Bagikan:

JAKARTA - Para pendukung kecerdasan buatan (AI) di Eropa mengandalkan teori ekonomi berusia 160 tahun untuk menjelaskan mengapa lonjakan saham sektor ini masih berpotensi berlanjut, meskipun munculnya model AI murah dari China, DeepSeek.

Saham teknologi global anjlok pada 27 Januari setelah peluncuran DeepSeek - yang dikabarkan memiliki biaya jauh lebih murah dibanding model AI pesaing dan membutuhkan chip yang kurang canggih - memicu pertanyaan tentang investasi besar-besaran Barat dalam produsen chip dan pusat data.

Di pusat aksi jual tersebut adalah Nvidia, raksasa chip AS dan ikon AI, yang kehilangan 17% nilainya atau hampir 600 miliar dolar AS, mencatat penurunan kapitalisasi pasar satu hari terbesar dalam sejarah perusahaan mana pun.

Sejak itu, saham teknologi telah pulih, di mana pasar Eropa mencapai rekor tertinggi, dan teori ekonomi abad ke-19 mendadak menjadi perbincangan utama: Paradoks Jevons.

Dinamai dari ekonom Inggris William Stanley Jevons, teori ini menyatakan bahwa ketika penggunaan suatu sumber daya menjadi lebih efisien, permintaannya bisa meningkat - bukan menurun - karena biaya penggunaannya semakin murah.

Lonjakan Perhatian terhadap Paradoks Jevons

"Saya belum pernah mendiskusikannya sampai Senin (pekan lalu), dan tiba-tiba teori ini ada di mana-mana," kata Helen Jewell, Chief Investment Officer di BlackRock Fundamental Equities, EMEA, dikutip VOI dari Reuters.

"Paradoks ini menyoroti salah satu ketidakpastian saat ini," tambah Jewell. Ini mengisyaratkan bahwa pertanyaan besar bagi investor Eropa adalah apakah pusat data dan pemasoknya akan tetap diminati.

"Salah satu tanda tanya besar dari berita Senin (27 Januari) lalu adalah seberapa banyak energi yang akan dibutuhkan untuk revolusi AI ini?"

Penurunan tajam tersebut berdampak pada perusahaan yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam AI. Pembuat peralatan semikonduktor Belanda, ASML, bersama pesaing sektoralnya ASMI  dan BE Semi  semuanya turun 7%-12% pada 27 Januari sebelum kembali pulih di akhir pekan, begitu pula Siemens Energy, yang menyediakan perangkat keras untuk infrastruktur AI.

"Paradoks Jevons menyerang lagi!" ujar CEO Microsoft, Satya Nadella, dalam sebuah unggahan di X. "Seiring AI menjadi lebih efisien dan mudah diakses, penggunaannya akan meroket, menjadikannya komoditas yang tidak bisa kita hentikan penggunaannya."

Kebutuhan Pusat Data Tetap Jadi Sorotan

Pada Jumat, 24 Januari, Tomasz Godziek, manajer portofolio di Tech Disruptors Fund dari J. Safra Sarasin Sustainable Asset Management, mengatakan bahwa biaya AI yang lebih rendah bisa menjadi bukti nyata Paradoks Jevons.

"Pada akhirnya, ini dapat memicu gelombang baru investasi AI, menciptakan peluang baru, terutama dalam teknologi perangkat lunak dan inferensi," kata Godziek.

Manajer portofolio di Thematics Asset Management, afiliasi Natixis IM, juga menyebut Paradoks Jevons sebagai alasan mereka percaya bahwa permintaan akan chip AI kemungkinan tetap kuat.

Mark Hawtin, kepala tim ekuitas global di Liontrust, mengatakan tesis investasinya di AI justru semakin diperkuat oleh berita 27 Januari, dengan menyoroti paradoks ini.

"Semua orang tiba-tiba menjadi ahli dalam Paradoks Jevons," ujar Kunal Kothari, manajer portofolio di Aviva Investors yang mengelola dana ekuitas Inggris senilai sekitar 2 miliar pound ($2,5 miliar).

"Penurunan biaya peningkatan produktivitas melalui GenAI kemungkinan akan menguntungkan perusahaan di pasar Inggris secara umum, karena mereka lebih banyak menjadi konsumen teknologi ini," tambahnya, menunjuk ke perusahaan data dan perangkat lunak seperti RELX, LSEG, Experian, dan Sage sebagai pihak yang berpotensi mendapat manfaat.

Kebutuhan akan pusat data dan jumlah energi yang sangat besar untuk menjalankannya telah mendorong banyak investasi AI di Eropa, mengingat tidak ada pesaing lokal terhadap Nvidia, yang sahamnya telah melesat sekitar 200% dalam dua tahun terakhir.

"Ada asumsi implisit bahwa adopsi dan penggunaan AI akan membutuhkan semakin banyak chip, serta kapasitas pusat data dan konsumsi daya yang lebih besar," kata Kasper Elmgreen, CIO ekuitas dan pendapatan tetap di Nordea Asset Management.

"Apa yang dilakukan DeepSeek adalah mempertanyakan kebutuhan dari jalur tersebut dan apa yang dapat dicapai dengan membuat perangkat lunak yang jauh lebih baik."

Namun, tidak semua orang yakin dengan logika baru ini, termasuk Jordan Rochester, kepala strategi FICC di Mizuho EMEA.

"Meskipun banyak optimis Nvidia menunjuk pada Paradoks Jevons untuk membantu mereka tidur lebih nyenyak di malam hari ... teori ini kurang meyakinkan dalam jangka pendek setelah lonjakan meteorit saham Nvidia," tulisnya dalam sebuah catatan.