Bagikan:

Pemerintah Indonesia sedang berperang melawan judi online, dan Presiden Prabowo Subianto telah menegaskan komitmennya untuk memberantas praktik ilegal ini. Dalam beberapa tahun terakhir, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) atau sekarang disebut Komunikasi dan Digital (Komdigi) telah menutup lebih dari 2,1 juta situs judi online. Namun, meski upaya ini terus dilakukan, masalah judi online belum juga terselesaikan. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat 168 juta transaksi judi online dengan nilai total mencapai Rp327 triliun sepanjang tahun 2023. Bahkan, sejak 2017, perputaran dana judi online diperkirakan sudah mencapai Rp517 triliun.

Berdasarkan survei Populix, 84% pengguna internet Indonesia pernah melihat iklan judi online dalam enam bulan terakhir, dan 63% di antaranya melihat iklan serupa setiap kali mengakses internet. Hadi Tjahjanto, saat menjabat Menko Polhukam, mengungkapkan bahwa pemerintah telah memetakan sekitar 2,37 juta korban judi online di Indonesia, termasuk 2% di antaranya adalah anak-anak di bawah usia 10 tahun.

Dampak dari judi online sangat merusak. Korban judi online bukan hanya pemain, tetapi juga keluarga dan teman-teman mereka. Banyak orang terjebak dalam masalah finansial serius akibat kecanduan judi. Cerita tragis muncul di mana banyak orang terpaksa berutang atau menjual barang berharga demi memenuhi keinginan berjudi. Beberapa bahkan dilaporkan mengalami depresi dan berusaha bunuh diri akibat kerugian besar yang mereka alami.

Ironisnya, dalam upaya pemberantasan judi online, ditemukan keterlibatan oknum pegawai di Kementerian Komunikasi dan Digital. Kepercayaan publik terhadap pemerintah kembali terguncang karena seharusnya mereka menjadi garda terdepan dalam perang melawan judi online, bukannya ikut terlibat dalam praktik merusak ini.

Pemberantasan judi online di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan besar. Pertama, keterbatasan teknologi menyebabkan situs-situs baru bermunculan cepat setelah yang lama ditutup. Kedua, hukum yang masih kompleks dan terbatas pada yurisdiksi nasional, sementara judi online sering beroperasi di luar negeri. Tanpa teknologi yang memadai, penutupan situs judi online hanya bersifat sementara.

Pemberantasan judi online membutuhkan pendekatan lebih holistik. Dibutuhkan satuan tugas khusus dengan kewenangan penuh untuk mengawasi dan melakukan audit menyeluruh terhadap instansi terkait. Pegawai di posisi strategis harus diawasi lebih ketat. Jangan sampai tergoda karena melibatkan uang besar. Setiap indikasi keterlibatan oknum harus ditindak tegas tanpa kompromi. Transparansi dalam tindakan hukum juga perlu diperkuat agar memberikan efek jera yang jelas.

Situs judi online sering menggunakan sistem enkripsi canggih yang membuatnya sulit dilacak. Banyak operator judi online yang beroperasi di luar negeri memanfaatkan celah hukum internasional, yang menjadi hambatan besar dalam pemberantasan. Ini membuat upaya pemberantasan judi online terasa tertinggal.

Solusi untuk masalah ini adalah dengan memperkuat teknologi yang dapat menutup situs judi online secara otomatis dan cepat. Karena situs judi online ini seolah mati satu tumbuh lagi yang lain. Pemerintah juga perlu memperkuat pengawasan internal untuk memastikan tidak ada oknum yang terlibat dalam praktik ilegal. Selain itu, masyarakat harus diberikan edukasi lebih intensif tentang bahaya judi online, terutama anak-anak yang menjadi korban potensial. Kampanye kesadaran yang menyoroti cerita-cerita tragis korban judi online akan membantu orang lebih memahami risiko yang mereka hadapi.

Pemberantasan judi online hanya akan berhasil jika ada komitmen kuat dari pemerintah dan instansi terkait. Kejujuran, transparansi, dan tindakan tegas harus menjadi pedoman dalam perang melawan judi online. Jika Presiden Prabowo Subianto serius dalam memberantas judi online, langkah pertama yang harus diambil adalah membersihkan internal instansi yang terlibat dan memperkuat sinergi antarinstansi. Tanpa langkah ini, perjuangan melawan judi online akan terus terhambat.