Segala sesuatu di muka bumi ini memiliki dua sisi: sisi baik dan sisi yang tidak baik—termasuk militer. Menurut Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), Dudung Abdul Qodir, S.Pd., M.Pd., terdapat nilai-nilai positif dari kebiasaan ala militer yang bisa diterapkan dalam dunia pendidikan.
***
Masalah anak atau siswa yang nakal menjadi perhatian berbagai pihak. Salah satu tokoh yang memiliki ide untuk menangani siswa dengan kebutuhan khusus ini adalah Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Ia mengusulkan agar anak-anak yang dikategorikan sebagai siswa berkebutuhan khusus diberi pembinaan di barak militer.
Usulan tersebut menuai pro dan kontra. Meski muncul perdebatan, tampaknya Kang Dedi Mulyadi (KDM) tetap pada pendiriannya. Sejumlah siswa di wilayah Purwakarta, Jawa Barat, yang tergolong berkebutuhan khusus kemudian mengikuti program pendidikan karakter di barak militer.
Program ini berlangsung di Resimen Artileri Medan 1 Sthira Yudha, Batalyon Artileri Medan 9, Kabupaten Purwakarta, dengan nama Pendidikan Karakter, Disiplin, dan Bela Negara Kekhususan. Sebanyak 39 siswa mengikuti program gelombang pertama yang berlangsung selama 14 hari.
Usai menyelesaikan program, para siswa diwisuda. Mereka berikrar untuk tidak mengulangi perbuatan negatif yang pernah dilakukan sebelumnya, seperti tawuran dan melawan orang tua. Ikrar tersebut mereka tulis di sebuah papan prasasti yang kemudian ditandatangani masing-masing siswa.
Suasana penuh haru pun menyelimuti acara tersebut. Anak-anak menangis menyesali perbuatan mereka dan berjanji tidak akan mengulanginya. Para orang tua dan keluarga yang hadir juga larut dalam suasana emosional.
Menurut Dudung Abdul Qodir, pendekatan pendidikan ala militer ini mengandung nilai positif jika dilakukan dengan tepat. “Memang dilakukan di barak militer, tapi bukan seperti barak militer yang sesungguhnya. Kita ingin menyelesaikan masalah dengan pembiasaan disiplin. Bangun tepat waktu, mengerjakan tugas dengan penuh tanggung jawab, kemandirian, kerja sama, kejujuran—semua dilakukan dengan pendekatan yang sesuai anak-anak, tanpa merampas hak mereka,” ujar Dudung saat diwawancarai oleh Edy Suherli, Bambang Eros, dan Irfan Meidianto di kantor VOI, Tanah Abang, Jakarta Pusat, 26 Mei 2025.

Kita dihebohkan dengan ide dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang menggiring anak berkebutuhan khusus (baca: nakal) untuk dididik di barak militer. Bagaimana Anda menanggapi hal ini?
Ini pertanyaan menarik soal ide Kang Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, yang mengarahkan siswa berkebutuhan khusus ke barak militer. Sebelum saya mengkritisi gagasan ini, mari kita lihat terlebih dahulu Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
Fungsi pendidikan itu ada tiga: pertama meningkatkan kompetensi peserta didik dalam aspek akademis. Kedua, meningkatkan potensi non-akademis siswa, yaitu lifeskill-nya. Dan ketiga, mengembangkan karakter peserta didik. Untuk mengembangkan karakter peserta didik, perlu sebuah proses yang terus-menerus: dibiasakan, dilatih, dan dipantau. Dengan begitu, akan terbentuk kebiasaan baik dalam diri siswa.
Hari ini kita dihadapkan pada anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus dalam aspek perilaku. Hampir di setiap sekolah pasti ada siswa seperti ini, karena karakter mereka tidak selalu sesuai harapan sekolah. Banyak yang menyebut mereka sebagai "anak nakal", tapi saya tidak setuju dengan istilah itu.
Kenapa?
Karena mereka sebenarnya memerlukan perhatian dan perlakuan khusus dari guru, orang tua, masyarakat, dan lingkungan sekitar. Gagasan Dedi Mulyadi muncul dari pengalamannya dalam dunia pendidikan di Purwakarta. Beliau khawatir, bila anak-anak ini diarahkan dengan pendekatan biasa, hasilnya tidak akan maksimal. Maka dipilihlah pendekatan disiplin melalui pelatihan ala militer di barak.
Kami di PGRI, termasuk PGRI Jawa Barat, ikut menjembatani ide ini kepada masyarakat. Meski dilakukan di barak militer, pendekatannya tidak sekeras seperti barak militer sesungguhnya. Tujuannya adalah pembiasaan: bangun tepat waktu, mengerjakan tugas dengan tanggung jawab, menumbuhkan kemandirian, kerja sama, dan kejujuran—semua dilakukan dengan pendekatan yang tidak merampas hak anak.
