologi ZERO DEFORESTASI digunakan, bagaimana caranya masalah-masalah yang menyangkut urusan perut dan kelayakan hidup jutaan warga negara ini bisa dipenuhi? bagaimana menjaga ekonomi, keamanan, kelestarian lingkungan bisa dijaga seimbang? bagaimana persoalan lingkungan hidup dan kehutanan bisa dituntaskan?
Zero deforestasi yang didesak-desak dunia internasional pada Indonesia, sangatlah tidak adil. Negara-negara maju di dunia, seolah-olah ingin berkata pada negara berkembang pemilik hutan yang luas ''Yang penting rakyat gue sehat hirup oksigen, masalah rakyat elu ya elu pikirin sendiri solusinya. Yang penting kawasan hutan dan lahan jangan elu apa-apain ya, nih gue bakal kasi elu duit kalo bisa zero deforestasi''.
Maka dari sinilah kampanye-kampanye zero deforestasi itu mulai dikaburkan dari substansi awal, digadang-gadang dalam berbagai pertemuan internasional, dikampanyekan oleh LSM-LSM yang terafiliasi ke arah sana, tanpa melihat kondisi riil yang ada di rakyat Indonesia sendiri.
Sementara Pemerintah Indonesia tentu saja wajib bertanggungjawab pada seluruh rakyatnya sesuai mandat UU. Persoalan Bangsa kita, tidaklah sama dengan persoalan Bangsa lain. Cara menyelesaikan masalah rumah tangga kita, tidak bisa disamakan dengan cara menyelesaikan rumah tangga lain.
Karena itu dalam postingan tweet Siti nurbaya yang terpotong, disebutkan pembangunan besar-besaran tidak boleh berhenti atas nama deforestasi. Postingan ini memang amat mudah mengundang kontroversi, bila tidak melihatnya dengan sudut pandang atau mazhab yang tepat.
Pembangunan besar-besaran disini jika mazhabnya adalah zero deforestasi, maka pasti berkonotasi negatif. Karena deforestasi dipandang hanya sebatas menebang pohon.
Tapi kalau mazhab deforestasi dimaknai sebagai kesatuan landscape, maka afiliasi pengelolaannya akan mengarah pada menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi segenap rakyat Indonesia melalui pembangunan besar-besaran yang tetap berkelanjutan.
Pembangunan besar-besaran dapat diartikan sebagai cara membangun yang bernyali. Bernyali untuk membangun jalan bagi desa-desa yang terisolasi guna bergeraknya ekonomi, membangun tower-tower telekomunikasi agar misalnya anak-anak desa bisa belajar ekonomi kreatif dari youtube, membangun sekolah-sekolah agar anak-anak penerus bangsa tidak lagi berkilo-kilo menembus hutan sementara mereka punya hak yang sama dan setara untuk mendapatkan pendidikan.
Saya pernah ke satu desa yang sangat terpelosok sekali di Riau. Menitik air mata, saat anak-anak yang bertelanjang kaki, harus menembus hutan, melewati sungai, demi bisa bersekolah di bangunan yang apa adanya dari kayu, karena memang disitu tidak boleh dibangun infrastruktur sekolah karena masuk kawasan hutan. Gurunya cuma satu, itupun harus menempuh perjalanan lk 7 jam berperahu. Jadi kadang gurunya cuma datang sesekali, bahkan tidak datang sama sekali kalau hari hujan, karena tidak ada akses transportasi jalan yang memadai. Kondisi begini masih buanyaaak ditemukan di pelosok Indonesia pada abad 20 saat penduduk dunia lainnya sudah bicara soal berwisata ke luar angkasa.
Bukan sekali dua juga, saya memeluk ibu-ibu yang menangis histeris mengadu, karena kebun dan tanah waris nenek moyangnya, diserobot pihak perusahaan secara semena-mena. Mereka tak punya lagi apa-apa. Hidup matinya sudah disitu, itupun diambil oleh oknum pengusaha dengan dalih ''kawasan hutan ini sudah ada izin dari negara untuk kami'. Izin itu sudah berusia puluhan tahun. Tapi tanah rakyat itu sudah berusia jauh sebelum izin untuk konsesi itu dikasi.
