Bagikan:

JAKARTA - "Sudah lama ya sejak mula, kau dan aku tahu berapa harga lengan dan otot kau dan aku. Kau tahu berapa upah mu. Kau tahu jika mesin-mesin itu berhenti berapa harga yang pantas untuk tenaga mu". Penggalan puisi berjudul Bukan Kata Baru dari Widji Thukul ini seakan menggedor kesadaran, adanya perbedaan generasi di kalangan buruh

Generasi tua punya pengalaman lapangan, pemahaman sejarah, dan tapak perjuangan, sementara generasi muda yang hidup di era serba teknologi, memiliki kecepatan, kreativitas, dan strategi digital yang tak kalah serunya.

Haruskah perbedaan yang terlihat ini dijadikkan alat perpecahan? Tentu saja tidak. Justru perbedaan dari generasi antar buruh ini bisa memunculkan bentuk-bentuk perlawanan baru. Bentuk yang mungkin tak punya nama resmi, tapi punya tujuan yang jelas. Gerakan yang lahir dari keresahan, dibentuk lewat obrolan dan dikembangkan lewat media sosial.

Ilustrasi Buruh di Sudut Kota (Istimewa)
Ilustrasi Buruh Non Formal di Sudut Kota (Istimewa)

Sudut Kota

Di sudut lain kota, panggil saja Ridwan (28 tahun ) menunggu orderan berikutnya dari aplikasi ojek online. Helm sudah aus, jaketnya memudar. Dalam sehari, ia bisa mengantar makanan, mengantar penumpang, dan sesekali jadi kurir. Ia tak pernah tahu apakah esok ia masih bisa dapat penghasilan buat istri dan anaknya yang masih balita.

“Dulu sempat ada demo driver, tapi saya nggak ikut. Takut akun dibekukan,” katanya.

Ridwan tak punya kepastian. Tak ada gaji tetap, tak ada cuti, apalagi jaminan hari tua. Hubungannya dengan perusahaan aplikasi disebut "kemitraan", tapi nyatanya, ia bekerja penuh waktu. Ia buruh, tapi bukan pekerja formal.

Hari Tani dan Gelisah Atas Pengkhianatan

Hari tani dinilai sebagai momentum yang tepat untuk bergerak dan bersuara lebih keras atas kegelisahan buruh di rezim Jokowi. Tanggal 24 September 2019, sejumlah serikat buruh berada dibarisan aksi mahasiswa dan pemuda. Organisasi buruh seperti Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Nasional (KSN), Federasi Serikat Pekerja Pelabuhan (FPPI), Jaringan Komunikasi Perbankan (SP Perbankan), SINDIKASI, Sentral Gerakan Buruh nsional (SGBN), Gabungan Serikat Buruh Mandiri (GSBM) dan berbagai serikat buruh lainnya bersama mahasiwa serta pelajar turun ke jalan.

Selain mengampanyekan persoalan Ketenagakerjaan, buruh juga membawa isu demokrasi lainnya seperti Penolakan RKUHP, menolak pelemahan KPK melalui revisi UU KPK dan pimpinan KPK yang bermasalah, Pembatalan Pengesahan RUU Pertanahan, Mendesak Pengesahan RUU PKS serta menolak segala regulasi yang bertentangan dengan kepentingan rakyat.

Menilik sejarah, gerakan buruh di Indonesia tidak hanya berjuang untuk kepentingan buruh saja tetapi juga kepentingan yang lebih besar. Keterlibatan serikat buruh terhadap isu demokrasi dan kemerdekaan tidak hanya terjadi di masa sekarang. Di zaman pergerakan, serikat buruh mampu merepotkan pemerintah kolonial, melakukan pemogokan dan sabotase.

Di saat ribuan orang ditangkap, ratusan orang luka-luka, empat orang meninggal dunia, elite serikat buruh membentuk wacana di publik seakan-akan buruh tidak punya keterkaitan dengan isu yang diusung demonstran. Tujuh tuntutan aksi #reformasidikorupsi mereka anggap terpisah dari perjuangan buruh. Gerakan kaum muda saat itu seakan digembosi oleh dua pernyataan pimpinan serikat buruh yang menganggap bahwa aksi mahasiswa telah ditunggangi. Mereka bahkan menuding demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan pelajar ingin mengagalkan pelantikan Presiden terpilih, Joko Widodo.

Aksi Buruh di Tahun 2019 (Istimewa)
Aksi Buruh di Tahun 2019 (Istimewa)

"Kami mohon pada buruh Indonesia, karena ada pihak-pihak yang coba menarik-narik gerakan buruh ikut dalam aksi-aksi ini," kata Andi Gani Nena Wea usai bertemu Presiden Jokowi, 30 September 2019.

Kedua pimpinan serikat buruh itu seakan mengidap penyakit udim (lupa) akan sejarah. Serikat buruh mempunyai tugas secara ideologis untuk berjuang dan bergerak bersama rakyat. Serikat buruh harus hadir dalam persoalan yang dihadapi oleh rakyat.

