Bagikan:

JAKARTA – Menjelang Tahun Ajaran Baru sekolah 2025/2026, perubahan kebijakan di dunia pendidikan Indonesia kembali menjadi sorotan publik. Perubahan kebijakan yang diwacanakan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti antara lain adalah konsep Deep Learning, penjurusan kembali siswa SMA dan penerapan Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai pengganti UN.

Mu’ti beralasan, kembalinya sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA mulai tahun ajaran baru 2025/2026 adalah untuk mendukung penyelenggaraan TKA sebagai pengganti UN yang akan berbasis pada mata pelajaran tertentu. Sebab, TKA akan menjadi landasan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi segubgga diharapkan ke depannya tak ada lagi pengambilan lintas jurusan.

Padahal, peniadaan jurusan di SMA yang merupakan bagian dari program Kurikulum Merdeka dimaksudkan untuk memberi ruang bagi siswa untuk mengeksplorasi minat, bakat, serta aspirasi karier. Pada 2024 lalu, Kepala Badan Standar Nasional Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek, Anindito Aditomo mengungkapkan bahwa penghapusan jurusan di SMA menghapus diskriminasi terhadap murid jurusan non-IPA ketika seleksi nasional mahasiwa baru.

Pernyataan tersebut tentu bertolak belakang dengan tujuan yang dilontarkan Abdul Mu’ti bahwa kembalinya penjurusan di SMA untuk mengurangi pengambilan lintas jurusan. Artinya, belum setahun berjalan kebijakan memberi ruang kebebasan mengeksplorasi aspirasi karier, kini sistem penjurusan yang sedari awal membatasi dan mengarahkan minat siswa sebelum masuk perguruan tinggi dikembalikan lagi.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menilai, TKA mencerminkan masalah serius dalam sistem pendidikan Indonesia, di mana siswa/anak selalu dijadikan bahan kelinci percobaan, dan objek yang selalu diuji.

“Ironisnya ujian berkali-kali yang dilakukan oleh sekolah, sama sekali tidak diakui oleh pemerintah dan kampus, sehingga kampus harus tes ulang, dan juga pemerintah harus mengadakan TKA. Ini potret buruk karena tidak adanya trust di antara para pengelola pendidikan. Ini bisa terjadi karena memang dunia sekolah dan pendidikan kita dipenuhi dengan praktek manipulasi, korupsi, dan juga cuci nilai. Ini yang harus dibenahi dari atas sampai level bawah,” terangnya.

Menurut dia, penjurusan, perubahan kurikulum, atau sistem seleksi perguruan tinggi adalah isu kompleks yang sebenarnya membutuhkan pendekatan holistik. Karena itu, pemerintah sebaiknya tidak melanjutkan tradisi buruk “ganti menteri ganti kebijakan” yang menimbulkan kebingungan bagi murid, orang tua, guru, dan masyarakat.

“Soal gonta-ganti kebijakan ini menimbulkan banyak masalah dan membuat pendidikan kita tambah melorot dan tertinggal dengan kualitas pendidikan di negara-negara tetangga kita. Kurikulum di Indonesia sering diubah sebagai legacy politik menteri baru, bukan berdasarkan evaluasi jangka panjang. Akibatnya, guru dan siswa terus beradaptasi dengan sistem yang berubah-ubah dan hal itu menghambat proses belajar,” ujar Ubaid.

Penjurusan

Pengamat pendidikan, Muhammad Rizal berpendapat, penjurusan hanya semata-mata sebagai klasifikasi rumpun ilmu, bukan pembeda tingkat kecerdasan siswa. Karena itu, perubahan kebijakan penjurusan dianggap terlalu terburu-buru dan tidak berdasarkan kajian akademis yang memadai “Sebenarnya jurusan ini hanya sebuah klasifikasi untuk menentukan rumpun ilmu yang ada di pendidikan menengah. Namun sangat disayangkan terjadi dikotomi di dalam masyarakat yang mengatakan bahwa anak IPA lebih pintar daripada anak IPS,” imbuhnya.

