Bagikan:

JAKARTA - Penyakit ginjal kini menjadi perhatian serius bagi pemerintah, mengingat dampaknya yang luas terhadap kesehatan masyarakat serta pembiayaan negara di sektor kesehatan.

Dalam upaya mencari solusi terbaik, berbagai pakar kesehatan berkumpul dalam sebuah diskusi publik pada Selasa, 11 Maret 2025 di Jakarta. Diskusi ini menjadi angin segar bagi pasien yang membutuhkan transplantasi ginjal, terutama mereka yang selama ini harus bergantung pada prosedur cuci darah seumur hidup.   

Wakil Menteri Kesehatan, Prof. dr. Dante Saksono Harbuwono, mengungkapkan bahwa hingga saat ini, transplantasi ginjal sudah dapat dilakukan di 19 pusat transplantasi ginjal yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Ke depannya, pemerintah berkomitmen untuk terus menambah jumlah fasilitas tersebut guna memperluas akses bagi pasien yang membutuhkan.

"Saya janji jumlahnya akan terus bertambah," ujar Prof. Dante dalam diskusi tersebut, dikutip dari laman Kementerian Kesehatan.

Melalui program transformasi kesehatan rujukan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah membangun jejaring rumah sakit yang fokus menangani penyakit katastropik, termasuk kelainan ginjal. Penyakit ginjal sendiri masuk dalam kategori penyakit katastropik, karena jika tidak ditangani dengan baik, dapat menyebabkan peningkatan biaya kesehatan secara signifikan.

"Apabila penyakit ginjal ini tidak kita tangani dengan baik, pembiayaan kesehatan akan terus meningkat seiring waktu," tambahnya.

Saat ini, perawatan pasien gagal ginjal yang menjalani cuci darah membutuhkan biaya sekitar Rp 420 juta per tahun per pasien. Di sisi lain, transplantasi ginjal yang membutuhkan biaya sekitar Rp300 juta hingga Rp350 juta dinilai lebih hemat dalam jangka panjang.

Prof. Dante menegaskan bahwa transplantasi ginjal bukan hanya solusi medis, tetapi juga memiliki dampak sosial dan ekonomi yang signifikan.

"Transplantasi ginjal adalah solusi sosial yang efektif dengan manfaat yang jelas dari segi biaya dan kesejahteraan pasien," jelasnya.

Selain mengurangi beban finansial negara, transplantasi ginjal juga meningkatkan kualitas hidup pasien, yang sebelumnya harus menjalani prosedur cuci darah berkala dengan berbagai keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari.

Salah satu tantangan utama dalam transplantasi ginjal di Indonesia adalah kurangnya ketersediaan donor organ. Prof. Dante menyoroti bahwa masih banyak masyarakat yang ingin mendonorkan ginjal, tetapi tidak mengetahui prosedur dan langkah-langkah yang harus ditempuh.

"Pendidikan dan sosialisasi mengenai donor ginjal harus terus dilakukan agar masyarakat lebih memahami pentingnya berbagi organ untuk membantu sesama," ungkapnya.

Pemerintah berencana untuk meningkatkan literasi masyarakat mengenai pentingnya donor organ melalui berbagai kampanye dan kerja sama dengan komunitas kesehatan.

Dengan meningkatnya pemahaman masyarakat, diharapkan jumlah donor ginjal dapat bertambah, sehingga lebih banyak pasien yang bisa mendapatkan kesempatan untuk menjalani transplantasi.

Prof. Dante juga memberikan apresiasi kepada Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) yang telah menginisiasi diskusi ini. Menurutnya, keterlibatan komunitas pasien sangat penting dalam merancang kebijakan kesehatan yang lebih inklusif dan berbasis kebutuhan nyata di lapangan.

"Mudah-mudahan diskusi ini akan memberi masukan yang berharga bagi kami di Kementerian Kesehatan, untuk terus memperbaiki pelayanan dan memastikan bahwa layanan transplantasi ginjal dapat diakses oleh lebih banyak pasien di seluruh Indonesia," ujarnya.

Ia menegaskan bahwa pemerintah akan terus memastikan kualitas layanan kesehatan tetap terjaga, terutama dalam pelaksanaan transplantasi ginjal.

"Transplantasi ginjal akan tetap berjalan sebagaimana mestinya, dan ini adalah amanah bagi Kementerian Kesehatan sebagai lokomotif kesehatan di negara ini," pungkasnya.