Demo Terbesar Pro Oposisi di Belarusia, Rusia Siap Beri Bantuan Milter
Minsk - Puluhan ribu pendukung oposisi Belarusia berunjuk rasa mendesak Presiden Belarusia Alexander Lukashenko untuk mundur. Unjuk rasa tersebut disebut-sebut menjadi unjuk rasa terbesar dalam sejarah. Sementara, Lukashenko menolak seruan untuk mundur dalam pidato yang menantang.
Melansir SCMP, Senin 17 Agustus, massa pengunjuk rasa berbaris di jalan-jalan ke Lapangan Kemerdekaan, di Minsk. Diperkirakan jumlah massa lebih dari 100.000, angka paling banyak sejak pecahnya Uni Soviet. Situs berita independen Belarusia menyebut aksi tersebut "terbesar dalam sejarah kemerdekaan Belarusia."
Banyak orang yang meletakkan bunga tepat di mana pengunjuk rasa tewas pada minggu lalu. Para pengunjuk rasa memegang tulisan dengan slogan seperti "Anda tidak bisa membersihkan darah" dan "Lukashenko harus bertanggung jawab atas penyiksaan dan kematian." Lautan pengunjuk rasa juga membawa balon saat berkumpul di Lapangan Kemerdekaan.
“Sekarang kami mengubah sejarah,” kata salah seorang pengunjuk rasa.
Kandidat oposisi populer bernama Svetlana Tikhanouskaya, telah menyerukan protes setelah melarikan diri ke negara tetangga, Lituania. Tikhanovskaya pergi ke Lituania setelah pemilu yang memberi suara terhadap Lukashenko sebanyak 80 persen.
Berbicara lewat sebuah video dari Lituania, Tsikhanouskaya juga mendesak petugas keamanan dan penegak hukum untuk beralih dari pemerintahan Lukashenko. Ia mengatakan bahwa perilaku mereka di masa lalu akan dimaafkan jika mereka beralih dari Lukashenko sekarang.
"Saya siap untuk mengambil tanggung jawab dan bertindak sebagai pemimpin nasional selama periode ini," kata Tsikhanouskaya, mengatakan bahwa penting untuk memanfaatkan momentum yang dihasilkan oleh protes selama seminggu.
Tsikhanouskaya mengatakan alasan dirinya melarikan diri ke Lituania untuk keselamatan anak-anaknya. Namun dengan cepat, ia mulai merilis video baru yang menyerukan protes anti-pemerintah untuk dilanjutkan.
Semakin banyak orang Belarusia yang turun ke jalan selama seminggu terakhir untuk mengutuk kemenangan Lukashenko. Unjuk rasa tersebut diwarnai dengan tindakan keras yang dilakukan oleh polisi anti huru hara dan kekerasan terhadap orang yang ditahan saat unjuk rasa.
Lukashenko sudah memerintah negara bekas Uni Soviet itu selama 26 tahun. Dia menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam kepemimpinannya kali ini. Berdiri di podium dengan kemeja lengan pendek, Lukashenko menegaskan keabsahan pemilihan presiden.
“Pemilihan itu sah. Suara lebih dari 80 persen tidak bisa dipalsukan,” katanya dalam pidato yang emosional.
Dengan tekanan yang tumbuh dari masyarakat dan luar negeri setelah Uni Eropa mengatakan akan memberlakukan sanksi baru, Lukashenko meminta bantuan kepada Rusia. Rusia mengatakan bahwa pihaknya siap memberikan bantuan militer jika diperlukan.
Pihak Rusia juga mengatakan bahwa dalam panggilan telepon dengan Lukashenko, Presiden Rusia Vladimir Putin telah menyatakan kesiapannya untuk memberikan bantuan yang dibutuhkan termasuk aliansi militer CSTO antara enam negara bekas Uni Soviet, jika diperlukan.