Belajar Menempatkan Istilah dan Simbol Keagamaan yang Pas
JAKARTA – Sejumlah film horor kerap menggunakan istilah dan/atau unsur agama Islam dalam judulnya. Terbaru, film berjudul “Kiblat” menuai pro dan kontra karena tersandung hal tersebut. Majelis Ulama Indonesia pun dengan tegas meminta agar para sineas tanah air menempatkan penggunaan istilah dan simbol agama secara pas.
“Prinsipnya, kita harus menggunakan istilah dan/atau simbol agama pada tempatnya yang pas,” ungkap Ketua Bidang Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh, Senin 1 April 2024.
Meski menimbulkan polemik termasuk seruan boikot terhadap Film Kiblat, dia mengatakan bahwa di internal MUI belum ada pembahasan khusus terkait film besutan Bobby Prasetyo itu. Termasuk, pembahasan perlunya fatwa terkait penggunaan istilah-istilah agama yang tidak sesuai dengan tempatnya.
“Biasanya, kami (MUI) menetapkan sebuah fatwa setelah ada pendalaman dengan informasi yang utuh,” tambah Niam.
Pendakwah kondang, Ustaz Adi Hidayat berharap agar polemik akibat Film Kiblat dapat mengedukasi para penggiat seni lainnya agar lebih berhati-hati dalam menghasilkan karya seni. Tak hanya pegiat seni, UAH-sapaan akrabnya-juga berharap ustaz-yang kerap ustaz membuat konten di media sosial, bekerja sama dengan TV, betul-betul berpedoman pada etis, moral, mengedukasi, dan mengarah pada kebaikan, bukan mencari peminat/penikmat dengan melahirkan kontroversi.
“Sah-sah saja membuat sebuah judul yang menarik perhatian. Tapi menjadi tidak sah itu dilakukan jika bertentangan, baik dengan nilai moral yang telah mengakar di masyarakat apalagi nilai keyakinan keyakinan tertentu,” terang UAH melalui akun TikTok.
“Untuk itu barangkali kita dengan segala hormat mendoakan kepada semua pegiat seni siapapun para artis dan lain sebagainya mudah-mudahan selalu sehat, sutadaranya mendapatkan ide-ide yang baik, brilian,” sambungnya.
UAH berpesan kepada para pegiat seni agar menyajikan film yang baik dan berkualitas kepada masyarakat Indonesia. Selain itu, mereka juga harus melakukan promosi dengan cara yang baik. Menurutnya, para pengiat seni tidak perlu membuat tema yang sudah sering diketahui masyarakat, tetapi isinya bertabrakan. Dengan membuat konten yang baik, maka film akan laris di pasaran.
“Tidak harus kemudian berkata, wah ini kan belum lihat saja isinya ya, bagus-bagus saja ya hal demikian. Tapi akan lebih bagus bila promosinya pun dilakukan dengan cara yang baik. Tidak perlu kita membuat sebuah tema yang rasa-rasanya akrab di telinga kalangan tertentu, masyarakat tertentu atau nilai religiusitas tertentu, tapi ternyata hal yang demikian sajiannya bertabrakan dengan pemahaman yang telah jamak dimengerti,” kata UAH.
Selain dari kalangan agama, kontroversi Film Kiblat ternyata juga mengusik sesama insan pembuat film. Sineas muda dari Rumah Produksi Khanza Film, Agus Riyanto pun turut menyoroti dan mengeluarkan pendapatnya.
“Saya sebagai produser dan sutradara muda di Indonesia sedikut terusik dengan keriuhan itu dan ingin menanggapi soal poster Film Kiblat yang menimbulkan polemik ditengah masyarakat. Buat saya, sebetulnya sah-sah saja seorang produser dan tim kreatifnya untuk membuat poster promosi tersebut. Tentu saja dengan ide kreatif yang menurut mereka pas dengan kandungan cerita. Tapi sejujurnya semua memang akan bertanya-tanya tentang apa makna poster tersebut,” ujarnya.
