JAKARTA - Organisasi Kemasyarakatan (ormas) sejatinya lahir sebagai perpanjangan tangan rakyat dalam menyuarakan aspirasi sosial, keagamaan, budaya, atau kepentingan lokal tertentu. Dalam kerangka demokrasi, keberadaan ormas merupakan bagian dari kebebasan berserikat yang dilindungi oleh konstitusi, bahkan ada juga ormas dari kepanjangan tangan atau underbow partai atau organisasi tertentu. Di DKI sendiri ada sejumlah ormas dan yang terbaru ada GRIB (Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu) Jaya.
Namun seiring waktu, terutama ketika kekuasaan dan pengaruh mulai meningkat, beberapa ormas mengalami perubahan orientasi. Akses terhadap kekuatan massa menjadikan sebagian dari mereka alat yang digunakan untuk intimidasi, pemerasan, dan tindakan kekerasan atas nama moral, identitas, atau “penertiban sosial”.
Namun, dalam dua dekade terakhir, sebagian ormas justru mengalami distorsi tujuan yang mengkhawatirkan: dari wadah sosial menjadi alat tekanan bahkan pelaku premanisme. Karena mengarah pada pendapatan atau menjadi alat menggantungkan hidup atau menghidupkan organisasi, dengan cara penguasaan lokasi parkir, penguasaan areal pedagang kaki lima, lokasi pabrik, hingga tempat keramaian, dan hiburan malam. Penguasaan ini sering kali menjadi rebutan hingga mengganggu ketertiban umum.
BACA JUGA:
Menengok perjalanan ormas yang baru-baru ini perkembangan sangat agresif, seiring tampilnya partai Gerindra sebagai pemenang pemilu dan pemegang kuasa tidak secara langsung diakui sebagai underbow partai Gerindra. Namun Grib Jaya (Kepanjang Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya tidak bisa lepas dari sosok Rosario de Marshall alias Hercules sebagai pendirinya, mantan tokoh penguasa Pasar Tanah Abang.

Peran dan klaim mereka punya kedekatan dengan partai Gerindra atau Prabowo sudah sejak pemilu presiden 2009 mereka mendukung Gerindra. Menurut Herkules, yang secara terbuka tujuan didirikannya Grib untuk memobilisasi jaringannya untuk mendapatkan dukungan politik tingkat akar rumput, terutama bagi Prabowo Subianto.
Misi Sosial dan Kepedulian Komunitas
Sebagian besar ormas berdiri dengan niat baik. Mereka muncul untuk membantu masyarakat dalam berbagai aspek — dari advokasi sosial, penyuluhan keagamaan, pemberdayaan ekonomi warga, hingga penanggulangan bencana. Ormas juga kerap hadir sebagai pelindung kaum lemah dan jembatan antara rakyat kecil dengan institusi negara.
Namun seiring waktu, terutama ketika kekuasaan dan pengaruh mulai meningkat, beberapa ormas mengalami perubahan orientasi. Akses terhadap kekuatan massa menjadikan sebagian dari mereka alat yang digunakan untuk intimidasi, pemerasan, dan tindakan kekerasan atas nama moral, identitas, atau “penertiban sosial”.
Dari Advokasi ke Intimidasi
Transformasi negatif ini mulai tampak jelas ketika sejumlah ormas tidak lagi menjalankan program-program sosial, melainkan justru aktif dalam praktik-praktik intimidatif. Beberapa modus operandi yang marak antara lain.
Sebelum membentuk Ormas Grib, Hercules dan kelompoknya telah beberapa kali tersangkut hukum, ia bahkan sempat 2 kali berurusan dengan hukum terkait kasus pemerasan dan pencucian uang, dan kasus penyerobotan lahan lahan PT Tjakra Multi Strategi. Serta kasus penyerbuan kantor Harian Indopos.
Pungutan liar terhadap pelaku usaha, baik pedagang kecil hingga perusahaan besar. Menguasai lahan secara ilegal dengan dalih pengamanan wilayah atau “hak adat”. Melakukan sweeping di tempat hiburan atau area tertentu tanpa kewenangan hukum. Mengintimidasi warga atau kelompok lain dengan membawa simbol agama, suku, atau nasionalisme.
Fenomena ini membuat istilah “premanisme ormas” kian sering terdengar. Bahkan, tidak sedikit masyarakat yang mulai menyamakan mereka dengan kelompok-kelompok kriminal terorganisir yang menggunakan legalitas ormas sebagai tameng.
Genderang perang itu awalnya disulut Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi yang mendapati sejumlah laporan, bahwa banyak aksi ormas yang berlaku bak preman. Karena mengganggu para pengusaha di daerah yang kerap mengganggu para pengusaha yang sedang berinvestasi. Aksi ormas yang dinilai meresahkan misal mereka kerap meminta jatah saat kegiatan pembangunan, juga saat pabrik beroperasional. Seperti adanya pungutan bagi pekerja yang ingin mendataftar, mengolah limbah maupun pungutan pedagang di area pabrik.

Sehingga pihaknya mengeluhkan keberadaan jumlah ormas yang mengusik investor dampaknya mengganggu iklim usaha di daerah Jawa Barat. Keluhan itu meluas menjadi isu nasional hingga Polisi akhirnya melakukan Tindakan termasuk, membentuk Satgas anti premanisme Ormas, untuk menangkapi para ormas yang premanisme.
Faktor yang Menyuburkan Premanisme Ormas
Ada beberapa faktor yang memperkuat transformasi ini: Minimnya pengawasan pemerintah, baik dari segi administrasi maupun aktivitas lapangan.Kedekatan dengan elit politik, yang kerap menjadikan ormas sebagai alat mobilisasi massa atau penjaga kepentingan.
Lemahnya penegakan hukum, terutama ketika aparat enggan bertindak karena khawatir dituding anti rakyat atau anti agama. Ketiadaan transparansi dan akuntabilitas dalam struktur keorganisasian ormas. Tidak hanya mewarnai keresahan, masyarakat juga tercipta persaingan ormas satu dengan ormas lainnya,karena mereka berebut pengaruh dan klaim penguasaan.
Tak jarang kemunculan ormas di tengah masyarakat menimbulkan gesekan, soal rebutan lapak, rebuta riski, dan pengaruh. Baru baru ini antara ormas Pemuda Pancasila dan kelompok Grib Jaya terjadi bentrok. Perseteruan di Tangerang ini seperti perseteruan lanjutan dari perseteruan sebelumnya yang terjadi di Blora Jawa Tengah.
Masyarakat dan Negara Mulai Melawan
Dalam beberapa bulan belakangan, terjadi pergeseran opini publik. Masyarakat yang semula pasif atau takut kini mulai lantang menolak keberadaan ormas yang bertindak seperti preman. Di banyak daerah, warga menolak kehadiran ormas yang meresahkan, bahkan melaporkannya ke aparat.
Pemerintah pun mulai bertindak. Pembubaran ormas oleh Kementerian Dalam Negeri atau pencabutan izin oleh kepolisian mulai dilakukan terhadap ormas-ormas yang terbukti menyimpang. Namun, langkah ini masih sporadis dan belum sistematis.