JAKARTA – “Akan kacau dalam sebuah negara, dalam sebuah, termasuk di partai politik kalau mataharinya banyak, bisa dibayangkan, makin panas, karena matahari satu sudah panas, lalu ada dua, ada tiga, bagaimana?”
Pernyataan Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono yang dilontarkan di DPP Partai Demokrat tahun 2024 lalu seakan punya relevansi dengan isu adanya matahari kembar di pemerintahan Prabowo Subianto, usai beberapa menteri Kabinet Merah Putih (KMP) menyambangi kediaman Joko Widodo disertai ucapan bila Presiden ke-7 RI itu masih merupakan “bos” mereka.
Bila ditelisik, wajar bila SBY melontarkan pernyataan tersebut. Sebab, SBY pernah memiliki pengalaman adanya matahari kembar di pemerintahan. Tepatnya, di periode pertama pemerintahan SBY (2004-2009) ketika didampingi Jusuf Kalla sebagai wakil presiden.

Saat itu, banyak pihak menyebut bila JK kerap bertindak seolah-olah sebagai presiden. Entah hal itu dilakukan secara sadar atau tidak, yang jelas, JK dianggap sebagai matahari kembar saat mendampingi karena perannya yang sangat dominan dibanding SBY.
Salah satu contohnya adalah dalam pembangunan proyek jalan tol tahun 2007. Ketika itu, Kantor Wakil Presiden membuat rancangan peraturan baru tentang jalan tol. Semua ruas Jalan Tol Trans-Jawa yang terbengkalai harus “diselamatkan” dengan cara pengalihan konsesi. Padahal, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005, penjualan konsesi tidak diperbolehkan jika ruas jalan tol belum beroperasi.
Draf itu ditolak oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Tapi, JK jalan terus dengan memutuskan pengalihan konsesi cukup dengan dasar surat keputusan Menteri Pekerjaan Umum. Maka, salah satu pemegang konsesi, PT Lintas Marga Sedaya, menjual sahamnya ke Expressway Berhad, perusahaan Malaysia. Lintas Marga adalah konsorsium yang antara lain dimiliki oleh PT Bukaka Teknik Utama (Grup perusahaan JK).
BACA JUGA:
Bahkan, JK mengaku pernah “mengancam” akan mundur sebagai wapres saat SBY berencana membentuk badan negara yang berwenang memanggil dan memeriksa para menteri. “Saya ingat itu peristiwa saya lakukan juga hal yang sama satu kali ke Pak SBY, badan apa yah, lupa saya namanya, yang bisa panggil menteri. Wah, saya protes, saya datang ke Pak SBY bawa map pengangkatan wapres. Padahal isinya fotocopy-an, saya bilang pak kalau bapak bentuk badan itu berarti ada yang kuat dari saya, saya kembalikan ini. Oh jangan begitu pak, tidak ambil kembali ini. Jadi yang begjtu-begitu jadi pelajaran juga bagaimana caranya menggertak bos,” ungkap JK ketika menjadi salah satu narasumber dalam Seminar “Ethos 4 Jusuf” di Ballroom Hotel Universitas Hasanuddin, Senin (2/9/2024) silam.
Dosen Ilmu Politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menyebut bahwa wajar dengan pengalaman yang dimilikinya, SBY mewanti-wanti soal adanya matahari kembar dalam pemerintahan Prabowo. Dia menilai, pernyataan itu sebagai sebuah peringatan karena SBY tengah berupaya menjaga agar Pemerintahan Prabowo Subianto ke depan bisa berjalan stabil. “Memang betul harus satu komando, satu kepemimpinan, tidak boleh banyak pemimpin. Dunia saja kalau matahari banyak bisa kacau,” imbuhnya, Senin 28 April 2025.
Menurut dia, mungkin saja ada semacam indikasi atau gerakan yang bisa memunculkan banyak matahari yang dimaksud oleh SBY. Termasuk, cawe-cawe pemerintahan sebelumnya yang dipimpin oleh Jokowi. “Saya melihatnya ya, karena kepentingan untuk bangsa, jangan banyak matahari kembar. Kepemimpinan itu harus satu komando, dengan banyak dukungan dari partai politik itu, bukan masing-masing muncul membuat pencitraan masing-masing,” tukas Ujang.
Bertarung di 2029 sebagai Penyelesaian Matahari Kembar
Pakar etika politik dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Haryatmoko mengungkapkan, mencuatnya isu matahari kembar berhubungan dengan transisi kekuasaan dari Jokowi ke Prabowo yang belum jelas dan tegas. Pasalnya di negara demokratis, transisi kekuasaan itu harus jelas sehingga tidak menimbulkan dilema loyalitas birokrasi yang bisa berujung pada patronase politik.
