Bagikan:

JAKARTA - Debut akting sejak tahun 2011, Omara Esteghlal punya keberuntungan karena ia kerap memerankan karakter anak sekolah. Berbagai variasi peran ia mainkan, terkadang perannya menjadi sorotan namun tidak jarang ia menjadi bayangan dari karakter utama.

Akan tetapi, ada yang berbeda dari peran terbaru Omara. Ia menjadi Jefri, salah satu anak SMA dalam film teranyar sutradara Joko Anwar, Pengepungan di Bukit Duri. Jefri diceritakan menjadi rival dari Edwin (diperankan Morgan Oey), seorang guru yang baru masuk ke SMA Bukit Duri.

“Aku sering memainkan (peran) anak sekolah, terutama SMA. Mungkin yang membedakan peran aku di sini dengan peran sebelumnya, seringkali potongan-potongan slice of life tentang kehidupan anak sekolah yang kita lihat sebagai wajah,” kata Omara Esteghlal saat berbicara dengan VOI, beberapa waktu lalu.

Beberapa film di mana Omara berperan sebagai anak SMA sebut saja Balada si Roy, Galaksi, Budi Pekerti, hingga waralaba Dilan 1990 yang membuat namanya mulai dikenal. Ia menyadari dirinya banyak memainkan peran anak SMA, namun kali ini perannya bisa memperhitungkan keaktorannya saat ini.

“(Peran selalu) menonjolnya ke satu-satu tapi sedikit sekali di mana aku men-highlight kekerasan tersebut dan kekerasan itu satu hal yang sangat fragile, rawan dan tapi ada sekali di anak-anak sekolah ini. Kekerasan, kebencian, dan kehancuran tersebut adalah titik beratnya di “Pengepungan di Bukit Duri” katanya.

Eksklusif Omara Esteghlal (Foto: Bambang E Ros, DI: Raga/VOI)
Eksklusif Omara Esteghlal (Foto: Bambang E Ros, DI: Raga/VOI)

“Kekerasan di film ini diciptakan bukan untuk sesuatu yang keren. Kita tidak nonton film superhero, kita tidak nonton film perang. Di sini, kekerasan dibuat mentah, sangat sakit dan dari gerakan pun secara teknis didesain agar kekerasan itu tidak cantik, semua kekerasan yang ditonjolkan di film ini adalah apa yang terjadi. Bang Joko (Anwar) sering memberitahu, kita tidak ingin adegan kekerasan seperti nonton film action,” jelas pria kelahiran 10 Agustus itu.

Sebagai salah satu pemain, Omara sempat khawatir bahwa peran dan filmnya ini dianggap mengglorifikasi kekerasan, namun ia banyak berdiskusi dengan para pemain dan sutradaranya. Mereka menunjukkan kalau kekerasan dalam film ini merupakan refleksi dari realita yang terjadi di mana tawuran dan kekerasan dinormalisasikan.

“Aku mencari spektrum emosi manusia di sini; kemarahan, kegelisahan, kesedihan, aku suntik semuanya di titik Jefri dilihat sebagai orang yang enggak bisa balik lagi, tapi untuk lanjut pun, dia ragu. Dia tahu, dia sudah sejauhnya manusia yang tidak wajar tapi kalau dia balik, dia akan jadi pengecut dan tidak tahu harus ngapain. Kegelisahan itu ketika point of no return, keputus-asaan dan kegelap-mataan, yang aku coba buat dengan baca teori psikologi, filsafat kehidupan manusia dan tentunya mencoba merasakan diri,” lanjut Omara.

“Pertama, approach yang kita lakukan terhadap segala karakter dan skrip itu sangat scientific bahkan kita belajar bukan hanya membuat tapi kita belajar psikologi, politik, sejarah Indonesia, sebelum kita bisa approach dan itu “diharuskan” soal belajar sejarah ini nanti ada bacaan, tontonan yang dikasih ke kita. Kedua, dari character sheet, kita dikasih breakdown character dan skrip yang sangat ekstensif. Ketiga, direksi yang sangat detail dan sangat adaptable terhadap scene tersebut. Keempat, lingkungan dan budaya kerja yang sangat-sangat sehat. Kita syuting kadang cuma 5 jam, 3 jam bahkan maksimal 5 sore udah pulang jadi hal tersebut datang dari produksi yang sangat sudah diperkirakan dan sudah direncanakan,” katanya.

