Bagikan:

JAKARTA - Dalam jurnalisme, laporan investigasi menjadi kasta tertinggi penyusunan karya jurnalistik. Seorang wartawan 'kaleng-kaleng' tidak mungkin bisa menyajikan laporan investigasi. Untuk menyusun karya jurnalistik jenis ini, dibutuhkan keahlian tulis-menulis yang luar biasa, keberanian blusukan lapangan dengan segala ancaman dan tantangan, kejelian, ketelatenan, kesabaran, jejaring mitra untuk menembus narasumber utama, serta banyak kelebihan lainnya.

Sehingga ketika dikirimi link berita berjudul ''Papua: Investigasi ungkap perusahaan Korsel 'sengaja' membakar lahan untuk perluasan lahan sawit'', langsung tertarik membaca. Tuntas.

Susunan narasi laporan ini luar biasa, berpadu dengan foto-foto yang begitu tajam dan humanis dengan standar news value tinggi, menjadikan tulisan ini bagi masyarakat awam begitu kuat tersajikan sebagai informasi yang tidak mungkin terbantahkan. Dijamin mampu mengaduk perasaan. 

Makanya tak heran bila link berita BBC News Indonesia, yang menjadi media pertama menyajikan berita ini, bisa bergulir liar ke ranah media sosial. Viral.

Namun bagi yang pernah bersentuhan dengan dunia jurnalisme, akan sangat mudah memaklumi, bahwa laporan ini sarat dengan kamuflase informasi. Perspektif tersajikan sesuai sudut pandang media alias framing diduga kuat sedang terjadi.  

Framing tidak berbohong. Namun terjadi pembelokan fakta secara cerdik, dan berpotensi menyesatkan. Analisis framing biasanya dilakukan melalui seleksi informasi, penonjolan pada aspek tertentu, pemilihan gambar khusus, hingga meniadakan atau membuang informasi yang seharusnya disampaikan.

Secara harfiah framing berarti pembingkaian dari kata frame yang berarti bingkai. Framing bagian dari strategi komunikasi media dan/atau komunikasi jurnalistik. Framing berita merupakan perpanjangan dari teori agenda setting, yaitu pemilihan fakta dalam sebuah peristiwa yang dinilai penting disajikan dan dipikirkan pembaca (publik). 

Robert N. Entman adalah salah satu ahli yang meletakkan dasar analisis framing untuk studi isi media. Penyusunan informasi ke publik biasanya disusun sedemikian rupa, sehingga peristiwa dipahami bukan sesuatu yang taken of grated, sebaliknya wartawan dan medialah yang secara aktif membentuk realitas. 

Tujuan utama framing untuk melahirkan citra, kesan, makna tertentu yang diinginkan media, atau wacana yang akan ditangkap oleh khalayak. Hanya orang-orang yang pernah bertungkus lumus dengan dunia jurnalisme yang bisa merasakan berita disusun dengan analisis framing atau bukan. Biasanya pada case seperti inilah etika jurnalistik, kompetensi jurnalis, dan profesionalisme media sesungguhnya sedang dipertaruhkan.

Tokoh Pers Indonesia, Rosihan Anwar, dalam sarasehan Pers nasional tanggal 28 Agustus 2008 mengatakan, ''kapanpun zamannya, wartawan dituntut harus kompeten. Yakni, berwawasan keilmuwan, profesional, dan beretika. Jika tidak, maka matilah jurnalisme,''.

Kamuflase Informasi

Menjadi sangat disayangkan, laporan dalam balutan 'kasta tertinggi jurnalistik' yang digulirkan tentang kebakaran lahan di Papua, tidak menyebutkan secara eksplisit kapan kebakaran lahan itu terjadi, dan kapan izin yang menyebabkan kerusakan hutan di kawasan itu dikeluarkan. Informasi sepenting itu bahkan tidak dicantumkan sampai ke paragraf 15 dari bagian tulisan pertama!

Kamuflase informasi dalam berita ini terkesan memanfaatkan ''rasa malas membaca' masyarakat Indonesia. Pembaca cenderung menarik kesimpulan dari judul atau hanya tulisan di lead pembuka saja. Tidak ada minat menganalisis, apakan lagi melakukan studi literasi. Berdasarkan hasil penelitian dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2019, tingkat literasi membaca masyarakat Indonesia memang tergolong rendah di 34 Provinsi. 

Satu-satunya kalimat yang menggambarkan waktu pada berita investigasi hanya tertulis, ''...yang dirilis pada Kamis (12/11)...''. 