Pergeseran Perlawanan melalui Sosial Media

Gerakan buruh selama ini identik dengan demonstrasi massal dan barisan pekerja yang memenuhi jalanan. Namun, bagi Generasi Z yang kini mulai memasuki dunia kerja, bentuk perlawanan itu mulai bergeser. Pergeseran yang tadinya melalui parlemen jalanan kini merambah ke dunia maya. Meski tidak ikut aksi namun suaranya justru lebih nyaring di telinga.

Bentuk perlawanan yang nyata terkait isu pengesahan omnibus law. Berbagai gerak muncul untuk mendukung undang-undang itu disahkan. Beberapa lembaga survei mengarahkan opini dengan survey yang bias hingga bot dan polybot di berbagai akun media sosial. Akun-akun bayaran gencar menyebarkan propaganda abu-abu (mencampur fakta dengan kesimpulan sendiri) untuk mengajak mendukung omnibus law.

Propaganda dengan menyebar banyak postingan yang menguntungkan para buruh jikaa menerima aturan terkait omnibus law. Salah satunya 'rayuannya' para buruh akan mendapatkan bonus tanpa menyebutkan syarat sulit dari bonus itu dan besaran bonus. Omnibus law juga disebut menciptakan lapangan kerja dengan menarik investasi tanpa disebutkan bahwa pasal-pasalnya berisikan kemudahan-kemudahan melakukan PHK.

Wakil Ketua DPP Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI) Adlan Nawawi mengatakan gerakan para pekerja dan buruh harus terus berkelanjutan guna menjawab tantangan zaman. Saat demokrasi telah menjadi narasi bersama, maka organisasi serikat buruh dan pekerja memerlukan penguatan internal yang secara khusus mampu mengembangkan kualitas dan kapasitas serta jaringan organisasi pekerja agar berkembang lebih baik.

Nawawi menambahkan perlawanan terhadap kekuasaan tidak lagi dapat dimaknai seperti masa lalu memaknainya. Sebab kekuasaan saat ini tidak lagi sepenuhnya kebal dari kritik dan pengawasan. Mereka bahkan banyak yang lahir dari rahim organisasi buruh dan pekerja, atau paling tidak, merupakan para ideolog perlawanan yang secara bersama-sama menyuarakan ketidakadilan dan menentang kesewenang-wenangan kekuasaan masa lalu. Nawawi meminta kepada semua buruh yang berada di parlemen atau pemerintahan untuk bisa berkembang lebih baik agar bisa leluasa menyuarakan kegelisahan yang dialami para buruh.

Ilustrasi Perlawanan Buruh melalui Media Sosial (Istimewa)
Ilustrasi Perlawanan Buruh melalui Media Sosial (Istimewa)

"Keberadaan representasi buruh dan pekerja di parlemen dan di pemerintahan perlu dikembangkan agar mampu berbicara lebih leluasa dan didengar secara nyaring di telinga publik. Termasuk menjadikan partai-partai politik yang eksis saat ini sebagai mitra perjuangan dalam rangka menyuarakan keprihatinan dan kegelisahan buruh dan pekerja," katanya melalui pesan yang tertulis.

Sementara itu Ketua Bidang Politik Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Jumisih mengakui saat ini sebagian generasi muda enggan untuk terikat dengan organisasi. Namun begitu perlawanan dalam menyuarakan keresahan kaum buruh tidak harus sama dan seragam. Menurut Jumisih, perbedaan dari perlawanan beda generasi ini justru memberikan warna dan perluasan wajah sebuah perlawanan.

"Tidak semua anak muda ingin berada di bawah satu bendera. Sebab mereka (anak-anak muda) zaman sekarang itu lebih familiar dengan digital. Mereka lebih cepat mendapatkan informasi dan lebih fleksibel. Ini yang membuat mereka enggan terikat dengan struktur organisasi seperti generasi kami dulu," kata Jumisih melalui pesan tertulisnya.

Gerakan perlawanan dari buruh sebagai salah satu kekuatan besar telah bergeser ke dunia digital. Gerakan solidaritas yang didasari senasib dan seperjuagan para buruh kini cukup dengan hanya menekan tombol 'retweet'. Mereka tidak perlu aksi dengan turun mendirikan parlemen jalanan di bawah terik matahari. Seakan mereka ingin berkata kami tidak perlu ikut berdemo tapi kami ikut terluka.

Media sosial telah menjadi ranah penting untuk memengaruhi opini massa mengambang. Di Amerika Serikat dalam pemilu 2016 kemarin, sekelompok akun Reddit (semacam Kaskus) dengan berani membahas isu-isu aktual dan sensitif di negeri paman Sam. Dan menariknya akun-akun itu dijalankan dari Rusia dan ada lebih 100 website berita palsu soal Amerika Serikat diproduksi dari Makedonia.

Aktivis wanita yang mengenakan hijab ini menambahkan para generasi muda zaman sekarang jika merasa resah mereka langsung bergerak. Gerak mereka itu bisa lewat media sosial dan terkadang ikut aksi bersama generasi buruh yang lebih senior (tua)." Yang penting adalah kesadarannya. Mereka merasa resah dan bergerak. Kadang lewat media sosial, kadang ikut aksi. Tapi ada juga yang belum sadar, dan di situlah pentingnya pendidikan," katanya.