Pendidikan Pengaruhi Lingkungan Sosial

Eksklusif Omara Esteghlal (Foto: Bambang E Ros, DI: Raga/VOI)
Eksklusif Omara Esteghlal (Foto: Bambang E Ros, DI: Raga/VOI)

Sebelum melanjutkan kariernya sebagai seorang aktor, Omara Esteghlal pernah mengemban pendidikan di Amerika Serikat di mana ia lulus dari dua jurusan dari perguruan tinggi yaitu filsafat dan psikologi. Pria kelahiran tahun 1999 itu merasakan perbedaan saat bersekolah di dua negara juga merefleksikan cara ia belajar. Bekal itu yang ia bawa untuk mendalami peran Jefri.

“Pas (sekolah) di Jakarta juga tinggal di sekolah yang sangat menolak adanya tawuran, kalau orang tawuran pasti dikeluarkan - tidak ada toleransi terhadap kekerasan, tapi ketika kita bilang apa perbedaannya yang signifikan dari kultur belajar Indonesia dan Amerika. Ku pelajari, di Amerika itu adanya dialog antara guru dan murid jadi guru ngomong ABC, kita tidak setuju, kita boleh angkat tangan dan bilang, sedangkan di Indonesia, guru ngomong ABC, kita setuju tidak setuju ya ngangguk aja karena apa? Dia guru,” kata Omara.

“Mungkin root system-nya banyak yang sudah membicarakan hal ini di media sosial. Ada seorang filsuf indo yang terkenal pernah membicarakan ini bahwa feodalisme dalam pembelajaran indonesia di mana ketika guru mengajarkan sesuatu itu satu arah, murid sudah nurut aja. Soal tawuran dan kekerasan, di Amerika, kita baca berita ada gang violence, school shooting, ketika anak dari minoritas ditonjok, itu masuk berita internasional. Di Indonesia, tawuran itu hal yang wajar dan menurutku lumayan bodoh karena kenapa kita mewajarkan tawuran?” tuturnya dengan semangat.

Eksklusif Omara Esteghlal (Foto: Bambang E Ros, DI: Raga/VOI)
Eksklusif Omara Esteghlal (Foto: Bambang E Ros, DI: Raga/VOI)

Omara melanjutkan, ia melihat tawuran dan kekerasan di Indonesia dianggap menjadi kultur di lingkungan sosial murid-murid sehingga kekerasan itu seakan menjadi jawaban dari konflik. Kultur feodalisme itu juga terlihat dari fenomena kegiatan ospek kuliah yang menunjukkan penekanan dari yang senior kepada junior.

“Di Amerika, ketika aku merasa kekerasan bukan hanya masuk berita dan somasi dan dipenjara tapi juga dikeluarin dari sekolah, sedangkan di Indonesia, “Oh, ada tawuran!” besok ada lagi. Orang-orang yang ikut tawuran tidak dipertanggung-jawabkan. Secara society, kita harus lebih responsif,” tegasnya.

“Mohon maaf, adanya ospek yang menggunakan fisik itu juga adalah titik pertama dari adanya tawuran dan titik awal ini anak masuk ke sekolah ya seumur hidup bermimpi masuk sekolah untuk belajar, terus digebuk sama senior atas nama senioritas. Apa gunanya? Karena bisa menghormati lebih tua, tidak menghormati itu ada caranya. Jadilah orang yang terhormat. Dengan ospek nonjokin orang, sudah senior ikut tawuran, geng-gengan, hal seperti itu sebenarnya adalah refleksi bahwa mungkin anak-anak kita membutuhkan pengakuan. Anak itu membutuhkan individualitas, pengakuan, identitas bahwa dia ini seseorang dan dilihat oleh masyarakat,” ujar Omara.

