Bagikan:

JAKARTA – Kurikulum merupakan alat yang sangat penting bagi keberhasilan pendidikan. Tanpa kurikulum yang sesuai dan tepat, akan sulit untuk mencapai tujuan dan sasaran pendidikan yang diinginkan semua pihak. Beberapa kali kurikulum pendidikan di Indonesia diganti dengan harapan perubahan tersebut dapat memperbaiki kualitas pendidikan yang disesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan zaman.

Sejak Indonesia merdeka, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan berturut-turut yakni pada tahun 1947 dengan kurikulum yang masih dipengaruhi dengan sistem pendidikan kolonial Belanda, kemudian ada perubahan kurikulum tahun 1952, tahun 1964, dan tahun 1968.

Tujuh tahun kemudian pada tahun 1975 kurikulum pendidikan diganti lagi, tahun 1984, tahun 1994, tahun 2004 yang dikembangkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK), dan tahun 2006 berganti dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hingga terakhir adalah Kurikulum Merdeka yang mulai diterapkan tahun 2021.

Kini, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu'ti mengungkapkan konsep deep learning dengan tiga elemen utama, yaitu mindful, meaningful, dan joyful sebagai pengganti Kurikulum Merdeka. Mu'ti menyampaikan bahwa materi pelajaran saat ini terlalu padat dan perlu disederhanakan dengan materi yang disampaikan kepada siswa lebih ringan, tetapi tetap mendalam atau yang dikenal dengan istilah deep learning.

Mindful learning

Mindful learning berarti menghargai keberagaman dan keterlibatan setiap siswa dalam proses pembelajaran. Sementara itu, meaningful learning berarti mendorong siswa untuk berpikir kritis dan memahami alasan di balik setiap materi yang dipelajari. Adapun joyful learning membuat proses pembelajaran menyenangkan dengan tujuan agar siswa merasa puas dan memperoleh pemahaman yang mendalam.

“Seep learning bukan sekadar mengumpulkan fakta, tetapi lebih pada mendalami ilmu dan mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini bertujuan agar pembelajaran tidak hanya sebatas mengetahui informasi, juga mampu menerapkan pengetahuan tersebut dalam konteks yang lebih luas,” ungkapnya.

Ilustrasi Anak Sekolah (Antara)
Ilustrasi Anak Sekolah (Antara)

Pengamat pendidikan, Sunardi mengungkapkan, idealnya kurikulum pendidikan memang harus ditinjau secara rutin paling lama sepuluh tahun sekali. Tujuannya, agar kurikulum pendidikan dapat menyesuaikan perkembangan dan kebutuhan zaman yang semakin dinamis. Dengan demikian, perubahan kurikulum diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

“Apalagi jika kita bicara Indonesia Emas 2045 saat peringata satu abad kemerdekaan Indonesia. Proses menuju ke sana tentu harus disiapkan sejak dini termasuk pendidikan yang diharapkan bisa menghasilkan SDM yang unggul,” ujarnya.

Sayangnya, tataran ideal terkait kurikulum pendidikan belum bisa diterapkan di Indonesia. Sebab, kata Sunardi, kebijakan pendidikan kerap berubah, yang menyebabkan kesinambungan kebijakan di dunia pendidikan sangat lemah. “Setiap kali terjadi pergantian kepemimpinan dan sering melakukan perubahan kebijakan tanpa evaluasi mendalam,” imbuhnya.

Menurutnya, pergantian kurikulum pendidikan Indonesia dipengaruhi banyak hal seperti kondisi sosio politik global, penguatan ideologi negara, dan dinamika masyarakat. Tapi di Indonesia, perubahan kurikulum seperti menjadi rutinitas pemerintah setiap terjadi pergantian menteri pendidikan. “Setiap kali ganti menteri pasti ganti kurikulum. Bikin kurikulum baru kan menghabiskan uang triliunan. Ganti-ganti kurikulum juga kalau guru-gurunya enggak siap sama saja buang-buang duit,” tukasnya.

Dia menegaskan, hal mendasar untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia adalah membuat cetak biru pendidikan. Dengan demikian, keuangan negara tidak terbuang hanya untuk bongkar pasang kurikulum pendidikan.