Menurut dia, akibat dari itu warganet dan para tokoh agama sudah marah duluan. Meskipun, Agus kerap bertanya-tanya, apakah kemarahan tersebut benar-benar murni atau hanya “gorengan” pihak-pihak tertentu.
“Kalau ini semata-mata gorengan saja berarti PH diuntungkan banyak karena sudah bisa promo gratis sebab banyak orang yang mempergunjingkan tentang poster tersebut. Tapi kalau niatnya melecehkan agama menurut saya sih mereka atau orang kreatif itu pastilah tidak berpikir seperti itu. Karena sejatinya film itu sebagai tontonan yang menghibur, ada makna yang baik di dalam film tersebut,” beber sineas asal Yogyakarta itu.
Agus mengungkapkan, meski terkadang ada strategi marketing yang memanfaatkan kontroversi, hampir tidak mungkin seorang sineas akan menjerumuskan dirinya sendiri kalau tidak ada maksud dan tujuannya. Apalagi membuat film itu juga butuh biaya besar. “Kalau kembali lagi ke bisnis kan setidaknya harus balik modal. Syukur alhamdulillah mendatangkan keuntungan,” imbuhnya.
Lantas, apakah karena bersandar pada nilai estetis semata, poster itu dibenarkan dan tidak dinilai sebagai pelecehan agama? Agus menegaskan, ada benarnya juga ketika poster tersebut dinilai tidak memiliki tujuan untuk melecehkan suatu agama ataupun kelompok tertentu.
“Dari sudut pandang nilai estetika, poster yang menyinggung agama mungkin saja memiliki elemen-elemen visual yang menarik atau memunculkan diskusi dalam konteks seni visual,” tukasnya.
Dia menambahkan, secara etika, menyajikan konten yang menyinggung keyakinan agama bisa dianggap sebagai tindakan yang tidak sensitif. Hal ini dapat merusak hubungan antarindividu dan komunitas serta memicu konflik sosial yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, penting untuk senantiasa mempertimbangkan dampak sosial dan moral dari karya seni tersebut, serta menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi.
Sebagai pekerja seni, Agus berpendapat bahwa sah-sah saja untuk membuat poster seperti itu karena seni itu bebas berekspresi. Tapi kalau ternyata poster itu menyinggung ras ataupun sebuah kelompok atau agama, maka sudah sewajarnya pihak produser meminta maaf dan merevisi apa yang ada di poster.
“Karena sejatinya kita sebagai pekerja seni memang tidak ada tujuan untuk melecehkan atau menyinggung suatu kelompok atau pun agama tertentu. Seni itu bebas tapi sopan dan bisa dipertanggungjawaban karyanya,” bebernya.
Produser Eksekutif film Surga Menanti ini menilai, belum tentu juga poster Film Kiblat menggambarkan sebuah cerita utuh dari film tersebut secara keseluruhan. “Saya yakin film kiblat tujuan isinya baik dan pastinya sebagai tontonan dan pasti ada tuntunannya. Jadi masyarakat jangan cepat marah dulu menanggapi sebuah film. Kita tonton dulu keseluruhan baru kita bisa komen dan mengkritik isi dari film tersebut,” kata Agus.
Dia menegaskan, pekerja seni harus respek terhadap agama dan pengikutnya. Sebagai seorang pekerja seni, sangat penting untuk menjaga rasa hormat terhadap agama dan pengikutnya dalam karya-karya yang dibuat. Bahkan jika ada niatan untuk menyampaikan kritik atau pandangan yang kontroversial, hal itu harus dilakukan dengan cara yang sensitif dan dipertimbangkan.
“Kalau saya akan memperhatikan dampak yang ditimbulkan oleh poster tersebut pada masyarakat, terutama jika menimbulkan reaksi negatif atau konflik. Sebagai pekerja seni, kita harus bertanggung jawab atas karya-karya kita dan mempertimbangkan dampaknya pada publik,” tutup Agus.