Bagi yang jeli, kalimat penunjuk ini merujuk pada waktu karya jurnalistik dikeluarkan, bukan kapan kejadian dari isi informasi itu terjadi. Sementara bagi yang tidak jeli, berpotensi besar menelan informasi tersebut bulat-bulat sebagai waktu terjadinya kebakaran. Seolah-olah bahwa kejadian itu benar adanya baru atau sedang terjadi. Cerdik bukan?

Pada lead-lead awal, tertulis kalimat ''Investigasi yang dilakukan oleh Forensic Architecture dan Greenpeace Indonesia, yang diterbitkan pada Kamis (12/11) bersama dengan BBC, menemukan bukti bahwa Korindo telah melakukan pembakaran hutan untuk membuka perkebunan kelapa sawitnya.''. Namun tidak disebutkan, kapan waktu pembakaran dimaksud? Tahun berapa dan kapan perusahaan berbau asing itu menjejakkan kaki dengan segala aktivitasnya di sana? Tidak ada!

Di sinilah kamuflase informasi dalam bentuk framing diduga disusun sedemikian rupa. Karena tidak ada satu kalimat pun pada bagian pertama tulisan menyebutkan bahwa seluruh investigasi dimaksud, ternyata merupakan kejadian tahun 2013, serta akibat dari keluarnya izin dari tahun 2009. Bukan di pemerintahan presiden saat ini yang baru memulai periode kepemimpinannya di akhir tahun 2014.

Kamuflase dengan analisis framing kemudian ditemukan juga pada bab berikutnya. Sajian informasi hanya menonjolkan ketimpangan antara 'raksasa dan derita rakyat jelata', pelanggaran HAM, kemiskinan dan ketidakadilan. Serta meniadakan atau membuang informasi mengenai upaya pemerintah yang sudah mengeluarkan kebijakan moratorium izin sejak bergantinya pemerintahan.

Selain itu meniadakan informasi bahwa kebakaran hutan dan lahan di lokasi tersebut, mengalami penurunan drastis bahkan hingga 90 % pasca kejadian tahun 2015. Patut dicatat, bahwa Indonesia mengalami karhutla tidak terlepas dari imbas kebijakan yang lalu-lalu. Di masa transisi pemerintahan saja masih terjadi pelepasan izin hutan, yang ambil bagian sebagai penyebab terjadinya karhutla besar tahun 2015.

Barulah setelah dilakukan langkah koreksi baik kebijakan maupun kerja lapangan, sejak 2016 karhutla perlahan bisa diatasi. Meski tidak langsung drastis, namun perlahan namun pasti Indonesia menemukan skema yang tepat menangani karhutla dengan mengubah pola kerja dari pemadaman ke pencegahan. 

Terbukti di 2020, Indonesia bebas bencana asap di tengah tekanan pandemi corona melanda dunia. Tidak semua negara yang masih memiliki hutan, bisa melewati 'fase mematikan pertemuan dua bencana' ini. Sayangnya informasi tersebut terhilangkan. 

Persis seperti konsep framing Robert N.Entman, dimana media melakukan apa yang disebut dengan make moral judgement atau membuat keputusan moral. Dimana nilai moral dipakai untuk melegitimasi atau mendelegitimasi. Dalam konteks ini, keberadaan atau peran negara sedang didelegitimasi, terutama di Papua.

Narasi framing disusun dengan struktur sedemikian rupa, menyamarkan informasi waktu kejadian sebenarnya perihal kebakaran, menyamarkan fakta-fakta perbaikan lingkungan hidup dan kehutanan yang sedang berjalan, serta menghilangkan informasi yang dibutuhkan sebagai perimbangan dan menjadi hak mendasar pembaca. Framing yang cantik dan cerdik (atau licik?).

Fakta yang membingungkan

Laporan investigasi dibuat bersama-sama dengan LSM Greenpeace (GP) Indonesia. Namun bahan dasar penyusunan informasinya, ternyata menggunakan kejadian tahun 2013. Tepatnya bulan Mei.

Sedangkan di tahun yang sama, dari jejak digital yang ada, Presiden dan Menteri Kehutanan di masa itu pernah meluangkan waktu mengunjungi kapal kebanggaan Greenpeace, Rainbow Warrior, yang bersandar di Tanjung Priok, Jakarta. Tepatnya pada bulan Juni.

Artinya, GP sebenarnya punya keleluasaan waktu untuk menyampaikan temuannya perihal kebakaran lahan di Papua, kepada pemimpin tertinggi pemerintahan masa itu. Tapi mengapa itu baru dilakukan GP di November 2020, di masa tidak sedang terjadi kebakaran sebagaimana yang tergambarkan?

