Tiga hari jelang Lebaran 2025, suasana stasiun dan terminal berubah. Lebih ramai dibanding hari biasa, tapi tak seramai tahun lalu. Jalan tol ramai tapi tidak terlalu padat. Penyeberangan Merak - Bakauheni juga tidak seramai tahun lalu. Tak ada kepadatan luar biasa. Yang terdengar hanya suara lirih di kepala: "Pulang mahal. Dompet tak cukup."
Pemerintah memprediksi jumlah pe-mudik hanya 146,48 juta orang, turun tajam dari tahun lalu yang mencapai 193,6 juta orang. Penurunan 24 persen ini bukan sekadar angka. Ini cermin dari ekonomi yang sedang terluka.
Komisi V DPR menyebut penurunan ini sebagai bukti meluasnya frugal living—gaya hidup hemat dan efisien. Tapi, sesungguhnya, ini bukan pilihan gaya hidup. Ini cara bertahan hidup.
Tekanan ekonomi paling terasa di pundak generasi muda. Terutama mereka yang disebut generasi sandwich.
Mereka harus menopang dua arah sekaligus: menghidupi orang tua di kampung dan keluarga sendiri di kota. Umumnya berusia 30 sampai 50 tahun. Usia produktif, tapi terjepit kebutuhan.
Pendapatan tak cukup. Menabung makin sulit. Impian pribadi ditunda. Bahkan kebutuhan dasar pun kadang harus dikorbankan. Dalam situasi seperti ini, mudik bukan hanya mahal—tapi nyaris mustahil.
Survei Litbang Kompas mencatat, 67 persen responden dari 34 provinsi termasuk kategori generasi sandwich. BBC Indonesia menyebut, ini bukan lagi fenomena kelas menengah. Ini masalah lintas kelas sosial.
Beban finansial mereka bukan hanya soal pribadi. Ini menyentuh kepentingan nasional. Bonus demografi bisa gagal dimanfaatkan jika usia produktif justru kelelahan menopang dua generasi.
BACA JUGA:
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, pada 2022, rasio ketergantungan mencapai 44,67 persen. Pada 2025, angka ini diprediksi naik menjadi 47,7 persen. Artinya, hampir satu dari dua orang usia produktif menanggung beban orang tua dan anak.
Sementara itu, mudik yang agak sepi membuat perputaran uang pun lesu. Tahun ini, perputaran uang Lebaran diprediksi hanya Rp145 triliun, turun dari tahun lalu yang mencapai Rp165 triliun. Kadin bahkan menyebut penurunannya bisa mencapai Rp20 triliun.
Sektor ritel menjerit. Target Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) untuk meraih omzet Rp36,2 triliun masih samar. Pengusaha seperti dimuat di berbagai media mengeluh. Belanja Lebaran tak seperti biasanya.
Di balik poster diskon besar-besaran, realita berbicara lain. Ada karyawan yang tak mendapat THR karena PHK. Warung tutup lebih awal. Sopir travel, tukang jahit, pedagang musiman—semua kehilangan musim panen tahunan.
Biaya transportasi melonjak. Gaji tetap. Bahkan banyak yang kehilangan pekerjaan. Achmad Nur Hidayat, ekonom dan pengamat kebijakan publik dari UPN Veteran, seperti dilansir dari situsnya menyebut sektor ritel dan manufaktur jadi korban utama PHK massal.
Data Apindo menyebut, selama Januari–Februari 2025, jumlah pekerja yang terkena PHK mencapai 40.000 orang. PHK paling banyak terjadi di Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Tangerang, menurut Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam.
Banyak orang tetap tinggal di kota. Bukan karena ingin, tapi karena tidak mampu pulang.
Idulfitri tetap datang. Tapi tidak semua bisa menyambutnya dengan gembira. Banyak yang memilih mengencangkan ikat pinggang.
Dilansir dari Kompas, banyak keluarga tidak lagi membeli baju baru atau kue kering. Mereka lebih memilih masak sendiri. Merayakan dalam kesederhanaan.
Dulu, mudik adalah bentuk syukur. Kini, bertahan di kota saja sudah dianggap cukup.
Bagi banyak orang, mudik tak lagi jadi prioritas. Bukan karena rindu hilang. Tapi karena kenyataan lebih keras dari harapan.
Generasi sandwich, yang dulu memaksakan pulang meski berutang, kini mulai sadar. Mereka tetap kirim uang. Tetap video call. Tapi mereka tahu: pulang kini jadi kemewahan.
Dan ini bukan kisah satu-dua orang. Ini cerita jutaan warga Indonesia.
Lebaran tahun ini mencatat satu kenyataan pahit: pulang adalah kemewahan. Tradisi yang dulu tak tergantikan, kini tumbang di hadapan tiket mahal, dompet tipis, PHK, dan THR yang tak kunjung datang.
Apakah ini akhir dari tradisi mudik? Mungkin belum. Tapi kita sudah masuk babak baru. Era di mana mudik bukan lagi tentang pulang, tapi tentang bertahan hidup.
Dan inilah—kisah paling jujur dari Indonesia hari ini.
Selamat Hari Raya Idulfitri 1446 H. Mohon maaf lahir dan batin.