JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 105/PUU-XXII/2024 melarang lembaga pemerintah, institusi, dan korporasi untuk mengadukan dugaan pencemaran nama baik terhadap mereka. Putusan itu dikeluarkan menjawab permohonan uji materi atas Pasal 27A juncto Pasal 45 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dalam pertimbangannya, MK mengatakan perlindungan pribadi dan jaminan hak kebebasan berpendapat harus diberikan secara proporsional dan tidak menimbulkan kekhawatiran yang berlebihan terhadap ruang kebebasan sipil.
Secara substansi, MK berpandangan pasal-pasal yang dipersoalkan pemohon punya kesamaan substansi dengan Pasal 433 ayat (1) KUHP. Namun, Pasal 433 ayat (1) KUHP secara tegas menyatakan pencemaran nama baik itu hanya berlaku jika korbannya merupakan individu, bukan lembaga pemerintah atau sekelompok orang.
BACA JUGA:
Pasal 27A UU ITE menyebutkan setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik, dapat dipidana penjara maksimal dua tahun dan/atau denda maksimal Rp 400 juta.
MK menyatakan bahwa Pasal 27A UU ITE itu inkonstitusional secara bersyarat sepanjang frasa “orang lain” tidak dimaknai kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan. Dengan demikian, pasal itu hanya bisa dijadikan basis dugaan pencemaran nama baik jika korbannya adalah individu.
Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati menilai perlu ada adaptasi progesif terhadap putusan MK yang melarang institusi negara, korporasi, atau asosiasi profesi melaporkan dugaan pencemaran nama baik terhadap mereka. Salah satunya adalah dengan penghapusan substansi Pasal 218 dan 219 KUHP mengatur tentang tindak pidana penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden serta Pasal 240 dan 241 KUHP yang mengatur tentang penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara.

“MK memang tidak menghapuskan itu. Tetapi, kalau MK bilang pasal-pasal penghinaan menyebabkan iklim ketakutan, harusnya memang dihapuskan. Itu kan satu napas dengan pernyataan MK bahwa penghinaan dilarang untuk melindungi lembaga negara,” ujarnya, Senin 19 Mei 2025.
Menurut dia, MK juga menghapus Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) perihal penyebaran berita bohong atau hoaks. Meski pasal berita bohong dalam KUHP lama telah dinyatakan tidak berlaku, saat ini ketentuan serupa masih termaktub dalam Pasal 263 dan Pasal 264 KUHP terbaru. Oleh sebab itu, ICJR menilai pasal berita bohong semestinya dihapuskan dalam KUHP yang baru tersebut.
Selain itu, pasal terkait dengan hoaks juga masih terdapat dalam Pasal 28 ayat (3) UU ITE. Melalui Putusan Nomor 115/PUU-XXII/2024 MK tidak menghapus pasal penyebaran hoaks, tetapi mempertegas penafsiran terhadap frasa “kerusuhan”. Menurut MK, frasa tersebut harus dimaknai sebagai kondisi kerusuhan di ruang fisik, bukan di ruang digital. Artinya, tindakan penyebaran informasi atau dokumen elektronik yang memuat pemberitahuan bohong dapat dipidana jika menimbulkan kerusuhan nyata di lingkungan masyarakat.
Maidina mengemukakan, masih berlakunya Pasal 28 ayat (3) UU ITE dan pasal berita bohong dalam KUHP terbaru ke depannya secara langsung memberikan mandat kepada aparat penegak hukum untuk teliti dalam menafsirkan tindak pidana tersebut. Dalam pertimbangan MK, kata dia, salah satu dasar perbaikan penafsiran frasa “kerusuhan” dilakukan agar sesuai dengan prinsip HAM. Dalam konteks ini, penggunaan pasal berita bohong sudah seharusnya tidak digunakan untuk kasus-kasus yang erat kaitannya dengan ekspresi atau pendapat masyarakat.
Dia menyatakan, MK telah membatasi bahwa setiap orang dilarang menyebarkan informasi yang secara substantif memuat tindakan atau penyebaran kebencian, dilakukan secara sengaja di depan umum, dan menimbulkan risiko nyata. Karena itu, penekanan MK tersebut harus menjadi perhatian dari aparat penegak hukum saat memeriksa tindak pidana ujaran kebencian. “Penafsiran ini memberikan konsekuensi perlunya melihat kesengajaan dan juga akibat dari perbuatan orang yang dianggap melakukan ujaran kebencian,” imbuhnya.
