Kisah Petualangan Tiga Narapidana Kabur dari Neraka Penjara Alcatraz
JAKARTA - Tiada yang tak mengenal apesnya kehidupan naradipana di Penjara Alcatraz, Amerika Serikat (AS). Penjara super ketat yang berada di atas karang itu bak ditakdirkan untuk menahan penjara kelas kakap. Petugasnya tak bisa disuap. Sistem keamanannya tingkat tinggi. Kemanusiaan di dalam penjara adalah hal mustahil.
Tiada bandit kelas kakap yang tak takluk. Bandit sekelas Al Capone saja mati kutu. Namun, bukan berarti penjara itu tak bisa ditaklukkan. Dulu kala ada tiga orang narapidana yang mampu kabur dari penjara berjuluk The Rock. Mereka adalah Frank Lee Morris, serta dua bersaudara John dan Clarence Anglin.
Upaya menciptakan keamanan dan ketentraman tak pernah mudah. Pemerintah AS pernah merasakannya. Citra banyak penjara di AS penjara yang notabene tempat ‘sekolah’ penjahat justru melakukan praktek curang. Banyak napi yang hidup tentram di dalam penjara.
Narasi itu muncul karena segalanya bisa disuap. Pemerintah AS pun kepikiran membuat penjara dengan keamanan maksmal pada 1934. Penjara Alcantaraz, namanya. Penjara yang berada di Pulau Alcatraz di tengah Teluk San Fransisco itu sengaja diperuntukan bagi para bandit sosial kelas kakap.
Pembangunan fasilitasnya dilakukan secara masif. Sistem keamanannya diperlengkap. Penjaganya dikenal antisuap. Aturan penjara tak mengenal nuansa kemanusiaan -- siksaan di dalam penjara kerap terjadi. Kombinasi itu membuat Penjara Alcatraz sulit diusik kaum narapidana.
Mereka –penjahat paling berbahaya yang pernah dijebloskan ke Alcatraz bejibun, dari Al Capone hingga Robert Stroud. Mereka yang mulanya tak bisa dibina di dalam penjara biasa, bisa tertib kala masuk Alcatraz. Mereka hanya disediakan sel kecil pengap. Barang-barang yang ada di dalamnya seadanya. Mereka yang tadinya masih mempercayai uang sepenuhnya berkuasa, terpaksa menggenggam kecewa.
Penjara itu bisa membuat mereka merasa kesepian yang amat dalam. Suatu kondisi yang membuat jiwa mereka bak dibunuh secara perlahan. Gema apesnya jadi napi Alcatraz menggema ke mana-mana. Narasi itu bak membawa pesan baru bahwa kaum penjahat jangan sampai ditahan di Alcatraz.
“Setidaknya, begitulah pesan Jaksa Agung Homer Cummings pada 1934. Saat itu, dia mengambil alih Alcatraz dan mengubahnya dari penjara militer menjadi bui para bandit. Ia mengungkap Alcatraz akan jadi’rumah’ para penjahat bengis dan bandel, agar pengaruh jahat mereka tak tertular ke napi lainnya. Para penjahat top itu datang dan pergi.”
“Sebut saja empat nama penting: Alphonse Capone alias Al Capone, Robert Stroud Si Manusia Burung dari Alcatraz, dan George Kelly Si Senapan Mesin. Sebelum menginjak Alcatraz, para petualang dunia hitam itu malang-melintang di berbagai bui daratan Amerika. Tapi umumnya mereka bertekuk lutut ketika tiba di Alcatraz,” tertulis dalam laporan majalah Tempo berjudul Tembok Pembungkam Keangkuhan (2003).
Kabur dari Alcatraz
Klaim Alcatraz sebagai penjara dengan penjagaan super ketat terus diuji. Percobaan napi kabur dari penjara pernah mewarnai sejarah perjalanan Alcatraz dari 1934 hingga 1963. Namun, pelarian dari Alcatraz yang paling diingat dalam sejarah tercatat pada 1962.
