JAKARTA - Kekhawatiran peningkatan kasus COVID-19 akibat penyelenggaraan Pilkada 2020 baru disadari banyak pihak, khususnya yang menyasar penyelenggara pemilu. Kesadaran ini baru muncul ketika melihat banyak bakal pasangan calon yang melanggar protokol kesehatan.
Padahal, menurut Anggota Dewan Pembina Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, tidak yang protes tentang potensi pelanggaran protokol kesehatan saat peraturan sedang dibahas KPU, Bawaslu, pemerintah, dan DPR, beberapa bulan lalu.
"Kenapa tidak ribut waktu pembahasan peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2020? Itu karena belum tahu kelakuan peserta pemilu kita. Jadi, setelah pendaftaran bakal pasangan calon, wujud asli dari peserta pemilihan dan massa kita itu makin tampak," tutur Titi dalam diskusi webinar, Kamis, 18 September.
Sampai akhirnya, tercatat ada 243 bakal pasangan calon melanggar protokol kesehatan dengan arak-arakan dan berkerumun saat masa pendaftaran. "Wajar kalau kemudian kekhawatiran itu muncul," ucap pemerhati pemilu tersebut.
Kemudian, kata Titi, garansi pilkada bisa mematuhi protokol kesehatan itu tidak sepenuhnya bisa terjamin oleh pihak-pihak yang punya otoritas. Sebab, menurutnya, saat ini penyelenggara pemilu tampak kelimpungan.
"Buktinya, dulu Bawaslu mengatakan akan mengawasi protokol kesehatan kalau diatur di PKPU. Nah, sekarang Pak Bagja (Anggota Bawaslu yang turut hadir dalam diskusi) lebih banyak curhatnya daripada cerita eksekusi pengawasannya," ujar Titi.
"Jadi, antara komitmen soal kesiapan (penyelenggara pemilu) ketika bertemu dengan perilaku aktor politik dan massa, tidak seindah yang dibayangkan," lanjut dia.
Dalam diskusi yang sama, Anggota Bawaslu Rahmat Bagja mengaku pihaknya tidak mampu memberikan sanksi tegas seperti diskualifikasi pasangan calon ketika lakukan pelanggaran protokol kesehatan. Sebab, mereka terhambat undang-undang.
"Beranikah Bawaslu mendiskualifikasi? Tidak bisa, kecuali aturannya dibuat. Kalau dibuat perppu (yang mengatur sanksi) diakualifikasi, ya kita diskualifikasi," ucap Bagja.
Lagi pula, menurut Bagja, beban pertanggungjawaban soal pengawasan kepatuhan protokol kesehatan kepada para peserta pilkada juga mesti dilakukan KPU.
"Bukan hanya Bawaslu dong, KPU juga mengingatkan bapaslon yang bawa massa untuk tidak melanggar protokol, kemudian ada sanksinya seperti apa. Ini kita harus duduk bersama untuk sanksinya itu," tuturnya.
Terpisah, Komisioner KPU I Dewa Raka Sandi mengaku tidak bisa membuat aturan tahapan Pilkada 2020 yang secara tegas mencegah potensi penularan COVID-19.
Sebab, katanya, KPU secara resmi masih menggunakan landasan hukum Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang mengatur soal pelaksanaan pilkada.
Meski ada penambahan regulasi, yakni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020, aturan tersebut hanya menambahkan ketentuan penyelenggaraan pilkada disertai penerapan protokol kesehatan untuk mencegah peyebaran COVID-19.
"Kami sebetulnya berharap bisa melakukan banyak perubahan secara lebih progresif. Tapi satu hal yang jadi kendala, karena UU Pilkada itu UU 10 Tahun 2016 sebagai hukum positif, dia tetap berlaku," ucap Dewa.
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)