Jika Indonesia menyepakati Zero Deforestasi sesuai desakan asing sebagaimana juga didukung oleh sebagian LSM, maka pemerintah dipastikan tidak bisa hadir untuk kasus-kasus rakyat seperti ini. Pemerintah 'mati gaya' karena dikunci kawasan hutan gak boleh diapa-apain, bahkan untuk dikasi sama rakyatnya sekalipun.
Jika zero deforestasi jadi mahzab pembangunan di Indonesia, maka dipastikan Negara ini nyaris tidak bisa membangun apa-apa lagi. Karena sudah banyak kawasan hutan yang dikapling-kapling oleh izin-izin yang keluar sejak dahulu kala. Mau bangun jalan kepentok kawasan hutan. Mau bangun sekolah dilarang karena kawasan hutan. Bahkan mau pasang tower telephone pun dilarang karena kawasan hutan.
Selain itu jika zero deforestation, pemerintah dipastikan tidak bisa memberi izin perhutanan sosial untuk rakyat. Karena perhutanan sosial diberikan dari kawasan hutan yang semulai dikuasai konsesi dan berpotensi konflik, kemudian dialihkan izinnya untuk kelompok tani tempatan yang selama ini hidupnya terpinggirkan.
Jadi FoLU Net Carbon sink adalah bagaimana komitmen kita menjaga serapan emisi karbon, tanpa harus mengabaikan amanat UUD 1945 menghadirkan pembangunan yang berkeadilan bagi segenap rakyat Indonesia.
Karena yang akan dimanfaatkan untuk pembangunan adalah kawasan hutan yang sudah terbeban 'dosa masa lalu', lalu pelan-pelan diberikan izinnya kepada kelompok petani yang hidup di sekitar dan dalam kawasan. Saatnya hutan memberikan kesejahteraan tanpa harus hutannya dirusak oleh tangan-tangan manusia serakah. Untuk mengatur itu semualah, peran FoLU Net Carbon Sink. Sebesar apapun pembangunannya, emisinya yang harus terjaga sesuai janji NDC. Karena bila emisinya terjaga, artinya tidak ada masalah dengan kualitas lingkungan hidupnya.
LINGKUNGAN LESTARI, HUTAN TERJAGA, RAKYAT SEJAHTERA. Begitu kira-kira.
4. Tapi bukankah Zero Deforestation itu sangat ramah lingkungan?
Setuju sekali. Nantinya akan tetap mengarah ke sana, karena penyumbang emisi bukan hanya dari sektor kehutanan. Sektor terbesar lainnya adalah energi, yang di dalamnya masih ada masalah tambang batu bara, transportasi, listrik, dll.
Karena itu setelah diitung-itung, dengan mempertimbangkan kebutuhan strategis nasional dan gaya hidup masyarakat (yang tidak mungkin semuanya mendadak mau disuruh jalan kaki atau tidak naik pesawat), maka untuk seluruh sektor penyumbang emisi (kehutanan, energi, limbah, sampah dan pertanian), Indonesia menargetkan Net-Zero Emission pada tahun 2060 atau sedapat-dapatnya lebih awal. Untuk mengejar target ini harus seiring dengan pengembangan teknologi, seperti misalnya mobil yang tadinya mengandalkan BBM, beralih ke mobil listrik, dll.
Nah kalau secara nasional dari lima sektor janjinya di 2060 baru tercapai, maka untuk sektor kehutanan atau FoLU net sink, itu jauh lebih cepat, janjinya di 2030. Tapi caranya bukan dengan semata-mata menghentikan pembangunan seketika di berbagai kawasan hutan yang bermasalah seperti di atas tadi.