Apakah itu berarti PGRI mendukung gagasan Dedi Mulyadi?
Kalau niat dan tujuannya baik, tentu kita dukung. Tapi setelah itu harus dievaluasi bersama. Jangan buru-buru menolak tanpa argumen. Saya melihat Kang Dedi menawarkan solusi.
Contohnya, saat perpisahan usai program di barak militer, banyak anak yang menangis, terharu, dan menyesali perbuatan mereka. Setelah itu, mereka kembali ke rumah. Ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Bukan berarti sekolah dan guru gagal, justru ini mengamalkan ajaran Ki Hajar Dewantara: pendidikan dilakukan oleh keluarga, sekolah, dan lingkungan. Pendekatan yang dilakukan Kang Dedi termasuk pendidikan oleh lingkungan. Namun memang, prosedurnya perlu ditata dan diatur ulang agar tidak menimbulkan dampak negatif.
Apakah PGRI pernah dilibatkan atau dimintai masukan sebelum kebijakan ini diumumkan oleh Gubernur Jawa Barat?
Semua ini berawal dari isu yang fenomenal di Jawa Barat. PGRI Pusat memang tidak dilibatkan, namun PGRI Purwakarta ikut terlibat dalam kegiatan yang diinisiasi oleh Kang Dedi Mulyadi.
Saya sendiri pernah berkunjung ke Purwakarta, dan memang ada hal menarik di sana. Mereka memiliki Bale Atikan, tempat mendidik anak secara holistik: dari aspek pengetahuan, lifeskill, hingga ekspresi diri. Meski demikian, tetap ada anak-anak yang membutuhkan pendekatan khusus. Anak yang santun tentu beda cara penanganannya dibanding anak yang berani dan aktif. Maka pendekatannya pun harus berbeda.
Apa ada dampak psikologis jangka panjang yang bisa dialami anak jika pola pendidikan militer diterapkan?
Saya melihat ada beberapa sekolah yang bekerja sama dengan militer, seperti SMA Taruna Nusantara Magelang. Di sekolah itu ada pendekatan ala militer, walau tidak murni. Hasilnya, banyak alumninya sukses masuk akademi militer atau melanjutkan ke universitas ternama.
Kalau dari militer ada hal baik, kenapa tidak kita adopsi? Tapi tentu tidak semua siswa cocok dengan pendekatan ini. Hanya kasus-kasus tertentu yang bisa diterapkan dengan cara tersebut. Guru harus memahami kondisi kejiwaan siswa, agar saat menyampaikan pelajaran bisa tepat sasaran.
Apa pendekatan pedagogis yang terbukti efektif dalam menangani siswa dengan perilaku menyimpang atau berkebutuhan khusus?
Ada teori yang menyebut bahwa ketika seorang anak melakukan perilaku menyimpang, sebenarnya mereka ingin mendapatkan perhatian. Karena itu, dekati dan temani mereka dalam suka dan duka. Ini prinsip yang harus dipegang oleh semua guru. Saat guru mampu menunjukkan simpati dan empati, akan tumbuh rasa altruisme pada anak. Proses ini melahirkan "good feeling", seperti yang dikatakan oleh Bobby DePorter.
Pertemuan antara rasa baik dari guru dan murid itulah yang disebut Quantum Learning and Teaching. Guru bisa menyentuh hati murid dan sebaliknya, sehingga terjalin kerja sama yang menyenangkan. Inilah kunci dari proses pembelajaran yang efektif dan bermakna.

Apakah PGRI memiliki program atau pelatihan bagi guru untuk menangani siswa dengan latar belakang berkebutuhan khusus?
PGRI bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia untuk membuat proyek Sekolah Pelopor Gerakan Revolusi Mental di era Presiden Jokowi. Program ini bertujuan membangun sekolah yang berintegritas, beretos kerja, dan bergotong royong.
Yang pertama dilatih adalah guru-guru, mengenai bagaimana menyajikan pengembangan karakter yang berintegritas, beretos kerja, dan bersemangat, serta bagaimana mengembangkan nilai-nilai gotong royong. Program ini ditujukan untuk seluruh Indonesia, namun dilaksanakan secara daring karena keterbatasan anggaran. Jadi, belum efektif. Semoga di tahun mendatang bisa lebih baik. PGRI juga melakukan pelatihan bagi guru, baik secara daring maupun luring, untuk meningkatkan kompetensi mereka. Perlindungan guru itu ada pada peningkatan kompetensi tersebut.
