JAKARTA - Awal Bulan Maret 2025 bertepatan dengan awal Bulan Ramadan, masyarakat Jabodetabek justru harus pusing akibat terjangan banjir yang nyaris melumpuhkan aktivitas mereka. Indonesia, sebagai negara kepulauan yang terletak di wilayah tropis, sering kali menghadapi berbagai bencana alam, termasuk bencana hidrologi. Bencana hidrologi adalah bencana yang berkaitan dengan siklus air, seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, dan banjir bandang.
Bencana banjir akibat hujan ekstrim terlihat mengguyur kawasan Bekasi dan sempat menggenangi seluruh wilayah Bekasi terutama karena aliran sungai Cibeet dan sungai Cileungsi meluap karena tingginya curah hujan di bagian Selatan atau Bogor. Bahkan kawasan tersebut mengalami hujan ekstrim justru terjadi di Puncak dan Bogor. Menurut Direktur Metrologi, Andri Ramdhani dari BMG, curah hujan di kawasan Puncak Bogor mencapai 300 mm/hari pada tanggal 4 Maret. Sehingga di sepanjang Sungai Cibeet dan kali Cileungsi terjadi banjir.
Sementara hujan di kawasan Jakarta justru curah hujan tidak terlalu lebat hanya hujan sedang, namun demikian sedikit mengalami banjir di beberapa wilayah, terutama di beberapa wilayah di bagian aliran Sungai Ciliwung dan Sungai Pesanggrahan. Namun kawasan seperti Rawasari dan Kampung Melayu tetap menjadi Kawasan langganan banjir karena luapan kali Ciliwung, dan kawasan yang dilalui Sungai Pesanggrahan. Namun banjir di Jakarta 4 Maret hanya terjadi tak terlalu lama maksimal ketinggian air hanya sampai 70 cm.
Banjir juga terlihat di bagian kawasan Tangerang akibat luapan Sungai Cisadane. Yang berhulu di Gunung Salak dan bermuara di sekitar kawasan Tanjung Burung, Tangerang. Banjir di kawasan Tangerang terlihat di Kawasan Ciledug dengan ketinggian 60 cm.
BACA JUGA:
Seperti siklus 5 tahunan kawasan Jabotabek selalu mengalami kejadian banjir besar. Apalagi Indonesia berada di wilayah dengan curah hujan tinggi, terutama selama musim hujan. Apalagi perubahan iklim global telah menyebabkan pola hujan menjadi tidak terprediksi, dengan intensitas hujan yang lebih ekstrem. Hal ini meningkatkan risiko banjir dan tanah longsor.
Upaya presiden Jokowi membangun beberapa waduk terutama bendungan Ciawi dan Sukamahi, yang direncanakan mengatasi banjir di Jabotabek, terutama aliran air Ciliwung, serasa tak efektif. Karena banjir kali ini ke kearah kawasan Bekasi berasal dari dua sungai Cibeet dan sungai Cileungsi yang berhulu di lereng Gunung Sangga Buwana, Cianjur atau di jalur timur Bogor.
Jalur sungai menurut Mukri dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) jalur sungai Kawasan Puncak dibagi tiga, jalur sungai bagian timur yakni sungai yang berhulu di Gunung Sangga Buana, hingga hingga kali Bekasi. Kemudian jalur tengah yang berhulu dari Pangrango, melewati Sungai Ciliwung,kemudian masuk katulampa dan mengalir lewat sungai Ciliwung dan bermuara di laut utara Jawa sungai inilah yang sering penyebab terjadi banjir di kawasan Jakarta. Dijalur inilah sudah dibangun waduk/ bendung Ciawi dan bendung Sukamahi.
Pembangunan Bendungan Ciawi dan Bendungan Sukamahi di Bogor merupakan proyek strategis yang dirancang untuk mengendalikan aliran air ke Jakarta dan mengurangi risiko banjir di wilayah Jabodetabek. Kedua bendungan ini dibangun sebagai bagian dari sistem pengendalian banjir terintegrasi, khususnya untuk menahan air hujan yang turun di kawasan hulu (Bogor) sebelum mengalir ke Jakarta. Sementara di bagian ada aliran sungai Cisadane yang hulunya dari Gunung Salak melalui Tangerang menuju muara Tanjung Burung ke laut utara.
Namun menurut pakar Tata Kota dar Tri Sakti, Yayat Supriatna kedua bendungan (Bendungan Ciawi dan Sukamahi) bisa menahan air sebelum sampai ke wilayah sebelum sampai ke daerah Katulampa. Namun debit hujan saat hujan 4 Maret justru intensitas hujan tinggi terjadi di kawasan Bogor sekitarnya yang aliranya mengarah ke sungai Cileungsi dan sungai Cibeet kemudian mengalir sungai Bekasi. Sementara daya dukung sungai Bekasi posisinya hampir sejajar ruas jalan.
