Mengejar Kemandirian Bidang Kesehatan Paska USAID Freeze

14 Mei 2025, 10:00 | Tim Redaksi
Mengejar Kemandirian Bidang Kesehatan Paska USAID Freeze
Foto Karya Luthfiah VOI

Bagikan:

JAKARTA – Badan untuk Pembangunan Internasional Amerika Serikat atau United States Agency for International Development (USAID) resmi ditutup. Penutupan USAID merupakan bagian dari skema penghematan anggaran Presiden Donald Trump.

Tak lama setelah dilantik, Trump mengumumkan akan membekukan dana bantuan asing dari AS. Dia berdalih ingin agar bantuan-bantuan kemanusiaan yang digelontorkan pemerintah sejalan dengan kebijakan Make America Great Again (MAGA). Trump ingin agar USAID berada di bawah kendali Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) AS.

USAID didirikan pada 1961 oleh Presiden AS John F. Kennedy. Lembaga itu didesain untuk mengelola program-program bantuan kemanusiaan dari AS dan fokus pada bidang pengembangan ekonomi dan sosial di negara-negara berkembang.

Pada 2023, AS--sebagian via USAID--menggelontorkan US$72 miliar ke berbagai belahan dunia guna mendanai berbagai program, mulai dari kesehatan perempuan, akses terhadap air bersih, penanganan HIV/AIDS, keamanan energi, hingga persoalan antikorupsi.

Menurut kalkulasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), angka itu setara 42 persen dari total seluruh bantuan kemanusiaan yang digelontorkan berbagai lembaga dan badan di seluruh dunia pada 2024. Indonesia termasuk salah satu penerima bantuan USAID.

Selama 20 tahun terakhir, menurut Kedubes AS di Indonesia, USAID telah menggelontorkan dana sekitar 5 miliar dollar AS atau lebih dari Rp80 triliun untuk beragam program kemanusiaan dengan menggandeng sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Indonesia.

USAID (Foto: Instagram/@eldisidente_es)
USAID (Foto: Instagram/@eldisidente_es)

Program-program yang dijalankan USAID selama ini, semisal USAID MPHD yang bertujuan menyelamatkan ibu dan bayi dengan meningkatkan akses layanan kesehatan, USAID PASTI yang fokus menurunkan angka stunting, dan USAID PREVENT TB yang mendukung pencegahan TBC secara efektif. Pada era pandemi Covid-19, USAID menggelontorkan lebih dari US$65 juta demi membantu pemerintah Indonesia menangani Covid. Sebagai donor terbesar untuk COVAX, USAID juga membantu pengiriman lebih dari 100 juta dosis vaksin ke Indonesia.

Pada 2023, USAID menyalurkan US$153 juta untuk beragam program di Indonesia. Anggaran itu antara lain digelontorkan untuk proyek-proyek yang mendukung terciptanya pemerintahan demokratis, penanganan perubahan iklim dan lingkungan, pertumbuhan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Sejak 24 Januari 2025, USAID Indonesia mengumumkan membatalkan tiga permohonan jenis bantuan yang sudah disepakati sebelumnya. Pengumuman itu diunggah di akun Instagram resmi USAID Indonesia.

Ketiga permohonan bantuan yang dibatalkan, yakni Solicitation No. 72049725R00001 Resident Hire USPSC Infectious Disease Advisor, GS-13, Solicitation No. 72049725R10002 USAID CCNPSC Project Management Specialist (Tuberculosis), FSN-10, Solicitation No. 72049725R10004 USAID CCNPSC Project Management Specialist (Urban Resilience Lead), FSN-11.

Tom Wingfield, pakar tuberkulosis (TB) dan kedokteran sosial di Sekolah Kedokteran Tropis Liverpool, Inggris, mengatakan sulit untuk meremehkan dampak keputusan pembubaran USAID. “Orang-orang tidak menghargai jangkauan dan jangkauan USAID.

Dana tersebut digunakan untuk mengatasi kekurangan gizi, kebersihan, toilet, akses ke air bersih, yang semuanya berdampak besar pada penyakit TB dan diare. Penyakit tidak mengenal batas wilayah - hal ini lebih sering terjadi ketika terjadi perubahan iklim dan perpindahan penduduk secara besar-besaran. Penyakit menular akan menyebar,” ujarnya dilansir BBC.

Wingfield mengungkapkan, TB membunuh 1,3 juta orang per tahun dan membuat 10 juta orang lainnya sakit. Tetapi empat dari 10 orang tidak pernah menerima perawatan apa pun dan karena itu dapat menularkan penyakit, katanya. “Baik itu proyek penelitian atau klinik yang terkena dampak, maka kita menghadapi risiko penularan lebih lanjut. Orang-orang akan mati secara langsung karena pemotongan dana AS,” imbuhnya.

Bukan hanya klinik TB saja yang berisiko, tetapi juga klinik yang menyediakan perawatan bagi orang yang hidup dengan HIV. Banyak dari pekerjaan ini dilakukan oleh organisasi non-pemerintah, LSM, yang menyediakan obat antiretroviral penting yang dapat menekan jumlah HIV dalam darah ke tingkat yang tidak terdeteksi, yang membantu mencegah penularan seksual ke orang lain.

Menurut Wingfield, jika pengobatan terganggu, mungkin timbul masalah serius. “Orang dengan HIV yang terkontrol, jika mereka lupa minum obat, virus dalam darahnya akan meningkat dan ada risiko penularan selanjutnya. Ada risiko membatalkan semua kemajuan yang telah dicapai hingga saat ini,” tukasnya.

Amerika Batalkan Setop Anggaran Program Penanganan Malaria-TBC
Amerika Batalkan Setop Anggaran Program Penanganan Malaria-TBC

Pendiri Humanitarian Forum in Indonesia (HFI), Victor Rembeth menilai, USAID freeze sebenarnya membuka peluang bagi Indonesia untuk mencapai kemandirian di berbagai bidang yang selama ini tergantung pada bantuan USAID, termasuk sektor kesehatan.

Dia mengungkapkan, upaya yang dapat dilakukan antara lain dengan mendiversifikasi sumber pendanaan melalui kerja sama dengan lembaga internasional, seperti Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB), kemitraan dengan sektor swasta di mana perusahaan berkontribusi melalui tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) mendukung inisiatif kemanusiaan dan pembangunan di Indonesia.

“Penguatan kapasitas lokal juga menjadi penting dengan meningkatkan alokasi APBN serta mengoptimalkan efisiensi program sosial agar mandiri menjalankan program kemanusiaan,” tambah Victor.

Dia menegaskan pentingnya meningkatkan kemampuan dan kapasitas SDM lokal untuk menjalankan program pembangunan dan bantuan kemanusiaan. Pemerintah dapat memberikan pelatihan dan pendidikan, serta mendorong pengembangan inovasi dan teknologi lokal.

Selain itu, pemerintah dapat menyesuaikan program pembangunan yang sudah ada dengan kondisi dan kebutuhan di Indonesia, serta mengidentifikasi prioritas pembangunan yang lebih relevan. “Penyesuaian ini dapat dilakukan melalui konsultasi dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, masyarakat sipil, dan sektor swasta,” sambung Victor.

Belakangan, kedatangan Bill Gates yang mewakili Gates Foundation ke Indonesia seperti memberikan angin segar terutama dalam mengatasi penyakit TB. Meski mengapresiasi hal itu, Victor mengingatkan agar pemerintah tidak bergantung pada kerja sama dengan lembaga asing untuk menghindari ketergantungan jangka panjang.

“Ketergantungan kepada lembaga asing akan menyulitkan Indonesia mandiri dalam bidang kesehatan. Lebih baik berpikir bagaimana cara memaksimalkan potensi pakar atau ahli di bidang kesehatan agar mampu mandiri,” kata dia