Momentum Reformasi Kebijakan Pembungkaman Suara Publik
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengungkapkan, Putusan MK ini semakin menegaskan bahwa terdapat masalah kronis dalam implementasi UU ITE di masyarakat. Melalui putusan ini, MK telah menjalankan perannya sebagai lembaga yudikatif dengan mengurangi risiko pelanggaran HAM lewat penggunaan sewenang-wenang pasal pencemaran nama baik oleh negara dan korporasi.
Meski demikian, ancaman terhadap kebebasan berekspresi akan tetap ada sebelum pemerintah dan DPR merevisi pasal pencemaran nama baik tersebut agar menutup celah bagi siapapun menyalahgunakannya untuk membungkam kritik di masyarakat. “Amnesty International menentang UU yang mengkriminalisasi pencemaran nama baik, baik tokoh publik atau pribadi. Masalah tersebut seharusnya diselesaikan melalui gugatan perdata. Lembaga negara sendiri bukanlah suatu entitas yang dilindungi reputasinya oleh hukum hak asasi manusia,” tukasnya.

Selain itu, putusan yang mengecualikan ruang digital sebagai delik pidana dalam UU ITE juga memberikan jaminan kebebasan berekspresi di dunia siber. Karena itu, patroli siber Polri yang sering menarget ekspresi damai di ruang digital harus segera dihentikan dengan adanya putusan MK ini. Dalam catatan Amnesty International Indonesia, selama 2019-2024 setidaknya terdapat 530 kasus kriminalisasi kebebasan berekspresi dengan jerat UU ITE terhadap 563 korban. Pelaku didominasi oleh patroli siber Polri (258 kasus dengan 271 korban) dan laporan Pemerintah Daerah (63 kasus dengan 68 korban).
Usman menegaskan, Putusan MK ini harus dibaca sebagai momentum bagi negara untuk segera mereformasi kebijakan yang selama ini membungkam kritik. Pemerintah, parlemen, dan aparat penegak hukum memiliki kewajiban konstitusional untuk menindaklanjuti putusan ini dengan mengevaluasi dan merevisi UU ITE secara menyeluruh termasuk pasal-pasal bermasalah lainnya seperti diantarnya ujaran kebencian dan penodaan agama yang sering dijadikan sebagai alat kriminalisasi ekspresi damai baik di ruang fisik maupun digital.
“Putusan MK ini juga merupakan kesempatan untuk memperbaiki relasi negara dengan warga. Negara harus hadir bukan sebagai pihak yang membungkam, tetapi sebagai pelindung hak-hak warga, termasuk kebebasan berekspresi,” tukasnya.
Di sisi lain, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Trunoyudo Wisnu Andiko memastikan bahwa Mabes Polri akan mematuhi dua putusan MK soal pemaknaan beberapa pasal dalam UU ITE. Dia mengatakan, Polri akan beradaptasi atau menyesuaikan serta tunduk pada putusan MK dan akan terus berkomitmen untuk memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat. “Putusan MK merupakan aturan berlaku,” imbuhnya.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejagung, Harli Siregar juga meyatakan pihaknya akan memedomani putusan MK terkait UU ITE dalam penuntutan. Tak hanya kejaksaan, aparat kepolisian juga diharapkan mematuhi putusan itu sehingga ke depan tak ada lagi laporan pencemaran nama baik oleh instansi pemerintah, korporasi, atau kelompok masyarakat.
“Putusan MK bersifat final dan mengikat. Dan, posisi kejaksaan dalam perkara pencemaran adalah sebagai penuntut umum. Kami akan segera memedomani putusan itu, baik pada tingkat kejaksaan negeri, kejaksaan tinggi, maupun Kejaksaan Agung,” tuturnya.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono mengapresiasi putusan MK terkait pengecualian bagi pemerintah, korporasi dan profesi dan jabatan untuk melaporkan kasus pencemaran nama baik dalam UU ITE. Karena itu, dengan sifat putusan MK yang final dan mengikat, DPR juga akan menyesuaikan putusan MK tersebut dalam UU ITE terbaru. “Pasal itu sudah diputuskan MK, itu kan sudah final and binding. Jadi ya sudah kita ikuti aja, tinggal nanti kita sesuaikan di turunan peraturan daripada UU tersebut,” ungkapnya.
Meski demikian, politikus dari Fraksi Partai Golkar itu mengatakan bahwa bahwa sampai saat ini, belum ada rencana dari Komisi I DPR untuk melakukan revisi UU ITE usai putusan MK. Menurutnya, hasil putusan MK tersebut yang mengubah pasal Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU ITE, dapat disesuaikan melalui aturan teknis terhadap UU tersebut. “Tidak (merevisi UU). Belum ada masuk agenda untuk revisi. Itu kan bisa langsung berlaku. Paling turunannya saja yang harus disesuaikan,” terang Dave.