JAKARTA – Kanker kolorektal atau yang biasa dikenal dengan kanker usus besar selama ini dikenal sebagai penyakit orangtua, kini mulai menyerang kelompok usia muda.
Di Singapura, jumlah penderita kanker usus besar dan rektum usia di bawah 50 tahun terus meningkat, bahkan di kalangan mereka yang menjalani gaya hidup sehat dan tanpa riwayat keluarga.
Salah satu kasusnya adalah Ambrose Lee, pekerja lepas di bidang psikologi. Ia divonis menderita kanker usus besar stadium 3 pada usia 36 tahun. Gejala awalnya adalah jantung berdebar dan sesak napas.
"Saya mudah lelah meski hanya berjalan sebentar. Awalnya saya kira ini efek jangka panjang dari infeksi Covid-19,” kata Lee, dikutip dari laman Singapore General Hospital.
Pemeriksaan ke dokter umum tidak menunjukkan kelainan, namun ia dirujuk ke Rumah Sakit Umum Ng Teng Fong. Tes darah menunjukkan sel darah merah yang sangat rendah. Awalnya dicurigai talasemia, namun infus zat besi tidak membantu.
"Ini memicu kecurigaan adanya perdarahan internal, sehingga dokter melakukan pemeriksaan lebih lanjut,” ujarnya.
Setelah berbagai pemindaian tak menunjukkan perdarahan, kolonoskopi dilakukan. Hasilnya, ditemukan tumor. Awalnya didiagnosis stadium 2, namun setelah operasi diketahui sel kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening dan menjadikannya stadium 3. Lee pun menjalani delapan siklus kemoterapi.
“Satu-satunya tanda hanyalah perasaan buang air besar yang tidak tuntas, yang saya alami selama setidaknya enam bulan sebelum diagnosis,” katanya.
"Walaupun saya rutin buang air besar dengan normal, saya sering merasa belum benar-benar bersih," tambahnya.
Kasus seperti Lee menjadi bagian dari tren peningkatan kanker kolorektal usia dini, yakni yang menyerang mereka di bawah usia 50 tahun. Sebuah studi oleh SGH dan NCCS menganalisis 53.044 kasus kanker kolorektal dari 1968 hingga 2019, menemukan bahwa 6.183 di antaranya terjadi pada usia 20-49 tahun.
Tingkat kejadiannya meningkat dari 5 per 100 ribu penduduk pada 1968 menjadi 10 per 100 ribu pada 2019. Kenaikan ini mencolok di kelompok etnis Melayu dan sebagian kasus rektum pada etnis Tionghoa.
“Sekitar 10-12% dari seluruh kasus kanker kolorektal tiap tahun terjadi pada pasien usia di bawah 50,” ujar Dr Lionel Chen, konsultan bedah kolorektal di SGH.
BACA JUGA:
Prof Dawn Chong dari NCCS menambahkan, “Beberapa pasien muda memiliki kondisi genetik seperti familial adenomatous polyposis atau kanker kolorektal herediter non-poliposis.”
Dr Chen menegaskan pentingnya riwayat keluarga. Jika ada anggota keluarga dekat yang didiagnosis di usia muda, skrining sebaiknya dimulai sejak usia 40 atau 10 tahun lebih awal dari usia diagnosis termuda dalam keluarga.
Lee sendiri baru mengetahui bahwa nenek, bibi, sepupu, dan pamannya juga pernah didiagnosis kanker kolorektal. Kemoterapi menjadi pengalaman berat.
"Saya bergulat dengan pertanyaan seperti, ‘Kenapa saya?’ dan ‘Apa yang akan terjadi selanjutnya?’,” ujarnya.
“Kadang saya bahkan tidak bisa bangun dari tempat tidur atau melakukan apa pun karena benar-benar kehabisan energi. Rasanya seperti mabuk berat, tapi tiga kali lebih parah,” tambahnya.
Namun tidak semua kasus disebabkan genetik. Prof Chong menyebut bahwa pola makan tinggi daging olahan dan merah, kurang olahraga, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, dan obesitas turut berperan.
Dr Chen menuturkan kasus lain, seperti pasien usia 20-an dengan gejala yang awalnya diduga irritable bowel syndrome.
"Setelah gejala memburuk, ternyata ia mengidap kanker usus besar meski tidak punya faktor risiko sama sekali,” kata Dr Chen.
Sebagian besar pasien muda mengalami gejala seperti darah di feses, nyeri perut, dan perubahan pola buang air besar. Tapi, karena usia muda sering dianggap kecil risikonya, diagnosis biasanya datang terlambat.
W.T. Tan, analis bisnis IT berusia 42 tahun, mengabaikan darah di feses karena mengira akibat wasir.
"Saya mengabaikan gejala darah di feses,” katanya.
Setelah menemui spesialis, kolonoskopi menunjukkan tumor di rektum. Ia pun menjalani operasi.
Ia mendorong orang untuk tidak menunda pemeriksaan dan mencari informasi dari sumber tepercaya.
"Konsultasi ke dokter sangat penting,” tegasnya.
Sejak dinyatakan remisi pada Mei 2023, Lee aktif di kelompok dukungan SemiColon yang kini beranggotakan hampir 300 orang.
“Saya tahu bagaimana rasanya didiagnosis kanker, jadi saya ingin mendukung orang lain yang sedang menjalani perjalanan serupa,” ucapnya.
Menurut Dr Chen, tren ini bisa menjadi alasan untuk meninjau kembali usia skrining. “American Cancer Society dan United States Preventive Services Taskforce sudah menurunkan usia skrining menjadi 45 tahun,” katanya.
Namun di Singapura, usia skrining masih 50 tahun untuk risiko rata-rata.
"Efektivitas biaya dari penurunan usia skrining harus dipertimbangkan,” tambahnya.
Untuk menurunkan risiko kanker kolorektal, para ahli menyarankan pola makan kaya serat, buah, sayur, dan biji-bijian utuh, serta aktif secara fisik. Batasi daging merah dan olahan, hindari alkohol, jangan merokok, dan pertahankan berat badan ideal.
“Jika Anda punya riwayat keluarga kanker kolorektal, pertimbangkan untuk mendiskusikan skrining lebih awal dengan dokter." ujar Dr Chen.