Bagikan:

JAKARTA - Harga Bitcoin sempat melonjak lebih dari 7 persen ke angka 83.000 dolar AS (Rp1,39 miliar) pada Kamis, 10 April, sebelum kembali turun ke 80.000 dolar AS (Rp1,34 miliar) pada Jumat, 11 April. 

Lonjakan harga ini terjadi setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan pencabutan sementara tarif global selama 90 hari, kecuali untuk China.

Kebijakan tarif baru Trump menggantikan rencana sebelumnya dengan tarif tetap sebesar 10 persen untuk seluruh mitra dagang AS selain China. Tampaknya keputusan ini disambut positif oleh pelaku pasar global, termasuk pasar kripto. 

Selain Bitcoin, altcoin seperti Ethereum (ETH), XRP, dan Dogecoin (DOGE) juga mencatatkan kenaikan dua digit. Namun, di tengah euforia pasar, data derivatif menunjukkan bahwa para pedagang profesional tetap berhati-hati.

"Meski ada dorongan harga yang signifikan secara teknikal, pasar derivatif menunjukkan bahwa pelaku pasar besar masih menahan diri untuk benar-benar masuk secara agresif," ujar analis Tokocrypto, Fyqieh Fachrur dalam pernyataannya.

Fyqieh menambahkan bahwa ketidakpastian makroekonomi global, terutama dari data inflasi AS dan Tiongkok yang akan dirilis dalam waktu dekat, masih menjadi faktor penentu arah harga Bitcoin selanjutnya.

"Konsolidasi dan volatilitas akan tetap tinggi dalam beberapa hari ke depan. Jika data inflasi menunjukkan tekanan yang rendah, maka potensi rally ke 88.800 dolar AS (Rp1,47 miliar) atau bahkan 100.000 dolar AS (Rp1,68 miliar) bisa terbuka,” jelasnya. 

Tapi jika sebaliknya, Fyqieh menambahkan, tekanan jual bisa kembali membawa BTC ke kisaran support 73.500 dolar AS atau sekitar Rp1,23 miliar.

Dengan pasar yang masih menantikan rilis data ekonomi dari dua kekuatan utama dunia, AS dan China, langkah selanjutnya dari Bitcoin akan sangat ditentukan oleh arah kebijakan moneter global dan ekspektasi inflasi.