Apa gunanya hutan kita banyak, besar, luas, kalau ternyata jutaan rakyat sekitar hutan miskin, bodoh, terbelakang. Jika tidak ada pembangunan yang berkeadilan, maka SDM kita akan berkualitas rendah, Bangsa kita akan sangat mudah terjajah. Teknologi baru tidak akan ditemukan. Rakyat kita hanya akan menjadi penonton di negerinya sendiri. Betapa tidak adilnya kita sebagai orang kota pada jutaan saudara kita di desa-desa sekitar dan terlanjur berada di dalam kawasan hutan, seolah 'memenjarakan' mereka atas nama ZERO DEFORESTATION DAN CINTA LINGKUNGAN.
Padahal selagi emisinya bisa kita jaga sesuai janji pada NDC, maka pembangunan hakikatnya sudah berjalan secara berkelanjutan, karena sudah ada target emisi yang dijadikan standart. Pembangunan berkelanjutan tidak akan tercapai bila rakyat tidak diikutsertakan.
Karena itu sejak 2015, pemerintah tidak lagi memberi izin mengelola kawasan hutan pada konsesi besar. Sudah cukup selama puluhan tahun izin diberikan pada mreka. Izin yang ada lalu dialihkan pada kelompok masyarakat petani di dalam dan sekitar kawasan hutan. Mereka akan bisa berusaha tanpa merusak hutan. Misalnya, mereka beternak sapi, madu kelulut, pohon buah, dll, tapi kawasan hutannya tetap dijaga. Ini sama artinya dengan memberikan kesempatan kearifan lokal terlibat dalam pengelolaan kawasan hutan lestari.
Dulu sebelum tahun 2015, izin untuk rakyat hanya 4 persen. Betapa tidak adilnya. Rakyat sekitar dan dalam hutan dikejar-kejar. Mereka menanam untuk makan, disebut melakukan perusakan kawasan, dipenjarakan. Rakyat menderita, miskin semiskin-miskinnya. Namun sekarang perlahan di atas tahun 2015, izin Hutsos dan TORA digesa. Per 2020, izin untuk rakyat sudah mencapai angka 18% atau mencakup luas area 4,7 juta ha, dan akan terus naik seiring target 12,7 juta ha dibagikan untuk rakyat petani.
Seiring dengan itu untuk menjaga keseimbangan emisi, tinggi muka air tanah gambut dijaga, karhutla diatasi, penegakan hukum lingkungan ditegakkan, pengelolaan hutan lestari dijalankan, dll.
Pada semua sektor itulah harusnya LSM, Pers, Akademisi, penegak hukum, dan semua kita ikut mengawal, agar pemanfaatan kawasan hutan, benar-benar dikelola oleh dan untuk rakyat.
Sehingga kalaupun ada pembangunan yang memanfaatkan jasa sektor lingkungan dan kehutanan untuk kemaslahatan umat manusia yang terus beranak pinak, maka kita semua memastikan bahwa jumlah emisinya harus benar-benar seimbang dan tidak akan merusak atmosfer bumi. Intinya adalah KESEIMBANGAN.
5. Kenapa Indonesia tidak mau Zero Deforestation 2030 saja?
Indonesia baru merdeka dari penjajah itu tahun 1945. Usia Indonesia sekarang baru 76 tahun. Koreksi kebijakan tata kelola kehutanan besar-besaran, baru dikerjakan di lapangan tahun 2016. Sekarang sudah tahun 2021. Berarti kalau kita pakai terminologi nol deforestasi di 2030 (seperti desakan licin ala asing dan sebagian LSM), berarti kita cuma punya waktu membangun, mengejar ketertinggalan, merdeka dari kebodohonan, menghadirkan keadilan, menyelesaikan persoalan lingkungan yang melibatkan jutaan rakyat, hanya dideadline 9 tahun lagi.
Itupun sekarang udah akhir tahun, masuk ke 2022 berarti jadi sisa 8 tahun lagi. Kepotong masa ganti pemerintahan, anggaplah waktu efektif membangun 5 plus 4 tahun (dengan dua Presiden lagi). Cukupkah kita membangun hanya dalam waktu 9 tahun? Cukupkah keadilan dan kesejahteraan rakyat sekitar dan dalam kawasan hutan terselesaikan dalam kurun waktu 9 tahun? Silahkan dipikirkan dengan hati yang jernih, lepas dari kepentingan.