Video itu telah diakui GP diambil pada Mei 2013, artinya masih ada waktu 16 bulan sebelum terjadi pergantian pemerintahan di Oktober 2014. Mengapa GP menyia-nyiakan waktu 16 bulan tersebut, dengan tidak melaporkan case Korindo kepada pemerintah? Mengapa justru baru mengungkit kejadian tersebut setelah lebih 7 tahun berlalu?

Apakah sekelas GP tidak mengikuti perubahan besar-besaran dalam tata kelola hutan dan lingkungan di Indonesia, atau memang tidak mau mengakuinya?

Perlu dicatat bahwa SK pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan yang diberikan Menteri Kehutanan kepada PT Dongin Prabhawa, merupakan SK tahun 2009. Kebakaran yang terjadi di video yang menyebar viral, juga ternyata terjadi di 2013.

Kenyataan bahwa hutan papua sudah 'dikapling' perusahaan Korea karena keluarnya izin Negara adalah satu fakta, tetapi menyampaikan kamuflase informasi dengan menyamarkan dan seolah menggiring opini seolah-olah 'pelanggaran' masih terjadi sampai hari ini, jelas adalah hal lain yang berbeda.

Sanksi Penegakan Hukum

Informasi yang disajikan BBC, sebenarnya sah-sah saja. Menjadi bagian dari hak kebebasan pers mengungkap fakta bahwa masih ada ketimpangan sosial antara masyarakat tempatan dengan perusahaan yang bercokol di tanah nenek moyang mereka. Informasi seperti ini sangat diperlukan, menolak lupa, demi terwujudnya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Namun menjadi tidak fair karena informasi mengedepankan seolah-olah semua 'kejahatan' lingkungan hidup dan kehutanan itu sedang dan masih terjadi sampai saat ini. Disinilah 'kesalahan fatal' itu terjadi.

Banyak hati jadi terobok-obok. Marah. Atau bahkan merasa benci pada pemerintah Republik Indonesia. Karena hakikatnya rasa ketidakadilan, penindasan, kemiskinan, telah mejadi musuh bersama rakyat dunia. 

Belum lagi framing ke arah pelanggaran HAM, yang sudah menjadi isu sensitif di Papua. Terlebih lagi tulisan yang diduga sarat framing ini diterbitkan berdekatan jelang perayaan Hari Papua Merdeka, awal Desember nanti. Framing yang sangat berbahaya sekali. 

Sudah kebayang resiko potensi seperti apa dunia menatap ke Indonesia dari indikasi framing media ini? atau seperti apa hati rakyat Papua yang salah membaca informasi? atau bahkan rakyat Indonesia secara keseluruhan menyikapi berita ini? 

Maka sudah tepat apa yang disampaikan Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Prof Dr Yanto Santosa, bahwa pemberitaan seperti ini berpotensi memprovokasi dunia serta memecah belah persatuan warga di Papua.

Karena faktanya, Korindo Group sudah pernah diberikan sanksi oleh Ditjen Penegakan Hukum (Gakkum) era pemerintahan saat ini. Setelah kejadian tahun 2015, Gakkum untuk pertama kalinya dalam sejarah berani menyasar raksasa besar. Baru di era pemerintahan inilah ada sanksi untuk korporasi terkait karhutla. 

Sepanjang tahun 2015-2020 (per Oktober), Ditjen Gakkum KLHK mencatatkan putusan perdata terbesar dalam sejarah Indonesia untuk penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan. Ada 13 putusan hukum inkract, dengan nilai putusan sanksi lebih dari Rp20 triliun. Menerapkan 1.482 sanksi administrasi, melakukan 1.514 pengawasan perusahaan, 26 gugatan perdata di pengadilan, dan melakukan 1.455 operasi.

Indonesia sudah berubah banyak dalam hal tata kelola lingkungan. Dunia harusnya mendapatkan sinyal itu. Bukan justru framing yang dipenuhi kamuflase informasi yang membahayakan NKRI.

Perlindungan Hutan di Pulau Papua

Faktanya juga, pemerintah telah mengambil kebijakan moratorium  secara permanen izin di hutan primer dan lahan gambut. Tujuannya demi melindungi lingkungan hidup yang masih tersisa dari imbas izin lalu-lalu.

