JAKARTA - Merdeka dan berdaulat di tanah sendiri merupakan impian dari mereka yang merasa terjajah. Tak sedikit di antaranya harus direbut dengan cara perlawanan maupun upaya diplomasi untuk mewujudkan cita-citanya.

Kiranya, itulah yang telah dilakukan oleh rakyat di Pulau Bougainville sedari dulu. Mereka terus berjuang lewat berbagai cara hingga menghasilkan satu suara lewat referendum pada 2019 untuk berucap kata: "Merdeka."

Jauh sebelum, referendum Bougainville digelar pada 23 November-7 Desember 2019. Rakyat Bougainville hanya memiliki dua pilihan, yakni memilih Bougainville sebagai daerah ekonomi bagian dari Papua Nugini atau menjadi negara merdeka.

Hasilnya dalam proses referendum Bougainville, 181.067 suara atau 98 persen dari rakyat memilih untuk merdeka. Sedangkan 3.043 atau 3,3 persen lainnya memilih bergabung dalam daerah otonomi Papua Nugini. 

Keputusan itu disambut dengan penuh suka cita oleh rakyat Bougainville. Di mana kini, segenap rakyat bekas bagian negara Papua Nugini itu benar-benar merasakan nikmat dari pesta demokrasi. Mereka pun bersiap menanti kelahiran Bougainville sebagai negara baru di daratan pasifik.

“Ada air mata, air mata kegembiraan, dan emosi yang meluap-luap dari orang-orang telah menanti kemerdekaan sejak lama, Pena selalu lebih kuat dari pedang.” kata Ketua referendum, Bertie Ahern di kota Buka seperti dikutip dari Reuters, Jumat, 14 Agustus.

Pada Agustus ini, penduduk Bougainville tengah berpartisipasi dalam Pemilu. Proses ini dinilai penting. Sebab, presiden dan parlemen terpilih memiliki peran penting dalam merundingkan hasil referendum tahun 2019.

Sejarah Panjang Bougainville

Berdasarkan sejarah, pulau yang berjarak 1.000 meter di sebelah timur Ibu Kota Papua Nugini, Port Moresby. Pulau ini ditemukan oleh seorang penjelajah asal Prancis, Louis Antoine de Bougainville yang kemudian menjadi daerah jajahan Jerman, sejak abad ke-19.

Namun, Bougainville baru dapat lepas dari cengkraman kolonialisasi Jerman pada saat Perang Dunia I 1914. Kala itu, Australia berhasil merebut pulau yang sempat menjadi bagian negara Papua Nugini tersebut.

Lokasi pulau Bougainville

Berkat lobi Perdana Menteri (PM) Australia, Billy Hughes. Seusai perang dunia, Liga Bangsa-Bangsa, yang kemudian bersalin nama menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menyerah peraturan Pulau Bougainville kepada Pemerintah Canberra hingga 1975.

Sebagaimana yang diungkap oleh Iwan Kurniawan lewat tulisannya di Majalah Tempo berjudul "Tetangga Baru Bernama Bougainville" (2019), secara budaya dan etnis negara tersebut sangat dekat dengan orang-orang dari Kepulauan Solomon, ketimbang Papua Nugini.

Iwan pun mengutip pernyataan dari sebuah lembaga penelitian independen di Sydney, Lowy Institute untuk mendapatkan gambaran terkait masyarakat Bougainville. Menurut penelitian itu, identitas Bouganinville telah diperkuat saat kolonialisasi Jerman masuk sedari abad ke-19.

“Penjajahan bangsa Eropa memperkuat identitas Bougainville. Identitas itu makin mengakar setelah tambang emas dan tembaga Panguna di dekat Arawa di pulau itu dibuka pada 1960-an. Tambang itu dijalankan Bougainville Copper Limited (BCL), anak perusahaan Rio Tinto Australia,” tulisnya.

situasi Bouganiville saat peran dunia| Wikimedia Common

Puncak keinginan lepas dari Papua Nugini

Kehadiran tambang emas dan tembaga, menjadikan Bougainville sebagai provinsi terkaya dan termaju di Papua Nugini pada 1980-an. Saking majunya, kawasan Arawa telah memiliki beragam fasilitas publik dari rumah sakit, sekolah, dan jalanan yang terpelihara dengan baik.

Tambang emas juga ikut menyumbang 14 persen dari pendapatan nasional Papua Nugini dan separuh dari komoditas ekspornya. Akan tetapi, seiring kehadiran tambang, nyatanya rakyat Bougainville tidak puas dengan sistem bagi hasil dan penyerapan karyawaan yang diterapkan. 

Dikutip dari Sukawarsini Djelantik dalam buku Asia-Pasifik: Konflik, Kerja Sama, dan Relasi, dan Antarkawasan (2015). Mengungkap rakyat Bougainville merasa merekalah yang seharusnya berhak mengelola pertambangan tersebut dan menuntut daerah otonomi.

Dalam permintaan daerah otonomi, rakyat Bouganiville menginginkan adanya desentralisasi agar masing-masing wilayah dapat mengelola sumber daya alam secara mandiri. Sayangnya, keinginan tersebut tak terwujud sehingga memunculkan gerakan-gerakan separatis, yang kelak membuat Bougainville menjadi medan pertumpahan darah.

Menurut Ubed Abdilah S. dalam buku Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas (2002), mencontohkan gerakan ethno-national ala Bougainville untuk lepas dari Papua Nugini serupa dengan yang terjadi di Myanmar, India, dan Indonesia.

“Menurut salah seorang pionir dalam pembelajaran nasionalisme, Walker Connor, pada 1972 diperkirakan ada 135 negara di dunia dan hanya 19 saja yang tidak memiliki masalah etnonasional. Dasar dari gerakan pemisahan diri umumnya adalah perbedaan bahasa, nilai-nilai budaya, daerah, secara ekonomi terabaikan, dan adanya oposisi dari pemerintah pusat yang didominasi oleh mayoritas,” cerita Ubed.

Meski sempat memproklamirkan kemerdekaan Bougainville pada 1990. Nyatanya baru di penghujung tahun 2019, rakyat Bougainville baru dapat melakukan referendum dan akan merdeka dari Papua Nugini di pengujung 2020. Lagu kebangsaan berjudul "My Bougainville" pun mengiringi lahirnya Bougainville sebagai sebuah negara.


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)