Frank Lee Morris jadi pelopornya. Frank mulanya dikenal sebagai penjahat kawakan. Ia pernah didakwa dengan kepemilikan narkoba dan perampokan. Ia juga telah melintang hidup dari penjara ke penjara di AS. Puncaknya, ia diserahkan ke Alcatraz pada Januari 1960.
Niatannya supaya Frank tobat. Masalah muncul. Frank yang dianggap sebagai penjahat genius tak mau meratapi nasib masa tua di Alcatraz. Ia menilai hidup di Alcatraz seperti hidup dalam neraka. Ia tak mau pusing dengan urusan citra Alcatraz sebagai penjara dengan keamanan super ketat.
Franz langsung mengajak narapidana lainnya --Allen West, dan Anglin Bersaudara (John dan Clarence Anglin) untuk memuluskan aksi kabur dari penjara. Frank meminta mereka menggali tembok yang sudah tak kokoh dengan sendok. Frank menyadari kadar garam membuat tembok bisa dijebol. Franz meminta ketiga napi melakukan hal yang sama dalam sel masing-masing selama beberapa hari.
Keinginan kabur kian kuat karena mereka memahami benar nasib hidup dengan ancaman kesepian di Alcatraz. Mereka hanya boleh dikunjungi sekali sebulan oleh sanak famili.
Mereka tak bisa mengakses perpustakaan. Sebab, buku maupun majalah dibagikan langsung ke tahanan napi di Michigan Avenue (lorong antara Blok A dan B) dan Broadway (lorong antara Blok C dan D). Hiburan lainnya terbatas. Mereka yang dapat akses berkesenian hanya orang yang mendapatkan restu kepala penjara saja.
Frank lalu membagi peran. Frank membuat alat las sederhana. Sisanya membuat rakit dari bahan 50 jas hujan yang dicurinya di Alcatraz. Namun, mereka tak lupa membuat replika diri --boneka-- masing-masing dari bahan seadanya supaya penjaga penjara tak menyadarinya. Nantinya replika itu ditaruh di atas tempat tidur.
Persiapan mendekati maksimal. Frank dan kawan-kawan melancarkan aksi kaburnya pada 12 Juni 1962. Frank dan Anglin bersaudara berhasil keluar. Namun, Allen West terlambat mengambil keputusan. Pagi harinya petugas penjara baru menyadari.
Pihak Alcatraz lalu melakukan operasi pencarian dan tak menghasilkan apa-apa. Pihak penjara mengeluarkan klaim bahwa ketiganya meninggal dunia karena meyakini tidak ada yang bisa selamat karena arus bawah laut yang kuat. Namun, faktanya mayat ketiga napi tak pernah ditemukan. Alhasil, dua pandangan mengerucut: Aksi itu memang berhasil dan aksi tersebut gagal.
“Akhirnya, pada malam 11 Juni 1962, mereka siap untuk menjalankan rencana cerdik. Meninggalkan kepala-kepala boneka di tempat tidur mereka untuk mengelabui para penjaga, Frank dan dua bersaudara Anglin merangkak keluar melalui lubang-lubang di dinding sel. Pelarian West gagal ketika dia tidak dapat keluar dari selnya tepat waktu, jadi yang lain pergi tanpa dia.”
“Mereka memanjat ke atap rumah sel, berlari menyeberanginya - membawa perahu darurat mereka, di depan menara penjaga - meluncur menuruni pipa pembuangan luar, menyeberangi halaman penjara, memanjat dua pagar kawat berduri setinggi 12 kaki (3,7 meter) dan bergegas menuruni tanggul curam ke pantai timur laut pulau,” ujar Myles Burke dalam tulisannya di laman BBC berjudul 'It was the Cleverest Escape in the Prison's 30 Years': The Men Who Broke Out of Alcatraz with a Spoon (2024).