Korupsi Timah, Sinetron dan Pemberian Karpet Merah Bagi Praktik Tambang Ilegal

05 Maret 2025, 09:00 | Tim Redaksi
Korupsi Timah, Sinetron dan Pemberian Karpet Merah Bagi Praktik Tambang Ilegal
Foto Karya Luthfiah VOI

Bagikan:

JAKARTA – Emil Ermindra, Suwito Gunawan, Robert Indarto, serta Kwan Yung harus “berlapang dada” setelah Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta memperberat hukuman mereka dalam kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022.

PT Jakarta memperberat vonis Direktur Keuangan PT Timah Tbk. periode 2016-2020 Emil Ermindra menjadi 20 tahun penjara. Hakim Ketua Artha Theresia menyatakan Majelis Hakim memperberat vonis setelah menerima permintaan banding dari penuntut umum dan Emil atas hukuman yang dijatuhkan sebelumnya oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.

Terdakwa kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah tahun 2015-2022 Emil Ermindra/ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY)

Terdakwa kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah tahun 2015-2022 Emil Ermindra/ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY)

Vonis pidana denda yang dijatuhkan kepada Emil juga diperberat menjadi Rp1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 6 bulan. Hakim Ketua juga menyatakan Majelis Hakim turut menambahkan pidana Emil dengan hukuman tambahan berupa pembayaran uang pengganti senilai Rp493,4 juta.

Selain Emil, Majelis Hakim PT DKI Jakarta juga memperberat hukuman pemilik manfaat PT Stanindo Inti Perkasa (SIP) Suwito Gunawan alias Awi, Direktur PT Sariwiguna Binasentosa (SBS) Robert Indarto, serta pengepul bijih timah (kolektor), Kwan Yung alias Buyung, yang juga terlibat dalam kasus itu.

Terdakwa kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah Kwan Yung alias Buyung
Terdakwa kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah Kwan Yung alias Buyung (IST)

Hukuman Suwito diperberat menjadi 16 tahun penjara, denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan, serta uang pengganti Rp2,2 triliun subsider 8 tahun penjara. Kemudian, vonis Robert diperberat menjadi 18 tahun penjara, denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp1,92 triliun subsider 10 tahun penjara. Sementara itu, hukuman Buyung diperberat menjadi 10 tahun penjara serta denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan.

Sebelumnya, tersangka lain dalam kasus ini juga mendapatkan vonis hukuman tambahan. Harvey Moeis, yang semula divonis 6,5 tahun, denda Rp1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp210 miliar diperberat menjadi 20 tahun penjara, denda Rp1 miliar, dan uang pengganti Rp240 miliar. Kemudian Helena Lim yang semula divonis 5 tahun, denda Rp750 juta, dan uang pengganti Rp900 juta diperberat menjadi hukuman penjara 10 tahun, denda Rp1 miliar, dan uang pengganti Rp900 juta.

Kemudian, Mochtar Riza yang semula dihukum 8 tahun penjara dan denda Rp750 juta menjadi hukuman penjara 20 tahun penjara, denda Rp1 miliar dan uang pengganti Rp493,3 miliar. Sementara Suparta yang semula divonis 8 tahun, denda Rp1 miliar dan uang pengganti Rp4,57 triliun diperberat menjadi 19 tahun penjara, denda Rp1 miliar, dan uang pengganti Rp4,57 triliun. Reza yang semula divonis 5 tahun denda Rp750 juta menjadi dihukum 10 tahun penjara dan denda Rp750 juta.

Menilik ke belakang, kasus ini tidak serta merta muncul. Beda dari kasus-kasus yang biasa diusut KPK melalui operasi tangkap tangan atau OTT, perkara yang diusut Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) ini biasa disebut menggunakan metode case building atau mengembangkan kasus. Biasanya dalam perkara yang diusut melalui case building, pasal yang dikenakan memiliki ancaman hukuman yang lebih ngeri dibanding perkara-perkara yang sifatnya suap-menyuap. Ancaman hukumannya seumur hidup penjara atau bahkan mati dengan syarat kondisi tertentu.

Kronologis dari Kejagung

Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedana pertama kali bicara mengenai kasus ini pada Selasa, 17 Oktober 2023. Saat itu Ketut mengatakan penyidik Jampidsus sudah melakukan penggeledahan dan penyitaan di 3 lokasi yang berada di Bangka. “Tindakan penyitaan dan penggeledahan tersebut terkait dengan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk tahun 2015 s/d tahun 2022,” ungkapnya.

Sederhananya, lanjut Ketut, kasus ini mengenai kerja sama pengelolaan lahan PT Timah Tbk dengan pihak swasta secara ilegal. Hasil pengelolaan itu dijual kembali kepada PT Timah Tbk sehingga berpotensi menimbulkan kerugian negara.