Lebih dari 25,63 juta ha hutan primer dan lahan gambut di Papua, yang artinya lebih besar dari Inggris, masuk dalam peta moratorium permanen. Sementara itu, lebih dari 40% dari total luas Provinsi Papua Barat merupakan bagian dari peta moratorium permanen. Begitulah bentuk komitmen pemerintah melakukan koreksi kebijakan (corrective policy) menjaga hutan dua Provinsi di Pulau Papua ini.

Moratorium permanen izin di hutan primer dan lahan gambut, ditandatangani Presiden Joko Widodo, di awal Agustus 2019, mencakup area lebih dari 66 juta ha, atau lebih besar dari Prancis, bahkan dua kali ukuran negara Inggris. 

39 % hutan primer dan lahan gambut di Pulau Papua, menjadi bagian dari peta moratorium permanen secara nasional.

Moratorium izin itu bahkan tidak hanya didominasi kawasan konservasi dan hutan lindung saja, tapi juga mencakup hutan produksi yang menjadi kawasan hutan negara, yang luasnya lebih dari 8 juta ha, atau hampir dua kali luas negara Belanda. 

Dari kawasan ini lebih dari 22% merupakan hutan lahan gambut dan mayoritas merupakan hutan primer.

Tak cukup hanya disitu, Pemerintah juga memasukkan 2 juta ha hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) di dua Provinsi tersebut, menjadi bagian dari peta moratorium permanen. Ini setara dengan lebih dari 27 kali luas Negara Singapura.

Pemerintah melalui KLHK juga melindungi kawasan dengan tutupan hutan yang masih baik atau memiliki Nilai Konservasi Tinggi (NKT) yang tersebar di konsesi sawit Provinsi Papua dan Papua Barat. Kebijakan melakukan moratorium izin kelapa sawit, terbukti menahan laju deforestasi di dua Provinsi ini.

Dari 1,26 juta ha konsensi kelapa sawit di Papua dan Papua Barat, yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintahan sebelumnya, telah mampu ditekan angka deforestasi menjadi hanya sekitar 2.600 ha atau hanya 0,2%. Artinya selama dua tahun pelaksanaan perintah moratorium sawit yang dikeluarkan Presiden Widodo, telah memberi dampak pada perlindungan hutan di konsesi sawit yang ada. 

Jika dirinci dengan melihat konsesi sawit di Provinsi Papua, hingga awal Oktober 2020 masih ada sekitar 99,79% potensi kawasan NKT terlindungi dengan baik, dan lebih dari 99% potensi kawasan NKT di konsesi sawit yang ada di Papua Barat juga masih dilindungi. Papua masih hijau royo-royo.

Semua data-data ini pernah diungkapkan Menteri LHK Siti Nurbaya, secara terbuka. Menjadi data yang siap diuji dan tidak bisa dibantah. Kecuali, mengutip pernyataan Siti Nurbaya ''...bila memang ada yang menutup mata dan telinga terhadap bukti ini,'' katanya dalam pertemuan virtual membahas kehutanan dan isu soal sawit pada tanggal 27 Oktober 2020 silam.

Perlindungan pada kekayaan alam dan lingkungan Papua ini belum termasuk dari fakta lainnya, bahwa baru di masa pemerintahan inilah, ada Presiden yang mengunjungi pulau Papua lebih dari 13 kali selama satu periode pemerintahan. Papua pula menjadi daerah pertama yang dikunjungi setelah Jokowi ditetapkan sebagai Presiden RI. 

Penguasaan Lahan

Framing informasi dengan mengedepankan isu pelanggaran HAM, juga cenderung menghilangkan fakta bahwa di Indonesia, sedang terjadi peralihan penguasaan lahan secara besar-besaran dari 'para raksasa' ke rakyat jelata, melalui program Perhutanan Sosial dan TORA.

Perhutanan sosial merupakan sistem pengelolaan hutan lestari dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya. Inilah pertama kalinya hak masyarakat adat diakui legalitasnya oleh Negara sejak Indonesia merdeka.

Khusus untuk Provinsi Papua, saat ini realisasi Perhutanan Sosial sudah mencapai 63 ribu ha. Sedangkan di Papua Barat, realisasi mencapai 97.955 ha. 91 SK atau izin pengelolaan hutan telah diberikan kepada 10.532 KK masyarakat lokal sekitar hutan di Papua dan Papua Barat. Angka yang belum pernah ada sebelumnya untuk memberikan kesejahteraan masyarakat lokal sekitar hutan. 

