JAKARTA – Di tengah kemajuan teknologi medis global, rumah sakit di Indonesia dituntut untuk bertransformasi. Bukan hanya pada layanan dan manajemen, tapi juga dalam hal investasi teknologi.
Namun, menurut Hadi Filino Gunarto, mantan CEO PT Pindad Medika Utama, investasi ini harus tepat sasaran, bukan sekadar mengikuti tren.
“Teknologi seperti MRI, CT-Scan, Cath Lab, bahkan AI bukan lagi pelengkap. Ini kebutuhan. Tapi kalau tidak direncanakan matang, bisa jadi alat mahal hanya pajangan,” ujarnya kepada wartawan, Selasa (10/6/2025).
Hadi yang juga pemerhati isu-isu kesehatan masyarakat ini menyoroti adanya kesenjangan akses teknologi antara rumah sakit besar dan kecil. Rumah sakit besar di kota-kota utama memiliki fasilitas lengkap, sementara rumah sakit kecil atau menengah sulit berkembang. Akibatnya, lebih dari satu juta warga Indonesia berobat ke luar negeri setiap tahun. Data Kemenko PMK 2025 menyebut kebocoran devisa akibat fenomena ini mencapai Rp200 triliun.
Investasi alat kesehatan bernilai miliaran rupiah tidak bisa dilakukan sembarangan. “Contoh, MRI harganya Rp15–25 miliar. Tapi tarifnya ditetapkan BPJS. Kalau tak dihitung cermat, alat bisa menganggur atau rusak sebelum balik modal,” ujar Hadi.
Ia menegaskan pentingnya studi kelayakan (feasibility study/FS) untuk semua rencana investasi di atas Rp500 juta. FS harus mencakup proyeksi pasien, biaya operasional, kesiapan SDM, dan analisis pendapatan.
“Kami dulu mewajibkan presentasi FS secara terbuka di depan direksi, agar tak ada keputusan impulsif,” tambahnya.
Jika investasi terlalu mahal, rumah sakit bisa bekerja sama. Skema leasing, pay-per-use, hingga profit sharing dengan vendor alat kesehatan kini banyak digunakan. Ada pula rumah sakit dalam satu grup yang berbagi alat dan membangun pusat diagnostik bersama.
BACA JUGA:
Selain alat medis, rumah sakit juga perlu berinvestasi di sistem informasi manajemen rumah sakit (SIMRS).
“Tanpa infrastruktur TI yang baik, pelayanan jadi lambat, klaim BPJS tersendat, dan data pasien rawan bocor,” ujar Hadi yang juga Pengurus Yayasan Komunikasi Literasi Kesehatan Masyarakat.
Sayangnya, banyak rumah sakit masih memandang TI sebagai beban, bukan investasi. Padahal sistem digital dapat mempercepat layanan, mengurangi kesalahan, dan meningkatkan arus kas rumah sakit.
Hadi menekankan, investasi harus berbasis kebutuhan nyata. Jangan hanya karena rumah sakit lain membeli alat baru, lalu ikut-ikutan. “Pemetaan data pasien dan epidemiologi lokal harus jadi dasar. Kalau banyak kasus stroke, prioritaskan layanan stroke terpadu, bukan robot bedah,” katanya.
Pemerintah sudah memberi insentif seperti pembebasan bea masuk alat kesehatan dan kredit lunak. Namun, implementasinya lambat karenabirokrasi dan kurangnya SDM yang mampu menyusun proposal i nvestasi yang kuat.
Sementara itu, rumah sakit swasta mengandalkan pinjaman atau reinvestasi. Maka, manajemen keuangan rumah sakit harus sehat dan berpandangan jangka panjang.
Menurut Hadi, rumah sakit yang sukses adalah mereka yang bisa mengelola investasi teknologi dengan bijak dan berbasis data. “Gedung megah dan dokter spesialis saja tidak cukup. Pasien butuh layanan cepat, akurat, dan manusiawi. Teknologi harus jadi mitra strategis, bukan beban,” pungkasnya.