Helena Lim di Pengadilan Tipikor/DOK FOTO: Rizky Adytia-VOI

Helena Lim divonis 5 tahun penjara, Pengadilan Tipikor/DOK FOTO: Rizky Adytia-VOI

Dalam perkara ini, Kejagung menetapkan 16 orang tersangka di mana seorang di antaranya dijerat terkait perintangan penyidikan, sementara 15 orang tersangka lainnya dalam pokok perkara. Tersangka Perintangan Penyidikan adalah Toni Tamsil alias Akhi. Adapun tersangka pokok perkara adalah Suwito Gunawan selaku Komisaris PT SIP atau perusahaan tambang di Pangkalpinang, Bangka Belitung, MB Gunawan selaku Direktur PT SIP, Tamron alias Aon selaku beneficial owner atau pemilik keuntungan dari CV VIP, Hasan Tjhie selaku Direktur Utama CV VIP, Kwang Yung alias Buyung selaku mantan Komisaris CV VIP, Achmad Albani selaku Manajer Operasional Tambang CV VIP, Robert Indarto selaku Direktur Utama PT SBS, Rosalina selaku General Manager PT TIN, Suparta selaku Direktur Utama PT RBT, Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku Direktur Utama PT Timah 2016-2011, Emil Ermindra selaku Direktur Keuangan PT Timah 2017-2018, Alwin Akbar selaku mantan Direktur Operasional dan mantan Direktur Pengembangan Usaha PT Timah, Helena Lim selaku manager PT QSE dan Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan dari PT RBT.

Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Kuntadi menjelaskan, meski Provinsi Bangka Belitung dikenal sebagai penghasil timah, dalam praktiknya penambangan timah ilegal di wilayah itu justru marak terjadi. Harvey mewakili PT RBT menghubungi sejumlah smelter atau bisnis-bisnis peleburan timah yang terlibat dalam kasus ini. Harvey juga pernah menghubungi Mochtar Riza Pahlevi Tabrani ketika aktif sebagai Direktur Utama PT Timah. Maksud Harvey berkomunikasi dengan Mochtar adalah untuk mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah itu yaitu dengan modus sewa-menyewa alat peleburan timah.

Sebelum menjerat Harvey, kejagung sudah lebih dulu menetapkan Helena Lim sebagai tersangka. Dari rumahnya disita uang miliaran rupiah serta brankas berisi perhiasan. Kejagung menduga Harvey meminta pihak smelter menyisihkan keuntungan yang dihasilkan dari praktik terselubung itu di mana kemudian dikelola seolah-olah menjadi dana corporate social responsibility (CSR) yang difasilitasi Helena.

“Keuntungan yang disisihkan diserahkan kepada yang bersangkutan dengan cover pembayaran dana CSR yang dikirim para pengusaha smelter ini kepada HM melalui QSE yang difasilitasi oleh tersangka HLN,” beber Kuntadi.

Pada tanggal 31 Desember 2024, Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar menerangkan, kerugian negara dalam kasus korupsi pengelolaan tata niaga timah ini adalah sebesar Rp300 triliun. Tapi, bukan berarti uang itu dinikmati oleh para terdakwa korupsi timah. Nilai tersebut berasal dari aspek-aspek kerugian negara yang memiliki hitungannya masing-masing. Pertama, kerja sama penyewaan alat processing penglogaman timah yang tidak sesuai prosedur merugikan negara sebesar Rp Rp2,28 triliun. Nilai kerugian itu akibat adanya pembayaran kepada lima smelter swasta yang bekerja sama dengan PT Timah dikurangi dengan harga pokok penjualan (HPP) smelter PT Timah.

Smelter swasta yang dimaksud adalah PT Refined Bangka Tin, CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa dan PT Tinindo Internusa. Setelah itu, Harli juga menyebut jenis kerugian lain yang ditanggung oleh negara. “Kerugian keuangan negara atas pembayaran bijih timah dari tambang timah ilegal Itu Rp26,6 triliun,” imbuhnya.

Kerugian terbesar yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi ini adalah kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan ilegal. Menurut Harli, ahli lingkungan hidup telah menghitung bahwa kerugian negara mencapai Rp271 triliun yang terdiri dari segi ekologi, ekologi lingkungan dan biaya pemulihannya.

Pemerintah Lalai Awasi Tata Kelola Sektor Ekstraktif !

Menurut Peneliti Pusat Kajian AntiKorupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM, Yuris Rezha Kurniawan, kasus korupsi di PT Timah merupakan fenomena gunung es di mana penyalahgunaan izin usaha pertambangan belum semuanya terkuak. Besar kemungkinan modus korupsi yang sama terjadi di perusahaan tambang lainnya. Namun begitu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di sektor sumber daya alam ini ditengarai belum sepenuhnya optimal karena masih lemahnya sistem pengawasan pemerintah hingga penegakan hukum yang cenderung pro pelaku bisnis.