Saat negara-negara maju dunia 'memaksa' kita zero deforestation, itu karena mereka sudah selesai membangun sejak dahulu kala. Infrastruktur mereka sudah oke, sekolah mereka sudah berbasis IT semua, ekonomi mereka sudah kokoh, gak ada intimidasi pengusaha serakah pada rakyat jelata, tidak ada konflik-konflik yang siap saling membunuh diantara warga negara, dan lain2.
Pihak asing secara tidak langsung sedang mencoba menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang primitif. Gak boleh membangun apapun, sementara mereka sudah siap membangun.
Lalu apakah kondisi mereka mau disamakan dengan kondisi kita, dengan memaksa kita memakai terminologi zero deforestation? Ini yang dikatakan pemerintah, bahwa tiap negara punya urusan rumah tangganya sendiri-sendiri, dan punya cara penyelesaiannya sendiri-sendiri.
Karena itu makna deforestasi jangan dipandang dalam skup kecil nebang-nebang pohon. Sungguh bukan semata itu makna deforestasi. Jika zero deforestation 2030 seperti keinginan asing pemerintah Indonesia turuti, maka simulasinya kira-kira begini: andai ada status kawasan hutan berubah statusnya bukan lagi kawasan hutan karena diberikan kepada rakyat, itu disebut deforestasi! Andai masih ada kawasan hutan yang dibuka aksesnya untuk bangun jalan dan sekolah bagi pembangunan SDM rakyat Indonesia, itu disebut mereka deforestasi! Bahkan sebatang pohon di belakang rumah penduduk yang terlanjur hidup di dalam kawasan hutan kena tebang untuk bersih-bersih halaman, itu juga disebut deforestasi!
Adilkah kita dengan segala masalah bangsa kita, harus mengikuti terminologi deforestasi versi bangsa lain? Adilkah kita memberi sehat dan sejahtera rakyat bangsa lain, sementara mengabaikan rakyat dan kesejahteraan rakyat Bangsa sendiri?
Jika kita mengiyakan kata asing, untuk mengurus Bangsa kita yang besar dengan segala dinamikanya, sama artinya kita membuka diri untuk dijajah kembali. Betapa sangat bodohnya kita jika itu terjadi.
6. Mampukah tanpa zero deforestation, kualitas lingkungan Indonesia tetap terjaga?
Karena itu untuk sektor kehutanan dan penggunaan lainnya, sudah bikin janji kalau emisi dari sektor ini akan bersih terserap pada tahun 2030 alias FoLU net carbon sink 2030. Jadi emisi karbonnya yang benar-benar harus dijaga seimbang, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Jika emisi dari karhutla bisa ditekan, gambut bisa terjaga, hutan lestari bersama penduduk desa yg dapat izin hutan sosial, bibit yang ditanam dalam program rehabilitasi mulai tumbuh menjadi pohon, penjahat lingkungan mulai berkurang seiring penegakan hukum yang kuar, keadilan ekonomi masyarakat sekitar hutan terjaga, maka semua hasil itu tentu bisa mendorong terjadi penyerapan/penyimpanan karbon sektor kehutanan pada tahun 2030. Disinilah peran serta kita semua dibutuhkan melakukan pengawasan. Jadi jangan minta nol deforestasi, tapi rakyatnya hidup dalam kelaparan, kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan.
Sementara, begitu dulu penjelasan panjang lebar saya. Kopi dah habis dua gelas. Semoga bisa bermanfaat. Hati-hati terminologi asing masuk merusak arah pembangunan Bangsa Indonesia. Merdeka!!!
Dr. Afni Zulkifli
* Dosen Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Lancang Kuning Pekanbaru-Riau
* Praktisi Kebijakan LHK
* Penggagas Generasi Penggerak (GeRak)
Redaksi VOI menerima opini, gagasan hingga analisa dari para pembaca mengenai sebuah peristiwa. Isi tulisan di luar tanggung jawab redaksi dan sepenuhnya ada di tangan penulis. Tulisan bukan gambaran sikap redaksi. Silakan kirim karya Anda ke redaksi@voi.id.