“Karena masalahnya kan dikatakan Pak Prabowo akan melanjutkan politiknya Pak Jokowi. Tapi sejauh mana kekhasan dari Pak Prabowo itu juga ditampilkan. Saya melihat waktu kunjungan-kunjungan ke Pak Jokowi tidak tepat waktunya dan konteksnya. Maksud saya, supaya transisi ini jelas dan orang melihat ada loyalitas satu dan juga supaya birokrasi itu arahnya satu dan supaya kebijakan satu sebetulnya kan masyarakat juga ingin mendapatkan suatu kejelasan atau supaya transisi ini ada transparansi juga bahwa yang memang berkuasa saat ini adalah Pak Prabowo,” terangnya.

Dia mengatakan, waktu kunjungan-kunjungan para menteri KMP ke Jokowi yang kurang tepat pada akhirnya memunculkan anggapan politik patronase di masyarakat. Karena, masih ada yang merasakan Jokowi masih menjadi patron mantan-mantan menteri di kabinet pemerintahannya. “Bisa saja ada unsur-unsur untuk bisa menyelamatkan diri juga karena pengaruhnya Pak Jokowi masih ada. Maka yang penting transisi ini jelas dan untung Pak Prabowo secara publik tidak mengungkapkan ketersinggungannya,” tambah Haryatmoko.
Dia menjelaskan, meski Jokowi sudah menegaskan bahwa tidak ada matahari kembar dan matahari hanya satu yakni Presiden Prabowo Subianto, pernyataan itu masih bisa menimbulkan debat kusir dari segi atau aspek bahasa. Dalam ilmu bahasa, ada tiga aspek yakni ocationaryocionary, per locationary, ilo-locutionary. Dari aspek ilo-locutionary, lanjut Haryatmoko, suatu pernyataan dikatakan benar dan ada hubungannya dengan sejauh mana pernyataan itu ada implikasinya bagi yang mengatakan, atau dengan kata lain adanya satu kata dan perbuatan.
“Orang kan masih curiga, betul gak waktu (Jokowi) mengatakan Presidennya adalah Prabowo. Tapi apakah kebijakan-kebijakan, diam-diam masih sangat dipengaruhi oleh Pak Jokowi atau yang istilahnya cawe-cawe itu. Jangan-jangan masyarakat masih mendapatkan kesan seperti itu,” tandasnya.
Direktur Eksekutif Skala Data Indonesia, Arif Nurul Imam berpendapat, kunjungan menteri KMP seperti menunjukkan sulitnya melepaskan bayang-bayang Jokowi dalam pemerintahan Prabowo Subianto. Hal ini bisa menjadi alarm bahaya yang harus segera diatasi dengan baik. Sebab jika tidak, selamanya pemerintahan Prabowo akan terus dihantui dan tidak bisa mandiri dalam menjalankan seluruh program kerja yang telah dibuat.
“Saya kira ketika kepemimpinan kembar tentu akan terjadi tarik ulur kepentingan. Di mana dalam cawe-cawe Jokowi disinyalir oleh publik masih lumayan kuat dalam pemerintahan Prabowo-Gibran. Kita tahu faktor politiknya tentu karena Jokowi dianggap punya investasi terhadap kemenangan Prabowo-Gibran,” tuturnya.
“Kedua, kita tahu juga Gibran merupakan anak dari Jokowi. Karena itu acap kali Jokowi masuk dalam ranah-ranah kebijakan publik yang dianggap penting, meskipun itu di belakang panggung,” tambah Arif.
Pengamat sejarah, Reza Anshori punya pendapat menggelitik soal penyelesaian isu matahari kembar di era Prabowo Subianto. Ketua Umum Partai Gerindra itu bisa berkaca pada kisah Sultan Agung (Mataram) yang ingin memadamkan matahari lain di Tanah Jawa, yakni Giri Kedaton. Apalagi di era modern, SBY juga pernah melakukan hal yang sama dengan memadamkan matahari lainnya, yakni JK.
“SBY-JK adalah matahari kembar Indonesia di era modern. Seperti halnya Sultan Agung, SBY ingin agar matahari yang satu dipadamkan. Jika Sultan Agung menggunakan Pangeran Pekik dan Laskar Surabaya untuk mengalahkan Giri Kedaton, maka SBY menggunakan pemilu dan keluguan rakyat Indonesia untuk mengalahkan JK. Tinggal apakah Prabowo berani “menceraikan” agar Gibran maju di Pilpres 2029 dan memadamkan Jokowi yang diwakili Gibran di pemerintahan saat ini,” ujarnya.