Bagaimana Jika Calon Kepala Daerah Positif COVID-19 di Masa Kampenye Pilkada 2020?
JAKARTA - Penyelenggaraan kampanye Pilkada Serentak 2020 menjadi krusial untuk dilaksanakan di masa pandemi COVID-19. Sebab, Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih memperkenankan adanya pertemuan tatap muka antara calon kepala daerah (cakada) dengan para pendukungnya.
Namun, bagaimana jika peserta Pilkada 2020, dalam masa kampanye, dinyatakan positif COVID-19? Menanggapi hal ini, Komisioner KPU I Dewa Raka Sandi mengaku pihaknya tak bisa melarang peserta untuk membatalkan kegiatan kampanyenya.
"Dalam aturan perundang-undangan, hak melakukan kampanye para calon kepala daerah tidak boleh terhenti meskipun yang bersangkutan terkonfirmasi positif COVID-19," kata Raka kepada VOI, Rabu, 5 Agustus.
Namun, cakada yang bersangkutan dilarang menghadiri kampanye tatap muka karena dikhawatirkan akan menularkan virus kepada yang lain. Lagipula, ia diwajibkan menjalani isolasi mandiri atau dirawat di rumah sakit.
Oleh sebab itu, tim kampanye bisa menggantikan cakada dalam pertemuan tatap muka sebagai alternatif yang bisa digunakan agar kegiatan kampanye tetap berjalan.
"Jika yang bersangkutan sakit atau positif, tentu tim kampanye bisa mewakili dia dalam berkampanye. Dalam praktiknya, selama ini tidak semua kampanye dihadiri oleh pasangan calon. Ada kampanye yang hanya dihadiri tim kampanyenya," jelas Raka.
Pada prinsipnya, kata Raka, PKPU Nomor 6 Tahun 2020 mewajibkan seluruh tahapan Pilkada 2020 dilaksanakan dengan menerapkan protokol pencegahan COVID-19, seperti mengenakan alat pelindung diri, menjaga jarak aman, dan membatasi kapasitas 50 persen dalam tiap kegiatan.
Adapun kegiatan tersebut meliputi kegiatan tatap muka antara penyelenggara maupun peserta pilkada, kegiatan yang mengumpulkan orang, penyampaian berkas, dan rapat-rapat.
"Karena ada situasi pandemi, tentu imbauan KPU adalah pelaksanaan protokol kesehatan oleh semua pihak demi kesehatan dan keselamatan para pihak yang terlibat dalam proses pilkada," tutur Raka.
KPU hanya mewajibkan pemeriksaan COVID-19 seperti rapid test atau tes polymerase chain reaction (PCR) secara berkala kepada jajaran penyelenggara pemilu. Tapi, hal ini tidak berlaku kepada peserta pilkada, tim kampanye, maupun masyarakat yang terlibat mendukung kandidat pemilihan. Sebab, menurut Raka, hal ini akan merepotkan pelaksanaan tahapan Pilkada.
"Coba bayangkan jika setiap orang yang hadir harus membawa surat keterangan bebas COVID-19. Tentu, secara administratif tidak efektif. Sebab, di samping memberikan kesaksian hukum dan keadilan, pilkada juga mesti efektif diterapkan di masyarakat," imbuhnya.