Bagikan:

JAKARTA - Belakangan ini, muncul kontroversi seputar Bisphenol-A (BPA) terkait dengan dugaan dampaknya terhadap kesehatan reproduksi, seperti infertilitas pada perempuan dan mikropenis pada laki-laki.

Namun, beberapa klaim tersebut ternyata belum terbukti secara ilmiah dan justru memicu kekhawatiran berlebihan di kalangan masyarakat.

Dalam hal ini, dr. Ervan Surya, Sp.OG, dokter spesialis kandungan dari Tzu Chi Hospital, dan Dr. Devie Rahmawati, M.Hum, dosen serta peneliti sosial dari Universitas Indonesia, meluruskan pemahaman publik mengenai isu ini.

Menurut analisis terhadap sejumlah studi ilmiah antara 2013 hingga 2022 tidak menemukan hubungan langsung antara BPA dan gangguan reproduksi. Studi tersebut menunjukkan, BPA tidak berkaitan dengan kondisi seperti endometriosis, kebutuhan akan program bayi tabung (IVF), atau sindrom ovarium polikistik (PCOS).

“Kita perlu berhati-hati dalam memahami penelitian yang tersebar di media sosial,” kata dr. Ervan.

BPA adalah senyawa kimia yang banyak digunakan dalam pembuatan plastik, termasuk galon air minum kemasan yang dapat digunakan berkali-kali. Terkait kekhawatiran, BPA dapat memicu persalinan prematur, dr. Ervan memaparkan, analisis terhadap tujuh penelitian juga tidak menemukan kaitan antara paparan BPA dan kelahiran prematur.

Ia menekankan, penyebab umum kelahiran prematur lebih sering terkait dengan infeksi daripada paparan bahan kimia seperti BPA.

Dalam diskusi tersebut, dr. Ervan juga menggarisbawahi, infertilitas disebabkan oleh beragam faktor. Pada perempuan, masalah pada tuba falopi, gangguan ovulasi, atau ketidakseimbangan hormon dapat menjadi penyebab utama. Sementara itu, pada laki-laki, kondisi seperti varikokel dan masalah sperma menjadi faktor dominan.

Ia mengingatkan, kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol sudah terbukti dapat menurunkan kesuburan, sementara dampak BPA terhadap infertilitas masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Sementara itu, Dr. Devie Rahmawati menyoroti bagaimana masyarakat saat ini mudah terpapar informasi palsu atau hoaks. Menurutnya, berita negatif cenderung lebih cepat menyebar dibandingkan informasi positif karena orang sering kali tidak menyadari dampaknya.

“Manusia memiliki kecenderungan untuk berbagi hal-hal yang menyentuh emosi, entah itu kebahagiaan, kemarahan, atau rasa jijik, karena ingin terlihat peduli,” kata Devie.

Ia menambahkan, keinginan untuk segera menyampaikan informasi kepada keluarga atau teman sering kali muncul bukan karena niat buruk, melainkan karena ingin merasa menjadi "pahlawan". Namun, lemahnya pemahaman dan minimnya pengalaman seseorang tentang suatu topik membuatnya rentan menerima informasi yang keliru.

“Jika seseorang tidak memiliki pengetahuan yang cukup, ia lebih mudah terjebak dalam informasi yang tidak benar,” ujarnya.

Selain itu, Devie menjelaskan, lingkungan sosial juga berpengaruh besar terhadap persepsi seseorang. Orang cenderung takut berbeda pendapat dan lebih memilih mengikuti mayoritas meskipun informasi yang beredar belum tentu benar.

“Misinformasi tidak hanya menimbulkan kebingungan, tetapi juga dapat memicu konflik di tengah masyarakat,” imbuhnya. Oleh karena itu, ia mengajak para penulis, kreator konten, dan pembaca untuk bekerja sama dalam mencegah penyebaran informasi yang salah.

Diskusi tersebut juga menekankan perlunya meningkatkan literasi informasi dan mengembangkan sikap kritis terhadap konten digital. Di era di mana arus informasi begitu cepat, kemampuan memilah fakta dari hoaks sangat penting agar masyarakat tidak mudah termakan oleh misinformasi.