Dia menyatakan, dalam kasus korupsi PT Timah, kejagung tengah mengejar kerugian keuangan dan perekonomian negara akibat pembelian pasokan timah yang tidak sesuai prosedur dengan harga diatas standar. Padahal, jika merunut duduk perkara yang disampaikan kejagung, maka ada satu isu yang juga perlu disorot yakni mengenai persekongkolan dengan melibatkan pebisnis tambang illegal.

Kasus korupsi di PT Timah ini, lanjut Yuris, menjadi bukti telak adanya persekongkolan pemerintah melalui perusahaan negara dengan pengusaha korup. Pasalnya, perusahaan tambang ilegal seharusnya ditindak secara hukum malah justru sebaliknya dirangkul dan difasilitasi sedemikian rupa. Bahkan dijadikan rekanan untuk mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam dengan cara melanggar hukum. “Anehnya, hal ini juga luput dari pengawasan pemerintah maupun aparat penegak hukum,” tandasnya.

Kepala Dinas ESDM Provinsi Bangka Belitung periode 2021–2024 Amir Syahbana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (11/12/2024). (ANTARA)

Kepala Dinas ESDM Provinsi Bangka Belitung periode 2021–2024 Amir Syahbana divonis 4 tahun penjara, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (11/12/2024). (ANTARA)

Dia mengungkapkan, secara umum ada beberapa modus yang sering terjadi pada kasus korupsi sumber daya alam. Seperti misalnya suap untuk meloloskan pemberian izin yang tidak layak, hingga kekurangan penerimaan negara yang disetor akibat manipulasi data produksi sumber daya alam. Kasus korupsi PT Timah ini seperti mempertontonkan bagaimana praktik tambang ilegal yang seharusnya menjadi bagian dari pengawasan pemerintah dan penegakan hukum dari aparat justru mendapat “karpet merah” untuk menjalankan bisnisnya.

Karena itu, kejagung seharusnya bisa menelusuri lebih lanjut lemahnya pengawasan hingga kemungkinan adanya pembiaran terhadap operasi tambang ilegal ini. Apalagi misalnya praktik seperti ini terjadi selama bertahun-tahun. “Apabila terdapat bukti adanya pembiaran, apalagi misalnya sampai dapat dibuktikan adanya suap untuk menutup mata terhadap praktik ilegal tersebut maka bukan tidak mungkin akan ada aktor lain yang bisa dijerat dari pengembangan perkara kasus ini,” tutur Yuris.

Dia menegaskan, pemerintah harus punya komitmen kuat untuk mengupayakan berbagai cara pencegahan agar kasus serupa tidak terjadi kembali. Sebab, korupsi sumber daya alam tidak akan selesai hanya dengan mengembangkan sistem untuk kemudahaan berbisnis. “Tapi juga perlu diperketat perihal pengawasan, pengelolaan konflik kepentingan yang berkelindan antara pejabat atau menteri dengan perusahaan di sektor sumber daya alam, serta penegakan hukum yang independen dari pengaruh bisnis,” tukas Yuris.

Koordinator Korupsi Politik ICW, Egi Primayogha mengatakan, kasus korupsi timah menunjukkan bila pemerintah dalam hal ini Kementerian BUMN dan ESDM lalai memastikan tata kelola sektor ekstraktif yang baik. Kementerian BUMN tidak memastikan PT Timah, entitas BUMN yang berada di bawah tanggung jawabnya, untuk mengambil langkah yang dapat mencegah terjadinya korupsi. PT Timah selaku BUMN diketahui menerbitkan Surat Perintah Kerja Borongan Pengangkutan Sisa Hasil Pengolahan mineral timah yang “memperlancar” praktik kotor perusahaan-perusahaan boneka yang menambang bijih timah secara ilegal.

Sementara Kementerian ESDM lalai melakukan peran pengawasan sebagaimana telah dimandatkan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Padahal, Kementerian ESDM dibekali kewenangan yang luas untuk mengawasi pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mulai dari teknis pertambangan, pemasaran, pengelolaan lingkungan hidup, hingga kesesuaian pelaksanaan kegiatan sesuai dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP).

“Kasus korupsi PT Timah memperpanjang praktik buruk tata kelola sektor ekstraktif. Dalam catatan ICW, sepanjang 2004–2015 saja, negara sudah rugi Rp5,714 triliun hanya dari penyelundupan timah secara ilegal akibat tidak dibayarkannya royalti dan pajak PPh Badan. Apabila dirata-rata selama kurun waktu 12 tahun tersebut, negara kecolongan timah ilegal sebanyak 32,473 ton/tahun,” kata Egi.