JAKARTA - Kota Hamburg di era tahun 1943 ibarat kota Nagasaki di Jepang, kota yang strategis. Sebuah kota industri yang juga berperan sebagai pusat perekonomian. Berada di area utara Jerman, Hamburg termasuk kota pelabuhan yang besar dan aset utama armada laut tentara Jerman.

Keputusan untuk beralih ke kota Hamburg dari kota lain sebagai sasaran pengeboman tercetus enam bulan setelah kekalahan Jerman di Stalingrad pada kubu front Timur.

Adalah dua negara yang bersekutu, yakni British Royal Air Force (RAF), angkatan udara Inggris dan pihak angkatan darat Amerika Serikat. Dengan menghancurkan titik strategis pusat industri manufaktur kala itu, maka sekutu paham bahwa kekuatan besar Jerman akan sebagian besar lumpuh. 

Dengan membagi dua sesi penyerangan, yang dilakukan bergantian oleh sekutu. Pesawat Amerika Serikat menggempur siang hari, dengan pesawat RAF pada malam hari. Dengan metode seperti itu membuat kota industri itu lumpuh seminggu penuh. 

Dikisahkan pada situs thoughtco bahwa penyerangan yang membuat Hitler terkaget itu mencatatkan korban lebih dari 1 juta pengungsi dan membunuh 40,000 sampai 50,000 warga sipil tak berdosa.

Kota yang mustahil ditembus

Sampai sekarang pun posisi kota Hamburg masih menjadi salah satu titik kota yang sebenarnya sulit ditembus pihak manapun, apalagi di saat itu era peperangan dunia ke-2. Lokasi Hamburg tidak terlalu dekat juga dengan jalur udara pasukan Inggris. Sampai dua buah inovasi teknologi dalam dunia penerbangan-lah yang menjadi faktor porak porandanya Hamburg oleh operasi Gomorrah.

Pertama adalah kehadiran sistem pemindai radar H2S, yang memberikan visualisasi para pengebom atas keadaan dibawah sana selayaknya tampilan di televisi. Yang kedua adalah digunakannya 'window'. 

Window adalah bundel strip aluminium foil yang dibawa oleh masing-masing pembom, yang jika dilepaskan akan mengganggu radar Jerman.

Pada malam hari di tanggal 27 Juli, sejumlah 740 pesawat pasukan pengebom RAF turun di Hamburg yang dipimpin oleh pesawat Pathfinder dibantu H2S. Berbekal teknologi itu semua pesawat mencapai target pengebomannnya dan hanya kehilangan 12 pesawat.

Serangan yang hanya berlangsung sekali saja itu, digambarkan sebagai penyerangan via udara yang hanya bisa dibandingkan dengan tragedi di Nagasaki, begitu menurut Keith Lowe, pengarang buku Inferno. "But Hamburg is on a completely different level - it is more comparable with what happened in Nagasaki".

Caption

The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)