JAKARTA - Kejagung sudah menetapkan sembilan tersangka terkait dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero), Sub Holding dan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) tahun 2018-2023. Akibat adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, telah mengakibatkan adanya kerugian negara sekitar Rp193,7 triliun pada 2023.
Rinciannya, Kerugian Ekspor Minyak Mentah Dalam Negeri sekitar Rp35 triliun. Kerugian Impor Minyak Mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp2,7 triliun. Kerugian Impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun. Kerugian Pemberian Kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun. Kerugian Pemberian Subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun. Total selama lima tahun Rp968 Triliun.
BACA JUGA:

LBH Jakarta Kecam Dugaan Pengoplosan Pertamax, Buka Posko Pengaduan Masyarakat
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengecam keras dugaan pengoplosan BBM jenis Pertamax (RON 92) yang diungkap Kejaksaan Agung (Kejagung). Dugaan ini terkait tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Sub Holding serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023.
"Jika benar terjadi, ini adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan masyarakat. Selain itu, ini juga melanggar hak konsumen atas BBM yang berkualitas," kata Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan, kepada VOI.ID, Minggu, 2 Maret 2025.
Fadhil menegaskan bahwa masyarakat berhak mendapatkan jaminan kualitas dan informasi yang transparan mengenai BBM yang mereka gunakan. Menyikapi dugaan ini, LBH Jakarta bersama Center of Economic and Law Studies (Celios) membuka posko pengaduan, baik secara daring maupun luring, bagi masyarakat yang merasa dirugikan.
"Sejak 26 Februari 2025, kami membuka posko pengaduan bagi warga yang terdampak. Hingga hari ini, sudah ada 506 laporan yang masuk," ungkap Fadhil.
Menurutnya, posko ini bertujuan untuk mendalami dampak dugaan pengoplosan dan merumuskan langkah advokasi bagi masyarakat. Laporan yang masuk akan menjadi dasar untuk menelusuri lebih jauh kasus ini.
Jika terbukti ada pengoplosan, LBH Jakarta dan Celios siap menjembatani masyarakat agar hak mereka dipulihkan. "Pertamina harus bertanggung jawab dan mengganti kerugian konsumen yang terdampak," tegas Fadhil.
Korupsi di Sektor Energi Hambat Transisi ke Energi Baru dan Terbarukan

Korupsi di sektor energi masih menjadi batu sandungan utama dalam transisi menuju energi baru dan terbarukan (EBT). Skandal terbaru dugaan pengoplosan Pertamax dan Pertalite oleh PT Pertamina semakin memperumit upaya Indonesia untuk beralih ke energi bersih.
Direktur Greenpress Indonesia, Igg Maha Adi, menyoroti persoalan ini dalam pernyataannya pada Senin, 3 Maret 2025.
"Skandal ini menunjukkan bahwa pemerintah lebih memilih mengeluarkan banyak uang untuk impor. Korupsi dalam tata kelola BBM tidak hanya merugikan ekonomi, tetapi juga berdampak buruk bagi lingkungan," kata Adi.
Dampak Lingkungan dari Korupsi BBM
Menurut kajian Greenpress, dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina periode 2018-2023 memiliki tiga dampak utama bagi ekologi:
1. Peningkatan Emisi Karbon
Kebijakan impor minyak mentah dalam jumlah besar berkontribusi pada emisi karbon tinggi yang dihasilkan kapal tanker pengangkut bahan bakar.
2. Eksploitasi Sumber Daya Alam
Manipulasi produksi kilang membuat eksploitasi minyak dalam negeri tidak optimal, yang berpotensi mendorong eksploitasi berlebihan di wilayah tertentu atau bahkan membuka lahan eksplorasi baru yang merusak ekosistem.
3. Pencemaran Udara
Manipulasi kualitas BBM berisiko meningkatkan pencemaran udara, terutama di kota-kota besar. Greenpress menegaskan bahwa pencampuran Pertalite menjadi Pertamax dapat menghasilkan bahan bakar yang tidak memenuhi standar emisi.
Desakan untuk Transparansi Energi
Adi mendesak pemerintah untuk mengambil langkah tegas dalam penegakan hukum dan pelestarian lingkungan.
"Sudah saatnya Indonesia benar-benar menerapkan kebijakan energi yang transparan dan berkelanjutan demi masa depan yang lebih hijau," tegasnya.
EBT, lanjut Adi, merupakan energi alternatif yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Selain membantu mengurangi emisi karbon dioksida, EBT juga berperan dalam mengatasi pemanasan global.
Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan EBT, di antaranya:
Mini/micro hydro: 450 MW
Biomassa: 50 GW
Energi surya: 4,80 kWh/m²/hari
Energi angin: 3-6 m/det
Energi nuklir: 3 GW
Dengan potensi tersebut, Indonesia memiliki peluang besar untuk beralih ke energi bersih. Namun, langkah konkret dalam memberantas korupsi menjadi kunci agar transisi ini berjalan dengan baik. Pengamat politik sekaligus Dosen Ilmu Politik di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno ikut buka suara mengenai gaji fantastis dari Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga.
Menurut Adi, seharusnya gaji Dirut Pertamina dipangkas saja setara UMR agar ikut merasakan susahnya menjalani kehidupan.
"GEDE BENER GAJINYA. EMANG KERJANYA APA? Kutipan media “estimasi gaji Direktur Utama Pertamina Patra Niaga per bulan mencapai Rp 1,81 Miliar. Pangkas aja setara UMR biar ikut merasakan susahnya berkelahi dgn hidup. Pangkas gaji bos perusahaan BUMN itu," tulis Adi Prayitno dalam cuitannya, dikutip Minggu, 2 Maret.
Gaji Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan yang ditetapkan tersangk aoleh Kejaksaan Agung (Kejagung) mencapai Rp 1,816 miliar setiap bulannya.