Banyaknya Pengurangan Hukuman Koruptor di MA, Komisioner KPK: Jangan Sampai Munculkan Anekdot Hukum
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango menyebut, Mahkamah Agung harusnya bisa memberi argumentasi saat memberikan pemotongan masa hukuman bagi para terpidana kasus korupsi. Hal ini perlu dilakukan sebagai bentuk transparansi lembaga tersebut.
"Dengan tetap menghargai independensi kekuasaan kehakiman seharusnya Mahkamah Agung dapat memberikan argumen sekaligus jawaban dalam putusan-putusannya, khususnya putusan Peninjauan Kembali (PK) yaitu legal reasoning pengurangan hukuman-hukuman dalam perkara a quo," kata Nawawi saat dihubungi, Selasa, 29 September.
Dia menyebut, argumen MA terhadap putusan itu memang perlu disampaikan. Tujuannya agar tidak menimbulkan kecurigaan publik soal tergerusnya rasa keadilan dalam memberantas korupsi di dalam lembaga peradilan tersebut.
"Terlebih, putusan PK yang mengurangi hukuman ini marak setelah gedung Mahkamah Agung ditinggal sosok Artidjo Alkostar," tegasnya.
"Jangan sampai hal ini memunculkan anekdot hukum: bukan soal hukumnya tapi siapa hakimnya," imbuh dia.
Diketahui, Mahkamah Agung beberapa kali memotong masa hukuman koruptor belakangan ini. Terbaru lembaga ini telah memotong masa hukuman dua eks pejabat Kementerian Dalam Negeri yang terjerat dalam kasus megakorupsi e-KTP yaitu eks Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman dan Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi Ditjen Dukcapil.
Dalam putusan Peninjauan Kembali, hukuman Irman dipotong dari 15 tahun penjara di tingkat kasasi menjadi 12 tahun penjara. Sedangkan, Sugiharto hukumannya berkurang dari 15 tahun penjara menjadi 10 tahun penjara.
Masa hukuman keduanya dipotong karena Irman dan Sugiharto ditetapkan sebagai justice collaborator oleh KPK. Selain itu, Sugiharto dinilai bukan pelaku utama dan telah memberikan bukti signifikan dalam kasus korupsi tersebut.
Sebelumnya, KPK menyebut ada 20 koruptor yang masa hukumannya disunat oleh Mahkamah Agung. Meski menghormati, namun lembaga antirasuah tersebut menyayangkan putusan MA tersebut.
"KPK menyayangkan semakin banyaknya putusan MA ditingkat upaya hukum luar biasa (PK) yang dikabulkan oleh Majelis Hakim. Kami mencatat saat ini sekitar 20 perkara yang ditangani KPK sepanjang 2019-2020 yang hukumannya dipotong. Sekalipun setiap putusan majelis hakim haruslah dihormati, KPK berharap fenomena ini tidak berkepanjangan," kata Ali dalam keterangan tertulisnya, Senin, 21 September.
Fenomena pemotongan masa hukuman tersebut, dianggap akan memberikan gambaran yang kurang baik terhadap masyarakat yang makin kritis dengan putusan peradilan. Ujungnya, bukan tak mungkin putusan tersebut akan membuat tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan menjadi menurun.
"Selain itu efek jera yang diharapkan dari para pelaku korupsi tidak akan membuah hasil. Ini akan semakin memperparah berkembangnya pelaku korupsi di Indonesia," tegasnya.
Lagipula, dalam memberantas korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa diperlukan komitmen yang kuat. Komitmen ini harus dimulai dari pimpinan negara hingga penegak hukum yang punya visi dan misi yang sama.
"KPK juga mendorong MA segera mengimplementasikan Perma tentang pedoman pemidanaan pada seluruh tingkat peradilan termasuk pedoman tersebut tentu mengikat pula berlakunya bagi Majelis Hakim tingkat PK," ungkap Ali.