Apakah PGRI bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah untuk pelatihan guru?
Semoga tahun ini bisa terealisasi. Negara harus hadir dalam peningkatan kompetensi dan kesejahteraan guru. Saya baru pulang dari Konferensi Guru Asia Pasifik di Bangkok. Salah satu isu yang berkembang di sana adalah: jika suatu bangsa ingin maju, maka harus memperhatikan profesionalitas, kesejahteraan, dan perlindungan guru. Dengan demikian, guru bisa berkontribusi dalam pengembangan sumber daya manusia.
Makan soto babat di Kota Baru
Rasanya enak terasa seperti dulu
Siapa saja yang memuliakan guru
Hidupnya sehat, berkah selalu.
Apakah aspirasi untuk meningkatkan kesejahteraan guru ini sudah disampaikan ke pihak terkait?
Pada bulan Oktober 2024, kami telah menggelar simposium yang mengundang pakar pendidikan nasional dan internasional. Kami sudah menyuarakan isu ini kepada pemerintah dan wakil rakyat. Negara harus hadir dalam menghadapi anomali dunia, anomali alam, dan anomali musim yang berdampak pada pendidikan. Jika tidak dilakukan mitigasi, kita akan tergilas.
Kabarnya PGRI mendorong UU Perlindungan Guru. Apakah soal perlindungan ini tidak diatur dalam UU Sistem Pendidikan Nasional?
Saat ini banyak guru yang dikriminalisasi oleh orang tua atau pihak-pihak lain, padahal yang dilakukan guru adalah mendidik anak. Ingat, Mahkamah Agung telah memutuskan bahwa guru tidak bisa dikriminalisasi.
Dulu, jika seorang anak melapor dimarahi guru, dia akan dimarahi lagi oleh orang tuanya. Sekarang, justru guru yang memarahi anak dilaporkan ke pihak berwajib. Ada UU Perlindungan Anak, tapi tidak ada UU Perlindungan Guru. Karena itu, dalam menghadapi persoalan hukum, guru sering kalah. Maka dari itu, diperlukan UU Perlindungan Guru untuk menjaga ketenangan guru dalam menjalankan tugasnya.
Dalam UU Sisdiknas sebenarnya sudah diatur soal perlindungan guru, namun implementasinya masih sangat minim. Guru berhak secara edukatif untuk bertindak dalam mendisiplinkan anak. Jadi, guru yang menjalankan tugas mendisiplinkan anak-anak tidak boleh diperkarakan secara hukum.
Ini soal persepsi yang keliru. Saya sepakat bahwa anak harus dilindungi. Kita punya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), tetapi mungkin edukasinya belum tuntas. Bahwa ada hak anak, hak orang tua, dan hak guru—keseimbangan ini yang belum disadari oleh masyarakat. Tugas kami adalah menyadarkan masyarakat bahwa tak ada guru yang ingin mencederai anak didiknya.
BACA JUGA:
Jadi, kehadiran negara menurut Anda apakah sudah optimal untuk memberikan perlindungan pada guru?
Jangan-jangan kita semua ikut andil dalam anomali perilaku anak-anak kita yang berkebutuhan khusus ini. Sekarang teknologi informasi begitu terbuka dan dapat diakses oleh anak-anak. Lalu, sarana dan prasarana sekolah masih belum lengkap: tidak ada lapangan, musalanya kecil, perpustakaan tidak lengkap, toilet tidak layak, dan lain-lain. Semua pihak harus terlibat—orang tua dengan pola parenting-nya, masyarakat dengan edukasinya—semua harus berperan.
Secara keseluruhan pemerintah sedang berupaya melindungi guru, tetapi karena masih ada kriminalisasi terhadap guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya, ini sebuah indikator masih lemahnya perlindungan terhadap guru. Sehingga PGRI menggagas dan mengusulksn RUU Perlindungan Guru.
Apakah Anda melihat adanya pergeseran beban tanggung jawab dari orang tua ke institusi pendidikan dalam mendidik anak, terutama anak yang dianggap “bermasalah”?
Sekolah memang punya beban yang berat dan suci dalam mendidik anak, walau di tengah segala keterbatasan. Guru sudah berupaya keras untuk meningkatkan kompetensi akademik dan non-akademik siswa. Penanaman karakter dilakukan setiap hari melalui pembiasaan. Namun jika di rumah kurang pengawasan, masyarakat tidak peduli, dan teknologi kurang mendukung, maka tugas sekolah menjadi sangat berat—apalagi jika dikaitkan dengan visi Indonesia Emas 2045.
Jadi, secara formal memang mendidik anak adalah tugas sekolah, namun secara hakikat, itu adalah tugas bersama semua pihak.