Kontra yang Omara berikan kepada realita sebagai murid, dimainkan oleh dirinya sebagai Jefri dalam film terbarunya. Ia mengakui ada banyak kata-kata kasar yang ia gunakan untuk karakternya, namun kembali lagi, ia menjelaskan bahwa karakter itu refleksi dunia nyata yang relevan.

Bicara Dunia Jefri dan Pengepungan di Bukit Duri

Eksklusif Omara Esteghlal (Foto: Bambang E Ros, DI: Raga/VOI)
Caption

Bagi Anda yang sudah menonton Pengepungan di Bukit Duri, mungkin bertanya-tanya mengapa karakter Jefri sangat reaktif dan temperamental terhadap hal-hal di sekelilingnya, seakan tidak ada motivasi positif bagi karakternya. Omara sebagai pemerannya memandang Jefri adalah seseorang yang masih bertumbuh. Bukan mewajarkan, tapi mencoba memahami latar belakang karakternya yang bisa dilewatkan penonton.

“Jefri ini personifikasi orang yang gelap mata. Kenapa personifikasi yang sangat menarik, karena dia masih SMA. Brain anatomy-nya juga masih berkembang, masih di umur yang bisa nambah tinggi. Proses berkembangnya saja belum tuntas tapi yang ada di sekitarnya sudah snap. Apa yang viral, ikutan viral. Wah menghujat si A, mudah sangat reaktif juga bukan reaktif hal positif. Ketika membutuhkan kerja, reaktifnya begitu melihat atas yang mengatur sistem juga dipertanyakan - sebagai Jefri,” lanjutnya.

“Dunia Jefri pun sistemnya juga anjlok, pemerintah di film ini juga tidak baik-baik aja. Society-nya juga tidak baik-baik saja jadi hancur. Karena secara sejarah hancur, ya hancur juga bagi anak remaja yang populasinya banyak di negara, ya pemikirannya hanya kalau A ya B, kan cepat. Semakin dewasa mungkin menyadari proses berpikir kita semakin lama,” kata Omara lagi.

Eksklusif Omara Esteghlal (Foto: Bambang E Ros, DI: Raga/VOI)
Eksklusif Omara Esteghlal (Foto: Bambang E Ros, DI: Raga/VOI)

Omara ingin karakternya bukan diglorifikasi atau dipandang sebagai pahlawan sebab karakter Jefri adalah gambaran dari sistem yang gagal melindungi masyarakat, lingkungan dan pendidikan. Jefri yang diasingkan ke SMA Bukit Duri menjadi perenungan bagi penonton atau publik dalam melihat perkembangan masyarakat. Omara, sebagai aktor, ingin terus terlibat dalam diskusi, termasuk membintangi film-film yang memiliki muatan untuk membangun diskusi ke depannya.

“Karya seni adalah sesuatu yang indah apa pun bentuknya, dan ketika kita berseni, kita sudah berdiskusi terhadap audiens. Sesimpel aku pernah ngomong beberapa tahun lalu, mau filmnya romance yang tidak ada bobot sosial bobot secara politik, kita sudah menyajikan dua jam di mana orang duduk di bioskop dan diskusi. Semua orang itu memiliki porsi masing-masing dalam society dan sama pentingnya,” katanya.

“Ketika kita tahu apa yang kita lakukan dalam pekerjaan, skill kita dan kita lanjutkan demi kesejahteraan diri sendiri dan orang lain, aku yakin kita menjadi sesuatu yang lebih baik. Aku sebagai aktor akan terus akting di film yang menurut aku baik. Orang-orang yg berpolitik akan terus menciptakan harus terus menciptakan situasi kondisi negara yang sejahtera bagi orang-orang yang hidup, siapa? Bukan mereka saja tapi rakyat. Kita punya porsi masing-masing ke dunia ini. Kita harus tanggung jawab ke diri sendiri dan orang lain agar terus menjadi baik,” kata Omara Esteghlal menutup percakapan siang itu.