Tarif baru dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump bukan sekadar angka. Ini bom waktu yang meledak diam-diam di jantung strategi hilirisasi Indonesia. Bukan lagi soal ekspor semata. Ini ancaman langsung terhadap kedaulatan ekonomi nasional.
Pada April 2025, Amerika Serikat resmi mengenakan tarif impor hingga 32 persen terhadap produk dari Indonesia. Kebijakan ini mereka sebut “resiprokal”. Resiprokal artinya timbal balik. Dalam konteks perdagangan, kalau satu negara mengenakan tarif atau pajak tinggi untuk barang dari negara lain, maka negara yang dirugikan bisa membalas dengan tarif yang sama.
Amerika Serikat menyebut kebijakan tarif impor terhadap Indonesia itu sebagai kebijakan resiprokal—alias balasan yang setara. Tapi kenyataannya tidak adil. Indonesia tidak mengenakan tarif tinggi ke barang dari Amerika. Kalau mau bicara jujur. Ini bukan upaya menyamakan perlakuan dagang, melainkan cara halus untuk menyingkirkan pesaing dari pasar AS.
Masalahnya, produk Indonesia yang dikenai tarif itu bukan sembarang barang. Hasil dari proses hilirisasi: produk plastik, makanan-minuman, elektronik, tekstil, dan peralatan listrik. Barang jadi, hasil dari investasi dan teknologi, bukan lagi bahan mentah seperti satu dekade lalu. Inilah inti masalahnya.
BACA JUGA:
Tarif tinggi itu menyerang langsung hasil hilirisasi. Karena tarif dikenakan bukan pada bahan baku, tapi pada barang yang sudah diproses. Coba bayangkan: ketika Indonesia ekspor bijih tembaga atau nikel mentah, tarifnya kecil. Tapi ketika bahan mentah itu kita olah jadi kabel listrik atau baterai kendaraan listrik di dalam negeri, lalu kita ekspor ke Amerika, tiba-tiba tarifnya melonjak ke 32 persen. Artinya jelas: negara-negara besar lebih suka kita tetap mengekspor bahan mentah. Mereka tidak ingin kita naik kelas jadi produsen barang jadi.
Akibatnya sangat konkret. Produk kita kalah di pasar global karena harga jadi lebih mahal. Pabrik yang sudah dibangun kesulitan menjual produknya. Investasi jadi ragu masuk. Hilirisasi yang dibanggakan bisa mati sebelum benar-benar hidup. Ini bukan spekulasi. Ini ancaman nyata.
Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (INAPLAS) juga resah dan mendesak pemerintah segera mengantisipasi dengan kebijakan perlindungan pasar yang tegas. Salah satunya adalah dengan mempercepat proses penyelidikan anti-dumping dan safeguard. Industri elektronik dan peralatan listrik juga merasakan hal yang sama. Mereka mendesak pemerintah mempertahankan kewajiban TKDN agar pasar domestik bisa menyerap produksi, karena harapan ke ekspor makin sempit. Ini belum termasuk industri tekstil, makanan-minuman, hingga manufaktur komponen otomotif.
Sektor hilir adalah lapangan kerja. Tempat investasi masuk. Rantai nilai yang panjang. Jika sektor ini terpukul, maka ribuan tenaga kerja bisa terancam. UMKM penyokongnya ikut lumpuh. Daya beli masyarakat turun. Dan seluruh siklus ekonomi ikut merosot.
Pemerintah mencoba merespons. Presiden Prabowo Subianto sudah menjalin komunikasi diplomatik dengan Malaysia, Filipina, dan Singapura. Bahkan sudah terbang ke menemui PM Malaysia. KADIN sedang mempersiapkan delegasi ke Washington. Apindo menyarankan kesepakatan bilateral. Masalah lain muncul karena hingga kini belum ada pengganti Dubes Indonesia untuk AS setelah Rosan Roeslani diangkat menjadi Wakil Menteri BUMN, lalu Menteri Investasi.
Suara lantang juga datang dari Menteri Kebudayaan, Fadli Zon. Bukan karena jabatannya, tapi karena ketepatan sikapnya. Lulusan London School of Economics itu menyebut tarif Trump sebagai bentuk baru dari unilateralisme yang merugikan negara-negara berkembang dan menimbulkan gejolak di pasar global. Menurutnya, Indonesia harus menghentikan ekspor bahan mentah. “Nilai tambah, lapangan kerja, dan kedaulatan industri hanya tercapai lewat hilirisasi," kata Fadli.
Fadli mendorong agar diplomasi disertai tindakan nyata. Bangun pasar alternatif. Kuatkan ekosistem produksi dalam negeri. Jangan berharap pada kelonggaran dari luar. Apalagi jika dunia terbukti tak adil. Sebab hingga kini, AS justru tidak mengenakan tarif pada produk dari Rusia dan Korea Utara—dua negara yang secara politik justru bermusuhan dengan Washington. Indonesia, yang selama ini menjadi mitra dagang terbuka, justru dihukum. Ini ironi sekaligus teguran keras.
Situasi ini makin menunjukkan bahwa hanya negara yang punya keberanian ekonomi dan strategi politik kuat yang bisa bertahan. Lihatlah China. Saat tarif tinggi diberlakukan oleh AS, mereka tak menunduk. Mereka membalas dengan mengenakan tarif 34 persen terhadap seluruh barang dari Amerika. China tak gentar kehilangan pasar. Sebab yang mereka pertahankan bukan sekadar angka ekspor, tapi harga diri industrinya.
Bank Indonesia mengingatkan, tekanan tarif ini bisa membuat rupiah bergejolak atau secara sederhana makin tertekan. Pekan lalu, nilai tukar sudah menyentuh sekitar Rp16.500 per dolar AS. Inflasi membayangi. Biaya impor naik. Harga-harga bisa terdorong ke atas. Pada akhirnya, yang paling merasakan adalah rakyat. Karena tarif ini bukan cuma soal industri. Ini bisa masuk ke dapur rumah tangga lewat kenaikan harga dan berkurangnya pekerjaan.
Ekonom Indef Eisha Maghfiruha Rachbini menyarankan agar Indonesia segera membuka pasar ke Afrika, Asia Tengah, dan Amerika Selatan. Tapi semua itu butuh waktu dan dukungan logistik.
Jika pemerintah gagal merespons secara sistemik dan cepat, maka hilirisasi akan jadi mimpi. Pabrik-pabrik yang baru tumbuh bisa padam sebelum berbuah. Kita kembali jadi pengekspor mentah. Seperti dulu. Tarif ini bukan sekadar bea masuk. Ini ujian terhadap arah sejarah. Ini soal berani atau tidaknya kita berdiri atas kaki sendiri.