Bagikan:

Sidak demi sidak dilakukan. Menteri, Kapolri, DPR, hingga Wakil Presiden turun tangan. Hasilnya? 66 perusahaan terindikasi mencurangi Minyakita. Sebanyak 14 sampel tak sesuai takaran. Ada yang menggunakan label palsu. Ada pula yang menjual lebih mahal dari Harga Eceran Tertinggi (HET). Ini bukan sekadar kecurangan bisnis. Ini pengkhianatan terhadap kepercayaan publik.

Minyakita, yang dicanangkan sebagai solusi minyak murah untuk rakyat kecil, kini berubah jadi mimpi buruk. Minyak goreng curah dioplos. Takaran disunat. Harga dimainkan. Rakyat seolah bukan hanya dipermainkan, tetapi juga dikhianati.

Saat pertama kali diluncurkan pada 2022, Minyakita dijanjikan sebagai minyak goreng berkualitas dengan harga Rp14.000 per liter. Tapi sejak awal, masalah sudah terlihat. Sekarang di 2025, HET naik jadi Rp15.700 per liter.

Dulu soal minyak goreng ini, stok langka. Distribusi tersendat. Harga melonjak. Kini boroknya terbuka. Takaran yang seharusnya 1 liter, disunat jadi 800-900 ml. Produsen nakal meraup keuntungan dengan menjual minyak kurang takaran ke pasar. Bahkan, ada yang menempelkan label Minyakita palsu untuk menjual minyak goreng curah lebih mahal. Harga pun melampaui HET.

Laporan Polda Metro Jaya menemukan tiga produsen terbukti mengurangi takaran Minyakita. Investigasi lain mengungkap praktik pengemasan ulang di Bogor, Surabaya, dan Sampang, Madura. Minyak curah murah dikemas ulang dan dijual sebagai Minyakita palsu.

"Kalau sesuai ukuran pasti dibeli," kata Menteri Perdagangan Budi Santoso. Tapi bagaimana rakyat bisa percaya kalau isinya saja sudah dicurangi?

Sidak besar-besaran dilakukan. Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, menemukan Minyakita tak sesuai takaran di berbagai pasar. Kapolri mengungkap modus baru dalam distribusi. Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menyerukan pengawasan lebih ketat. Namun, apakah ini cukup? Apakah semua ini tak lebih dari seremoni?

Di lapangan, Polda Banten menangkap Direktur PT Artha Eka Global Asia, berinisial SEW (44). Dia diduga melakukan Tindak Pidana Perlindungan Konsumen dan Perdagangan minyak tanpa izin. Apakah ini cukup mengembalikan kepercayaan publik? Atau hanya untuk menenangkan kegaduhan sementara?

Seperti skandal minyak goreng sebelumnya, rasanya masih banyak pelaku yang tak tersentuh. Pemain besar di rantai distribusi tak tersentuh. Hanya produsen kecil yang dikorbankan. Aktor utama tetap leluasa mengatur pasokan dan harga.

Kebijakan yang seharusnya membantu rakyat justru membebani. Minyakita yang dulu dipercaya, kini ditinggalkan. Konsumen mencari alternatif lain meski lebih mahal.

Kepercayaan terhadap distribusi kebutuhan pokok semakin rapuh. Kasus Minyakita ini bukan satu-satunya. Sebelumnya, ada skandal oplosan Pertalite menjadi Pertamax yang merugikan konsumen. Di SPBU, masyarakat membayar harga tinggi untuk bahan bakar yang kualitasnya dipertanyakan. Sama seperti Minyakita, janji kualitas dan harga terjangkau hanya permainan oknum. Lantas, siapa yang bertanggung jawab atas kepercayaan yang tergerus?

Minyakita adalah cermin dari gagalnya regulasi dan pengawasan. Jika rakyat tak lagi percaya pada produk yang dijamin pemerintah, bagaimana mereka bisa percaya pada kebijakan lainnya? Skandal oplosan Pertalite menjadi Pertamax yang dilakukan direksi PT Pertamina Patra Niaga berdampak besar. SPBU Pertamina sepi. Penjualan turun hingga 50 persen.

Minyakita seharusnya menjadi solusi. Tapi yang terjadi justru kecurangan yang merugikan rakyat kecil. Sidak hanya jadi tontonan. Rasanya masih ada pemain di balik layar.

Dan kini, Minyakita tak hanya disunat takarannya. Kepercayaan rakyat pun lenyap. Akankah skandal ini berakhir seperti yang sudah-sudah—kegaduhan sesaat lalu dilupakan? Ataukah kali ini ada tindakan nyata?

Jawabannya, seperti biasa, ada di tangan mereka yang berkuasa. Tapi, apakah kita masih cukup naif untuk berharap? Semoga.