Ilmuwan di Singapura Temukan Varian Baru SARS-CoV-2
JAKARTA - Sejumlah ilmuwan di Singapura menemukan varian baru hasil mutasi virus corona (SARS-CoV-2), penyebab COVID-19. Temuan itu merupakan hasil kajian yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah The Lancet minggu ini.
Dilansir Antara, Jumat, 21 Agustus, varian baru SARS-CoV-2 itu, menurut para peneliti, menyebabkan gejala penyakit yang lebih ringan dibandingkan jenis pada umumnya.
Hasil penelitian menunjukkan pasien yang terinfeksi varian baru SARS-CoV-2 memiliki tingkat kesembuhan yang lebih baik. Pasien tersebut memiliki kecenderungan rendah untuk mengalami kekurangan kadar oksigen dalam darah, serta tidak banyak dari mereka yang membutuhkan layanan perawatan intensif.
Penelitian tersebut melibatkan berbagai lembaga di Singapura, di antaranya Pusat Penyakit Menular Nasional (NCID), Duke-NUS Medical School, serta Badan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Riset Singapura.
"Hasil kajian ini menyediakan data pertama yang menunjukkan perubahan genetik/mutasi pada SARS-CoV-2 berpengaruh pada tingkat keparahan penyakit yang diderita pasien," kata ilmuwan dari Duke-NUS Medical School, Gavin Smith.
Para peneliti mengatakan temuan itu juga berpengaruh pada pengembangan vaksin dan obat-obatan COVID-19.
Varian baru tersebut, yang kemungkinan berasal dari Kota Wuhan, China, pertama kali ditemukan dalam klaster penularan virus pada Januari sampai Maret 2020.
Virus tersebut, yang turut ditemukan di Singapura, ditularkan dari orang ke orang di beberapa klaster penularan berbeda sebelum akhirnya dikendalikan lewat kebijakan karantina.
Seorang ahli minggu ini mengatakan mutasi pada virus kemungkinan jadi "penanda baik". Virus biasanya jadi kurang ganas saat bermutasi. Dengan demikian, orang dalam jumlah lebih banyak kemungkinan terjangkit virus, tetapi itu tidak membunuh mereka.
Pasalnya, daya tahan virus bergantung pada tubuh inangnya untuk asupan nutrisi dan tempat bernaung, kata seorang ilmuwan dari National University Hospital Singapura, Paul Tambyah.