Adapun target perhutanan sosial di dua Provinsi ini, akan mencapai 3 juta ha lebih. Tidak berhenti pada pemberian izin atau hak pengelolaan hutan saja, pemerintah Republik Indonesia juga memberikan pendampingan, pemberian bantuan ekonomi produktif dan pelatihan untuk menggerakkan, serta mengembangkan kelompok hutan sosial pasca izin atau hak diberikan.

Pemberian izin pengelolaan untuk kelompok rakyat kecil ini berjalan dengan baik di masa pemerintahan Presiden Jokowi. Sebagai gambaran, sebelum 2015 rakyat hanya menguasai sekitar 4 % saja dari izin pengelolaan hutan, sisanya 96 % dikuasai korporasi. Ironi. 

Namun di tahun 2020, realisasi Perhutanan sosial sudah mencapai 4,2 juta ha dan lahan hutan yang dibagikan pengelolaannya untuk masyarakat sudah sekitar 2,6 juta ha. Angka ini kira-kira menjadi 13-16 % perizinan untuk rakyat kecil. Bandingkan dengan sebelum tahun 2015 yang hanya 4% saja.

Komposisi untuk rakyat ini akan terus naik, karena secara ideal  dengan target 12,7 juta ha hutan sosial dan TORA, maka akan dicapai izin untuk rakyat kecil hingga 30-35 %. Sebuah angka representasi nyata dari amanat Pancasila dan UUD 1945. 

Bebas Bertanggungjawab

Dalam kurun waktu 5-6 tahun terakhir, Indonesia melakukan perubahan radikal dalam tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan. Terlepas dari banyaknya tekanan, kebijakan pemerintah sedang berjalan pada jalurnya, dengan melindungi lebih banyak kawasan hutan dan berhenti melepaskannya seperti yang sudah-sudah.

Menjadi sangat disayangkan, bila terjadi kamuflase informasi dengan meniadakan langkah koreksi dan capaian dari ikhtiar yang sangat tidak mudah ini. 

Informasi yang sebenarnya sudah terang benderang, sangat disayangkan digiring ke ranah abu-abu. Menjadi semakin ironi saat membaca rilis terbaru dari perwakilan GP yang dengan bijak menuliskan ''Perlu negosiasi yang tulus....''.

Ketulusan adalah bentuk berbeda dari kejujuran, dan rasanya tidak ada kejujuran yang berada di persimpangan jalan. Ketulusan seharusnya berada di ranah batiniah tertinggi, dan rasanya tidak ada ketulusan yang berdiri di atas kamuflase informasi yang sengaja diplintir. 

Keberadaan NGO, Pers, dan kelompok masyarakat lainnya adalah pilar penting demokrasi. Wajib ada. Negara telah memberikan hak merdeka untuk sebebasnya menyuarakan fakta dan kritik. Namun perlu diingat, bahwa pilar demokrasi yang dibutuhkan Bangsa sebesar Indonesia, yang belum sampai seabad merdeka, bukan berdiri di ranah kebebasan yang absolut.

Dibutuhkan kebebasan yang bertanggungjawab. Batas dari kebebasan adalah tanggung jawab itu sendiri. Selagi masih berkiblat pada prinsip itu, maka kebebasan tidak diartikan sebagai bebas memilintir, bebas menggiring opini, bebas ngeles, bebas mengeluarkan narasi, apalagi bebas mempermalukan Tanah Air-nya sendiri.

Hakikatnya, kebebasan harus selalu satu paket dengan tanggung jawab. Tidak boleh dipisahkan.

Ingat, dalam memahami setiap informasi yang beredar di ruang bebas demokrasi, berhati-hatilah dengan konsep Argentum ad Nausem ala tokoh Nazi Paul Joseph Goebbels, yang mengatakan ''Kebohongan yang dikampanyekan secara terus-menerus dan sistematis akan berubah menjadi (seolah-olah) kenyataan! Sedangkan kebohongan sempurna, adalah kebenaran yang dipelintir sedikit saja.''. 

Jadilah Indonesia dengan menjaga Indonesia, meski dengan satu huruf atau kata saja.

Dr.Afni Zulkifli

* Dosen Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Lancang Kuning Pekanbaru-Riau

* Tenaga Ahli Menteri LHK

* Penggagas Generasi Penggerak (GeRak)

Redaksi VOI menerima opini, gagasan hingga analisa dari para pembaca mengenai sebuah peristiwa. Isi tulisan di luar tanggung jawab redaksi dan sepenuhnya ada di tangan penulis. Tulisan bukan gambaran sikap redaksi. Silakan kirim karya Anda ke [email protected].