“Saya lebih melihat proses yang diulang-ulang saja. Jadi sudah hal lumrah bila menterinya ganti, kurikulumnya diganti lagi. Kenapa enggak buat blueprint-nya dulu biar pijakannya di situ sehingga menterinya ganti-ganti pun tidak akan ada bongkar pasang kurikulum lagi,” terang Sunardi.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Martaji menilai bahwa peningkatan kompetensi guru di Indonesia jauh lebih penting daripada perubahan kurikulum yang terlalu sering. Menurutnya, perubahan kurikulum pendidikan akan sia-sia bila tidak ditunjang dengan kualitas tenaga pendidik yang masih jomplang.

“Jadi sekolah itu kan ada 8 standar pendidikan, standar pembiayaan, standar mutu, standar guru, standar sarana, standar proses, dan seterusnya itu harus merata, harus baik. Kalau standar itu masih buruk dan di bawah rata-rata, ya kita enggak bisa melakukan banyak hal gitu,” ungkapnya.

Dia menyatakan, pemerintah terlalu sering melakukan gonta ganti kurikulum pendidikan di Indonesia. Tapi, akar masalah dari pendidikan di Indonesia yakni soal kompetensi guru belum kunjung terselesaikan. “Contoh gini, kita punya skor buruk misalnya katakanlah Bahasa Inggris. Guru-guru kita ini misalnya ya, kompetensi bahasa Inggrisnya itu rata-rata Toeflnya cuma 300 gitu. Padahal standar minimal guru itu Toeflnya ya 500 guru Bahasa Inggris itu,” tuturnya.

“Lalu kita ribut dengan kurikulum, wah ini kurikulumnya harus dihapus, ini kurikulumnya harus diintegrasikan, ini metode pembelajarannya harus atraktif gitu. Tetapi kita harus tahu bahwa guru kita itu skor Toeflnya 300,” sambung Ubaid.

Dia menegaskan, konsep kurikulum yang baik harus didukung dengan peningkatan kualitas guru dan perbaikan sarana pendidikan. Dengan demikian, perubahan kurikulum bukan hanya sekedar formalitas yang terkesan “ganti menteri ganti pula kurikulum”. Para pendidik yang menjadi perantara dalam kurikulum harus memahami konsep kurikulum pendidikan nasional dengan baik, sehingga dapat mentransformasikan kepada anak didik.

“Apabila kurikulum itu tidak efektif dan sulit direalisasikan dengan sempurna, maka yang terjadi adalah kebingungan dan kesalahpahaman. Bila hal itu terjadi, maka yang paling menjadi korban adalah siswa,” tutup Ubaid.

Anggota Komisi X DPR Sofyan Tan mengingatkan pemerintah untuk tidak gonta-ganti kurikulum pendidikan. Pasalnya, pergantian kurikulum akan berdampak terhadap berbagai infrastruktur layanan pendidikan, terutama dari sisi infrastruktur SDM, khususnya bagi guru-guru di seluruh Indonesia yang berjumlah 3.328.000 orang.

“Pergantian kurikulum akan akan mempengaruhi lebih dari 3 juta guru. Kasihan, mereka harus harus kembali belajar dan adaptasi terhadap kurikulum baru. Padahal yang kemarin aja mereka juga sudah kesulitan,” katanya.

Menurut dia, pemerintah sebaiknya melakukan penyesuaian terhadap kebijakan yang sudah ada, termasuk dalam hal kurikulum, bukan semua harus diubah total. “Adjust aja. Hal-hal yang baik harus diteruskan atau dilanjutkan. Yang masih kurang diperbaiki. Saya percaya perubahan itu penting, tapi ya bukan berarti harus terus melakukan perubahan karena dampaknya sangat signifikan,” imbuhnya.

Selain itu, perubahan kurikulum juga akan berpengaruh terhadap keadilan layanan pendidikan di Indonesia. Sebab, kesiapan sekolah di setiap daerah sangat berbeda-beda. “Kita tidak bisa menutup mata, akses kualitas dan infrastruktur pendidikan belum merata di Indonesia. Bayangkan kalau yang di daerah yang akses pendidikannya belum memadai, harus memulai sesuatu hal baru lagi. Saya rasa akan sangat berat,” tukasnya.

“Indonesia punya beragam kondisi sosial-ekonomi, geografis, dan fasilitas pendidikan yang masih kurang di berbagai daerah. Siswa di daerah terpencil kerap kali memiliki keterbatasan dalam hal akses sumber belajar, infrastruktur sekolah, serta pendampingan tenaga pengajar,” tambah Sofyan