JAKARTA – Di saat kelesuan pereknomian global kerap dituding sebagai penyebab pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di bawah 5 persen pada triwulan pertama 2025, ancaman terbaru bagi perekonomian tanah air justru muncul dari dalam negeri. Ancaman itu bernama premanisme!
Ya, belakangan ini para pelaku usaha di Indonesia dikhawatirkan dengan maraknya aksi premanisme yang kerap bertopeng organisasi kemasyarakatan alias ormas. Hal tersebut menyebabkan banyak pelaku usaha yang merasa was-was dalam menjalankan usahanya karena khawatir dipalak oleh tindakan premanisme ormas ini.
Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef, Ahmad Heri Firdaus menilai, aksi premanisme dan pungutan liar berkedok ormas tidak bisa lepas dari motif ekonomi. Sulitnya mencari pekerjaan hingga faktor ekonomi makro seperti perlambatan ekonomi nasional mendesak oknum melancarkan aksi premanisme maupun pungli.
BACA JUGA:
“Ada berbagai motif sebenarnya apabila investasi menjadi lebih tidak kondusif. Tapi motif yang paling bisa terjadi atau yang memungkinkan adalah motif ekonomi,” ujarnya.
Dia menyebut, berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan pada triwulan I 2025. Pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,87 persen, sedangkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga cuma menyentuh 4,89 persen.
Perlambatan ekonomi ini selaras dengan data bertambahnya jumlah pengangguran di Indonesia sebanyak 83 ribu orang pada akhir Februari 2025. Sementara para pengangguran baru dan mereka yang telah lama menganggur tetap harus mencari pendapatan untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari. Karena itu, tidak mengherankan bila aksi premanisme dan pungli kian marak di masyarakat.
“Misalnya, katakanlah tadi, ingin minta proyek tanpa melalui tender. Nah, ini kan sesuatu hal yang tidak semestinya terjadi, tapi kita lihat lagi motif dibalik semua ini adalah motif ekonomi. Itu yang menyebabkan dorongan-dorongan oknum itu menjadi semakin mengemuka untuk saat ini,” terang Ahmad.

Karena itu, dia meminta pemerintah untuk mengulik lebih dalam motif maraknya aksi premanisme dan pungli yang belakangan terjadi. Pasalnya jika kondisi ekonomi baik-baik saja, daya beli masyarakat meningkat, dan angka pengangguran menurun, maka ruang aksi premanisme dan pungli semestinya semakin sempit.
Di sisi lain, Ahmad juga mengakui bahwa aksi premanisme dan pungli akan menghambat aliran investasi di Indonesia karena biaya investasi yang tercermin dari Incremental Capital Output Ratio (ICOR) lebih besar. “Saya khawatir hal itu akan membuat Indonesia dipandang sebagai sebuah negara yang boros modal,” imbuhnya.
Pendapat yang sama dikemukakan Wakil Presiden ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla, yang menyebut bila aksi premanisme bukan hanya soal kejahatan, tapi mencerminkan kondisi perekonomian yang sedang terpuruk. “Tapi sebab besarnya adalah, ekonomi, mereka tidak kerja. Coba kalau mereka kerja, mana dia mau pergi palak-palak orang di pasar?” tuturnya.
Menurut dia, perlambatan ekonomi Indonesia menyebabkan siklus negatif, mulai dari penurunan daya beli yang menyebabkan produksi yang berkurang dan menyebabkan gelombang PHK. “Daya beli turun, karena banyak PHK, dagang kurang baik, orang tidak ke restoran, orang tidak belanja, orang tidak beli mobil. Terjadi penurunan daya beli, kemampuan. Banyak anak yang tidak bisa bayar SPP-nya, karena orang tuanya mungkin PHK, itu efeknya luas,” tambah JK.
Dia mengungkapkan, upaya memberantas premanisme tidak cukup hanya dengan penegakan hukum saja. Namun juga harus dilakukan perbaikan kondisi ekonomi agar masyarakat mendapat penghasilan dari pekerjaan yang layak. “Maka dua-duanya kita harus atasi. Perbaikan ekonomi, efektifkan bangsa. Kemudian tentu, masalah kriminal harus diatasi,” tegas JK.
Dunia Usaha dan Investor Butuh Jaminan Keamanan Pemerintah Indonesia
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani menjelaskan bahwa ada banyak faktor yang menjadi penentu keberlangsungan investasi. Selain insentif dan kemudahan perizinan, investasi yang masuk juga sangat bergantung pada jaminan keamanan berusaha, perlindungan hukum, serta stabilitas sosial di tingkat lokal.
“Saat intervensi non-formal atau tindakan di luar koridor hukum kerap terjadi, terutama dalam bentuk pemaksaan, pungutan liar, atau intimidasi, maka risiko terhadap kelangsungan investasi pun ikut meningkat,” katanya.
Dia mencontohkan, fenomena aksi premanisme ormas yang mengganggu pembangunan pabrik BYD dapat menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor, baik dari dalam maupun luar negeri. Para investor akan bertanya-tanya mengenai sejauh mana pemerintah Indonesia mampu menjamin iklim usaha yang stabil dan kondusif.

Menurutnya, aksi premanisme terhadap pelaku usaha semakin menggarisbawahi betapa pentingnya kepastian hukum dan perlindungan terhadap investasi. Khususnya, dalam proyek-proyek strategis yang berperan besar dalam mendorong pertumbuhan industri nasional dan penciptaan lapangan kerja.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Telisa Aulia Falianty menegaskan, Indonesia sebagai destinasi investasi harus memberi kepastian tentang aspek keamanan yang belakangan ini ternodai oleh maraknya aksi premanisme. Sebab, kontribusi investasi yang tercermin dari Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) Indonesia terhadap PDB mengalami penurunan. Padahal, ini adalah komponen yang berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi, setelah konsumsi rumah tangga.
Dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS), PMTB berkontribusi sebesar 28,3 persen pada PDB Indonesia pada kuartal I 2025. Kontribusi komponen investasi itu menyusut jika dibandingkan kuartal IV 2024 yang mencapai 30,12 persen. BPS menyebut salah satu faktornya adalah para investor masih berperilaku wait and see karena perkembangan perekonomian global.
Selain itu, lanjut Telisa, faktor keamanan yang semakin tereduksi karena maraknya aksi premanisme menjadi salah satu faktor investor urung menanamkan modalnya di Indonesia. Asumsi ini diperkuat melalui hasil survei yang telah dilakukan di kawasan industri di Jawa Barat. “Banyak cerita, saya juga kemarin survei ke kawasan-kawasan industri di Jawa Barat itu, banyak cerita aspek premanisme ini mulai meningkat,” imbuhnya.
Beberapa praktik premanisme yang dilakukan yaitu permintaan Tunjangan Hari Raya (THR) oleh ormas secara tidak resmi dan cenderung memaksa masih sering terjadi. Contoh lain adalah pungutan liar saat distribusi operasional kawasan industri adalah bentuk lain aksi premanisme, sehingga mengganggu proses distribusi dan operasional kawasan industri.
Menurut Telisa, pemerintah sudah seharusnya menjamin keamanan bagi para pelaku usaha. Jika tidak, aksi premanisme malah akan akan memberikan preseden buruk terhadap iklim investasi Indonesia sekaligus memperparah situasi di tengah tantangan melemahnya pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat.