Bagikan:

JAKARTA - Dalam beberapa pekan terakhir, publik Indonesia dihadapkan pada dinamika politik yang mengemuka: sekelompok purnawirawan TNI menyuarakan tuntutan agar Wakil Presiden terpilih, Gibran Rakabuming Raka, dicopot dari jabatannya.

Tuntutan ini disampaikan melalui sebuah petisi yang ditandatangani oleh 332 purnawirawan lintas matra—terdiri dari 103 jenderal Angkatan Darat, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel.

Dalam sejarah politik Indonesia, isu pemakzulan muncul beberapa kali, bukan wakil presiden tetapi presiden. Hanya dua presiden yang benar-benar dimakzulkan melalui proses politik formal oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR):

1. Presiden Soekarno (1967): Pada 12 Maret 1967, MPRS mencabut mandat Presiden Soekarno setelah menolak pertanggungjawabannya terkait peristiwa Gerakan 30 September 1965. Proses ini lebih bersifat politis daripada yuridis, karena belum ada mekanisme hukum formal seperti Mahkamah Konstitusi saat itu.

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dikudeta melalui Sidang Istimewa MPR tanggal 23 Juli 2001
KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dikudeta melalui Sidang Istimewa MPR tanggal 23 Juli 2001 (Ist)

2 . Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) (2001): Gus Dur dimakzulkan oleh MPR pada 23 Juli 2001 setelah konflik politik dengan DPR dan MPR, serta tuduhan penyalahgunaan dana. Meskipun tuduhan tersebut tidak terbukti secara hukum, MPR menggelar Sidang Istimewa yang berujung pada pencabutan mandatnya.

Selain dua kasus tersebut, terdapat beberapa wacana pemakzulan yang tidak berlanjut ke proses formal, seperti terhadap Presiden Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo. Namun, wacana-wacana tersebut tidak memenuhi syarat dan mekanisme yang ditetapkan dalam UUD 1945.

Isu pemakzulan terhadap wakil presiden (wapres) di Indonesia belum pernah terjadi secara resmi dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Namun, terdapat satu peristiwa penting yang berkaitan dengan pergantian jabatan wapres, yaitu pada tahun 2001 ketika Megawati Soekarnoputri naik dari posisi wapres menjadi presiden setelah pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Dalam Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 23 Juli 2001, Gus Dur diberhentikan dari jabatannya, dan Megawati diangkat sebagai presiden. Setelah itu, Hamzah Haz terpilih sebagai wapres menggantikan Megawati melalui pemungutan suara di MPR pada 25 Juli 2001.

Aspirasi dalam Negara Demokrasi

Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) menanggapi petisi tersebut dengan menyatakan bahwa dalam negara demokrasi, setiap warga negara berhak menyampaikan aspirasi. "Iya itu sebuah aspirasi, sebuah usulan ya. Boleh-boleh saja dalam negara demokrasi seperti kita," ujar Jokowi.

Petisi ini menjadi bahan perbincangan luas, memantik opini, pro dan kontra, serta memancing emosi publik. Tapi di balik gegap gempita narasi moral, ada hal mendasar yang sering luput: konstitusi tidak mengakomodasi tuntutan semacam itu.

Penting untuk memahami bahwa aspirasi politik harus berjalan seiring dengan koridor hukum yang berlaku. Dalam konteks ini, mekanisme pemberhentian presiden dan wakil presiden telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan terkait.

Batasan Konstitusional dalam Pemberhentian Wakil Presiden

Menurut Pasal 7A UUD 1945, presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, serta apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden .

Proses pemberhentian tersebut harus melalui tahapan yang ketat, termasuk pemeriksaan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menilai apakah presiden dan/atau wakil presiden benar-benar melakukan pelanggaran hukum sebagaimana dimaksud. Tanpa adanya bukti pelanggaran hukum yang kuat dan proses hukum yang sah, pemberhentian tidak dapat dilakukan.

Salah satu alasan yang mendasari petisi purnawirawan adalah kontroversi seputar putusan MK yang mengubah syarat usia minimal calon wakil presiden, memungkinkan Gibran yang berusia di bawah 40 tahun untuk mencalonkan diri. Putusan ini menuai kritik karena dianggap sarat konflik kepentingan, mengingat Ketua MK saat itu, Anwar Usman, adalah paman Gibran. Anwar Usman kemudian diberhentikan dari jabatannya oleh Majelis Kehormatan MK karena terbukti melakukan pelanggaran etik.

Meskipun demikian, secara hukum, Gibran telah sah terpilih sebagai wakil presiden melalui proses pemilu yang diakui oleh KPU dan telah melewati tahapan verifikasi serta pengesahan. Tidak ada putusan hukum yang membatalkan hasil pemilu tersebut.

Mahkamah Konstitusi (Antara)
Mahkamah Konstitusi (Antara)

Menanggapi petisi purnawirawan, Gubernur Lemhannas, Ace Hasan Syadzily, menyatakan bahwa usulan pemakzulan Gibran tidak perlu dikaji lebih lanjut karena tidak sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku .

Sementara itu, Direktur Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, menilai bahwa tuntutan tersebut lebih bersifat politis daripada legal. "Ini lebih pada tekanan politik, bukan jalur hukum," ujarnya .

Dalam negara demokrasi, setiap warga negara, termasuk purnawirawan TNI, memiliki hak untuk menyampaikan pendapat dan kritik terhadap pemerintah. Namun, penting untuk memastikan bahwa setiap aspirasi dan tuntutan disampaikan dan ditindaklanjuti melalui mekanisme hukum yang sah dan sesuai dengan konstitusi.

Pemakzulan seorang wakil presiden bukanlah proses yang dapat dilakukan semata-mata berdasarkan ketidakpuasan atau perbedaan pandangan politik. Diperlukan bukti pelanggaran hukum yang kuat dan proses hukum yang adil untuk mewujudkannya. Dengan demikian, stabilitas politik dan keberlanjutan demokrasi dapat terjaga dengan baik.