Bagikan:

JAKARTA – Kabar mengejutkan kembali mengguncang industri otomotif Jepang. Nissan, raksasa otomotif ketiga terbesar di Negeri Sakura, dikabarkan akan menggelar pertemuan dewan direksi pada 11 Maret mendatang. 

Menurut sumber yang dikutip dari Reuters, 7 Maret, agenda utama pertemuan adalah membahas potensi pengganti CEO Nissan Makoto Uchida, yang posisinya dinilai semakin goyah akibat performa perusahaan yang terus menurun.

Tak heran, nama-nama seperti Chief Financial Officer Jeremie Papin, Chief Planning Officer Ivan Espinosa, dan Chief Performance Officer Guillaume Cartier, muncul sebagai kandidat kuat pengganti. Namun, belum ada kepastian siapa yang akan terpilih, mengingat mereka semua terkait erat dengan kepemimpinan Uchida yang tengah terancam.

Spekulasi penggantian Uchida semakin menguat setelah kegagalan negosiasi merger dengan Honda bulan lalu. Rencana pembentukan perusahaan bernilai 60 miliar dolar AS itu kandas di tengah jalan akibat perbedaan pandangan, terutama terkait keseimbangan kekuasaan antar kedua raksasa otomotif tersebut. Usulan Honda untuk menjadikan Nissan sebagai anak perusahaan menjadi titik krusial yang akhirnya membatalkan kesepakatan.

Seperti yang diberitakan VOI sebelumnya, di tengah ketidakpastian ini, rumor tentang potensi aliansi Nissan dengan perusahaan elektronik Taiwan, Foxconn, mencuat. Foxconn, yang memiliki divisi kendaraan listrik (EV) yang sedang berkembang di bawah kepemimpinan mantan eksekutif Nissan, Jun Seki, dinilai bisa menjadi mitra strategis. Nama Seki sendiri sempat disebut-sebut sebagai calon pengganti Uchida jika merger dengan Honda berhasil, atau jika Nissan menjalin aliansi empat arah dengan Honda, Foxconn, dan Mitsubishi Motors.

Badai Tak Berkesudahan: Warisan Ghosn dan Tantangan EV China

Krisis kepemimpinan di Nissan ini merupakan babak baru dari drama panjang yang dimulai sejak penggulingan mantan Chairman Carlos Ghosn pada akhir 2018. Ini akan menandai pergantian CEO keempat dalam kurun waktu kurang dari enam tahun.

Nissan menghadapi tantangan struktural yang lebih dalam dibandingkan para pesaingnya. Warisan krisis pasca-Ghosn, fokus pada volume daripada nilai yang merusak citra merek, kegagalan memanfaatkan kepeloporan EV dengan Leaf, dan kesalahan prediksi permintaan hybrid di AS, menjadi beban berat yang harus ditanggung.

Di saat yang sama, para produsen otomotif tradisional menghadapi ancaman serius dari produsen EV China yang menawarkan mobil-mobil canggih dengan harga kompetitif. Nissan, yang juga terancam tarif impor kendaraan dari Meksiko ke AS, kini berada di persimpangan jalan yang krusial.

Pertemuan dewan direksi Nissan pada 11 Maret mendatang menjadi sorotan utama. Siapa yang akan dipilih sebagai pengganti Uchida? Apakah Nissan akan menjalin aliansi baru dengan Foxconn? Bagaimana Nissan akan mengatasi tantangan struktural dan persaingan ketat dari produsen EV China? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan arah masa depan Nissan di tengah badai industri otomotif global.