Hal senada disampaikan pengamat pendidikan Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, yang menyebut penghapusan itu juga didasarkan pada pertimbangan untuk memberi anak didik kesempatan memilih mata pelajaran yang diminati untuk menunjang studi lanjut yang makin beragam program studinya.

“Jika kita ingin pendidikan kita maju, dalam arti memberikan layanan terbaik untuk anak-anak kita untuk eksplorasi minat dan potensi, maka kita bisa belajar dari tetangga kita di Australia, Selandia Baru misalnya, atau Finlandia, di situ tidak ada penjurusan yang ketat, apalagi dibagi cuma IPA, IPS, dan Bahasa,” bebernya.

Ilustrasi Siswa (Antara)
Ilustrasi Siswa (Antara)

Dia mencontohkan, di Singapura ada istilah streaming yang mirip penjurusan, tapi hanya dibagi dua, yakni science streaming dan art streaming, dengan siswa tetap diberikan keleluasaan memilih kombinasi mata pelajaran.

“Dengan fleksibilitas dan pilihan kita bisa lihat outcome dari pendidikan di Australia, Selandia Baru, Finlandia, dan Singapura. Dengan penjurusan, justru pilihan siswa terbatas dan tidak kompatibel dengan makin bervariasinya jurusan atau program studi yang berkembang di perguruan tinggi sekarang,” tambah Edi.

Dia menyatakan, untuk menunjang penguasaan mata pelajaran yang akan diujikan di TKA tidak memerlukan penjurusan. Pasalnya hal yang diperlukan adalah keseriusan guru untuk menemani siswa belajar, tahap demi tahap, dan memberikan feedback.

“Apakah kalau tanpa penjurusan anak didik tidak akan optimal penguasaan mata pelajaran, kan tidak. Penguasaan mata pelajaran tak terkait pengelolaan rumpun mata pelajaran, tapi pada aktivitas belajar sehari-hari dengan memastikan siswa menguasai konsep dasar sebelum naik belajar materi berikutnya, bukan dengan penjurusan,” tukas Edi.

Pendapat berbeda dilontarkan pengamat pendidikan Darmaningtyas. Menurutnya, sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di jenjang SMA lebih efektif dibandingkan Kurikulum Merdeka. Sebab, sistem penjurusan SMA yang sudah diterapkan sejak era 1960-an masih sangat relevan dengan kebutuhan pendidikan saat ini.

“Kenapa relevan? Karena sistem ini memberikan landasan keilmuan yang jelas bagi setiap murid. Hal ini mempermudah murid dalam memilih program studi di perguruan tinggi serta membantu perguruan tinggi dalam menyeleksi mahasiswa sesuai bidang keilmuannya,” ungkapnya.

Dia menilai Kurikulum 2013 masih lebih efektif karena lebih terstruktur dan fokus pada pengembangan kompetensi umum. Dengan sistem penjurusan, tata kelola sekolah menjadi lebih efisien, termasuk dalam merancang jumlah murid di setiap jurusan, kebutuhan guru, serta mata pelajaran yang diminati.

Pengamat pendidikan Universitas Sebelas Maret Solo, Tunjung W Sutirto menilai, pergantian kebijakan di dunia pendidikan pada setiap pemerintahan disebabkan oleh penyakit “epistimologi, yang berkaitan dengan metode atau cara untuk sampai ke tujuan. Sebab, selama ini untuk bisa mencapai tujuan tersebut Indonesia selalu terbentur dengan masalah metode. “Ganti pemimpin, pasti ganti lagi metodenya, termasuk soal pendidikan,” katanya.

Dia menyarankan agar pemerintah membuat rumusan metode sehingga tersistemasi dan dapat menjadi acuan bagi siapa pun pemimpinnya. Dengan begitu, tidak perlu terjadi pergantian metode setiap pergantian pemimpin, termasuk terkait kurikulum pendidikan yang ada di Indonesia. Dan pada akhirnya, visi misi besar Indonesia menyongsong era emas tahun 2045 pun dapat tercapai. “Contohlah Korea Selatan dan Jepang yang memiliki visi sangat tegas. Berbeda halnya dengan visi Indonesia yang selalu berubah,” tandasnya.