Yayat mengatakan Bekasi sampai kapanpun akan terancam kebanjiran jika tidak segera dilakukan pembenahan dan penataan daerah seputar tepian sungai dan tidak segera dilakukan pembenahan tata ruang di daerah aliran sungai DAS seperti Sungai Cileungsi dan Cikeas. Apalagi yang semula jadi kawasan persawahan dengan irigasi bagus sejak tahun 1970 , Bekasi berubah menjadi daerah perumahan dengan masuknya BTN dengan Program Perumnas di lokasi itu. Akhirnya menjadi pengembangan perumahan, berubahnya fungsi sawah menjadi pemukiman. Apalagi penataan perumahan yang ada tidak desain dengan perencanaan yang memadai. Selalu mengancam potensi banjir.
Semua paham kondisi alam di kawasan Jabotabek, faktor penyebab banjir di kawasan itu terjadi sebab bencana hidrologi tidak hanya disebabkan satu faktor. Selain karena faktor curah hujan yang tinggi karena perubahan iklim, juga karena kerusakan lingkungan dibagian hulu, terjadi deforestasi dan berubahnya tutupan lahan karena rusaknya tata ruang wilayah di bagian hulu. Akibat aktivitas penebangan hutan secara ilegal dan alih fungsi lahan untuk perkebunan atau pertambangan telah mengurangi kemampuan tanah dalam menyerap air.
Selain buruknya sistem drainase dan badan sungai, telah puluhan tahun kondisi sungai- sungai di wilayah Bekasi termasuk di Jakarta tak pernah diadakan pengerukan endapan sehingga terjadi pengendapan. Selain juga kurangnya kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah di badan Sungai.
Dampak Bencana Hidrologi
Bencana hidrologi tidak hanya menyebabkan kerugian material, tetapi juga berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Beberapa dampak yang sering terjadi antara lain. Kerusakan Infrastruktur, Jalan, jembatan, dan bangunan rusak akibat banjir atau tanah longsor.
Dampak lain gangguan kesehatan akibat banjir akan menyebabkan wabah penyakit seperti diare dan leptospirosis. Selain gangguan Kesehatan. Dampak ekonomi sudah pasti dirasakan masyarakat, misalnya gagal panen, kerusakan property, kerusakan infrastruktur dan gangguan lain. Bahkan tak terhindari kerugian jiwa.
Lalu upaya dan mitigasi apa untuk mengantisipasi dan apa yang harus disiapkan untuk mengatasi kondisi ini. Selain tetap menyiapkan pasukan reaksi cepat untuk menangani kondisi darurat kebencanaan. Tetap terus koordinasi dengan BMKG untuk memperoleh informasi tanggap dini adanya bencana, termasuk rekayasa atau modifikasi cuaca.
Perencanaan Tata Ruang diarahkan mengatur pembangunan agar tidak mengganggu daerah resapan air dan daerah rawan bencana. Penanganan jangka panjang tentu melakukan perbaikan, penataan kawasan hulu, reboisasi kembali kawasan DAS sepanjang aliran sungai. Memperbaiki tata ruang untuk perbaiki kawasan, termasuk membenahi perbaikan aliran sungai, membuat tampungan/ bendungan untuk di daerah lebih ke bawah, seperti di Sungai Cileungsi, Cikeas dan di daerah Depok.
Terakhir adanya tindakan tegas seperti dilakukan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi untuk menyegel bagunan yang tidak memiliki izin. Bahkan mengembalikan peruntukan kawasan yang semula bekas kebun teh menjadi kebun atau menghijaukan kawasan tersebut. Serta penegasan tak ada bangunan di kawasan resapan air.
Tindakan tegas yang diambil oleh pemerintah Jawa Barat dalam mengatasi banjir di Jakarta dan Jabodetabek mencerminkan komitmen serius untuk mengurangi risiko bencana dan memulihkan lingkungan. Langkah-langkah tegas seperti normalisasi sungai, penertiban bangunan liar, reboisasi, dan pembangunan bendungan diharapkan dapat memberikan solusi jangka panjang. Namun, keberhasilan upaya ini juga sangat bergantung pada partisipasi aktif masyarakat dan konsistensi dalam penegakan hukum oleh pemerintah.
Penyebab banjir jabodetabek itu standar. Hilangnya resapan alih fungsi lahan dan alih fungsi lahan menjadi bangunan beton terutama Puncak. Ini walau sejarahnya Bekasi selalu banjir sejak zaman Belanda. Langkah Dedi Mulyadi ini patut diapresiasi.
Banjir juga terjadi pada Kamis, malam 6 Maret menyusul terjadi banjir di Kawasan Sukabumi, Jawa Barat banjir bandang. Sempat menimbulkan korban jika akibat setelah pemukiman yang lokasinya di tepi tebing hanyutnya akibat banjir dan longsor seorang ibu ditemukan meninggal dan 7 orang masih dinyatakan hilang karena terbawa longsor. Se rusaknya rumah di Sukabumi juga dilaporkan rusaknya sebuah jembatan dan memutus jalur jalan di lokasi tersebut.
Sementara dalam menanggulangi banjir, 4 kepala daerah, seperti Bupati Bogor, Walikota Bekasi, Bupati Bekasi, Walikota Depok dan dikomandoi Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi bersepakat patungan untuk mengatasi persoalan banjir. Dana yang terkumpul mencapai Rp500 miliar dan direncanakan untuk membangun embung dan melakukan pengerukan di muara pertemuan kali Cileungsi dan sungai Bekasi.