Bagikan:

JAKARTA – Dalam beberapa bulan sebelum Lebaran 2025, Indonesia disibukkan oleh demonstrasi #IndonesiaGelap. Demonstrasi itu tidak kecil, karena diikuti oleh ribuan orang dengan motor aktivis prodemokrasi dan mahasiswa, serta tersebar di 58 kota di seluruh Nusantara. Demo hanya berhenti ketika Lebaran tiba, dan bukan mustahil akan terjadi lagi setelah liburan usai.

Situasi tersebut jelas kontradiktif dengan hasil-hasil survei di berbagai lembaga, yang menunjukkan tingkat kepuasan tinggi dalam 100 hari kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto di akhir Januari lalu. Ambil contoh hasil survei Kompas, yang menunjukkan angka kepuasan mencapai hampir 81 persen.

Angka tak jauh berbeda ditunjukkan lembaga-lembaga survei lain, yang rata-rata mencatatkan tingkat kepuasan di atas 70 persen.Tingkat kepuasan terhadap Prabowo tersebut melampaui yang didapatkan oleh Presiden ke-7 RI, Joko Widodo.

“Kepuasan terhadap kinerja Prabowo-Gibran tinggi 80,9 persen ini termasuk tinggi. Pak Jokowi kan 75,6 persen di akhir pemerintahan. Pak Jokowi 65 persen pada 100 hari kerja, sementara Pak Prabowo langsung 80 persen,” ujar Ignatius Kristanto, Manajer Riset Litbang Kompas dalam paparan hasil survei “Evaluasi 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran”, yang digelar secara virtual pada Jumat 17 Januari lalu.

Presiden Prabowo Subianto melambaikan tangannya sebelum masuk ke dalam pesawat kepresidenan PK GRD di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (9/4/2025). Presiden memulai rangkaian lawatan luar negerinya dari Jakarta menuju Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UAE), kemudian Turki, Mesir, Qatar, dan Yordania. (Biro Pers Sekretariat Presiden/Muchlis Jr)

Namun bukan berarti angka-angka approval ratings yang tinggi tersebut tidak lantas mengundang tanya. Dari survei Kompas yang dilakukan terhadap 1000 responden di 38 provinsi dalam kurun waktu 4-10 Januari 2025 menunjukkan, bahwa kebanyakan yang menyatakan puas berasal dari kalangan tingkat pendidikan rendah (sekolah dasar atau tidak bersekolah).

Sementara untuk tingkat pendidikan lebih tinggi (SMA hingga perguruan tinggi), tingkat kepuasan mencapai 70 persen. Dapat dikatakan bahwa persebaran tingkat kepuasan terhadap Presiden Prabowo tidak merata. Dan memang dari kalangan berpendidikan lah yang merasa bahwa masih banyak pembenahan yang harus dilakukan.

Strategi Populisme Jokowi

Prabowo sendiri mengakui bahwa faktor Jokowi lah yang membuatnya melesat menjadi Presiden ke-8 Indonesia. Dia meneriakkan yel-yel “hidup Jokowi!” dalam beberapa kesempatan pidato politik di hadapan publik. Popularitas Jokowi di mata masyarakat Indonesia memang luar biasa, sampai akhirnya agak meredup menjelang akhir kepemimpinannya karena dipandang menabrak prinsip-prinsip demokrasi.

Jokowi sukses besar berkat strateginya mempraktikkan “paham populisme”. Menurut Kurt Weyland, profesor Ilmu Pemerintahan dari University of Texas, Amerika Serikat, populisme adalah strategi politik yang diterapkan oleh seorang pemimpin karismatik yang memupuk hubungan langsung dengan akar rumput tanpa mediasi pihak lain. Dan strategi tersebut semakin diperkuat setelah dia meraih tampuk kekuasaan.

Sisi buruk dari strategi populisme semacam ini, menurut Weyland, adalah sang penguasa cenderung memandang sistem demokrasi dan peraturan sebagai penghambat konsolidasi kekuasaan. Itu dapat berakibat pada perusakan supremasi hukum, penyanderaan atau pelemahan lembaga pengawas, bahkan pengikisan kebebasan politik warga negara.

Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo mengenakan pakaian Raja Jawa, Ageman Songkok Singkepan Ageng dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat saat perayaan HUT ke-78 Republik Indonesia di Istana Negara Jakarta, 17 Agustus 2023. (presidenri.go.id)

Sebagai pemimpin baru, Prabowo tidak terlihat mempunyai kemampuan menjadi seorang populis. Dia tidak blusukan ke pasar, tidak masuk ke gorong-gorong, atau segala macam aktivitas berkotor-kotor seperti yang dilakukan Jokowi. Jadi wajar jika Presiden ke-8 ini terus-terusan nemplok pada Presiden ke-7.

Padahal jika dirunut, protes-protes dan kemunculan tagar #IndonesiaGelap, #KaburAjaDulu, dan sebelumnya #PeringatanDarurat pada 2024 merupakan akumulasi dari ketidakpuasan terhadap kepemimpinan Jokowi di akhir masa jabatannya setelah 10 tahun berkuasa. Beberapa pengamat menyebut masa 10 tahun terakhir di Indonesia sebagai: periode populisme predator.

Tarif Resiprokal Trump

Belum tuntas soal #IndonesiaGelap dan bermacam intrik politik di dalam negeri, masa awal kepemimpinan Prabowo Subianto ditingkahi masalah tarif resiprokal dari Donald Trump. Kebijakan kontroversial dari Presiden Amerika Serikat tersebut mengharuskan Indonesia membayar pajak yang lebih besar untuk mengimpor barang ke sana.

Kebijakan tersebut membuat kelimpungan. Nilai tukar rupiah anjlok hingga Rp17.000, nilai saham drop, dan harga-harga kebutuhan pokok beranjak naik. Pemerintah belum mengambil sikap jelas untuk mengatasi kondisi ini, kecuali Prabowo mengajak kalangan pelaku ekonomi berdiskusi dan berencana melakukan negosiasi harga dengan Amerika Serikat.

Di saat genting, Presiden Prabowo justru mengeluarkan pernyataan yang kontradiktif. Pertama, menginstruksikan untuk membuka keran impor sebesar-besarnya tanpa menghiraukan kuota dan fleksibel pada ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Padahal, TKDN lahir dengan tujuan untuk mendorong pertumbuhan industri nasional.

Kedua, mengakomodasi pengungsi dari Gaza untuk dibawa ke Indonesia. Ada 1.000 orang pengungsi yang disebutkan Prabowo bakal ditampung di Indonesia. Tentu saja sontak muncul kekhawatiran bahwa situasi akan semakin memburuk. Karena dalam kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja, angka pemutusan hubungan kerja melambung, Indonesia justru ketambahan beban menampung pengungsi yang berjumlah tidak sedikit.

Ilustrasi - Pengabaian aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk mengatasi tarif resiprokal AS dikhawatirkan bakal mematikan industri dalam negeri. (Bloomberg)

Pada 1804 komposer kenamaan Jerman, Ludwig van Beethoven menciptakan Simfoni No. 3. Awalnya, Beethoven mendedikasikan karyanya itu untuk Napoleon Bonaparte. Beethoven menganggap Napoleon adalah pahlawan, rakyat jelata yang berani menantang kaum bangsawan dalam Revolusi Prancis.

Beethoven semula memberi judul karyanya sebagai Simfoni Bonaparte. Namun Beethoven kemudian merobek halaman pertama komposisi itu dan mengganti judulnya menjadi Eroica, yang berarti Heroik. Tak lain karena dia kecewa berat pada Napoleon, yang kemudian justru menobatkan dirinya sendiri sebagai kaisar. Bagi Beethoven, itu berarti pengkhianatan terhadap cita-cita Revolusi Prancis.

Pengkhianatan terhadap cita-cita bangsa Indonesia, itulah yang dikhawatirkan kalangan prodemokrasi, seniman, aktivis, dan kaum intelektual. Sehingga wajar jika kecemasan soal masa depan Indonesia yang gelap masih terus ada.