Jadi, soal anak berkebutuhan khusus dibawa ke barak militer, itu bukan kegagalan pendidikan sekolah dalam mendidik anak?
Menurut saya, itu bukan kegagalan sekolah. Dalam teori evaluasi yang bagus, dikenal kurva normal—ada yang bagus, sedang, dan yang tidak paham. Dalam pengembangan karakter pun sama, selalu ada anak-anak yang memiliki sikap kurang terpuji.
Apa yang ditawarkan oleh Dedi Mulyadi adalah sebuah solusi untuk mendisiplinkan anak-anak berkebutuhan khusus agar karakter mereka berubah ke arah yang lebih baik. Jadi, tidak semua yang berasal dari militer itu kejam. Mereka menggunakan pola pikir yang mekanis—meskipun tidak semuanya ideal—tetapi dalam pola tertentu ada sisi positifnya.
Apa yang dilakukan oleh Dedi Mulyadi perlu dievaluasi tanpa mengabaikan hak-hak anak. Saya mengapresiasi hal tersebut karena itu adalah bentuk terobosan dalam mendidik anak: bangun pagi, salat berjemaah, belajar bersama, yel-yel—semua dilakukan secara teratur. Maka, tidak heran jika setelah selesai pendidikan di barak militer, mereka merasa terharu.
Kalau sudah dievaluasi, apakah mungkin diduplikasi untuk daerah lain?
Setelah melalui kajian akademis yang komprehensif, program semacam itu bisa diterapkan di daerah lain. Tentunya, setiap daerah dapat memodifikasi sesuai muatan lokal dan keanekaragamannya masing-masing—tapi tetap dengan cara Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Semua pihak terkait harus dilibatkan, dan mekanisme pelaksanaannya harus disusun dengan baik. Dengan begitu, pola pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus bisa tepat sasaran, dan Jawa Barat dapat menjadi contoh dalam mendidik anak-anak tersebut.
Apa yang bisa dilakukan untuk meminimalisasi perundungan di sekolah?
Kepala sekolah dan guru bersama orang tua harus membuat deklarasi zero bullying. Guru harus menerapkan simpati, empati, dan altruisme kepada anak, agar tercipta suasana penuh good feeling. Guru juga harus berjanji untuk tidak melakukan kekerasan dalam bentuk apa pun kepada anak-anak. Sebab, guru yang profesional tidak akan mencederai fisik maupun psikologis anak didiknya.
Ada ajaran Mahatma Gandhi yang bisa kita implementasikan dalam mendidik anak. Kata Gandhi, tutur kata yang baik akan menumbuhkan keyakinan; maka guru-guru harus bertutur kata yang baik. Berpikir dengan baik akan menciptakan kedamaian. Dan menurut Gandhi, siapa saja yang ramah tamah dalam memberi akan mewujudkan cinta dan kasih sayang. Inilah nilai-nilai yang perlu kita tanamkan untuk melindungi dan mengembangkan karakter anak-anak.
Bagaimana dengan konsep Ki Hajar Dewantara dalam pendidikan?
Ya, konsep Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Artinya, guru harus mampu bersikap sesuai posisinya—di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, dan di belakang memberi dorongan.
Guru harus mampu memberikan konsep, menjadi teladan, serta memberikan pendampingan yang utuh kepada anak-anak. Termasuk dalam melatih kejujuran, kemandirian, dan keterbukaan.
Dudung Abdul Qodir: Antara Pengabdian, Organisasi, dan Keluarga

Keluarga bagi Dudung Abdul Qodir adalah segalanya. Karena itu meski sibuk dengan beragam aktivitas ia akan membagi perhatian untuk keluarga. (Foto Bambang Eros - VOI, DI: Raga Granada VOI)
Di tengah kesibukan sebagai pendidik dan sebagai Sekjen PB PGRI, Dudung Abdul Qodir, S.Pd., M.Pd., masih menyempatkan diri untuk berolahraga dan membagi perhatian kepada keluarga tercinta. Waktunya memang sempit, namun ia berusaha agar semua aspek kehidupannya tetap bisa terlayani.
Bagi Dudung, keluarga adalah yang utama. “Keluarga adalah yang utama bagi saya. Anak-anak saya harus sukses dalam kariernya, pendidikannya juga harus nomor satu,” ujarnya.
Sebagai Sekjen organisasi guru terbesar dan tertua di Indonesia, ia sangat menyadari pentingnya perannya. “Aktivitas di PGRI itu luar biasa sibuk. Bagaimana mengadvokasi guru, melayani kepentingan organisasi—mulai dari pengurus pusat, provinsi, hingga cabang. Kalau saya tidak sehat, ini bisa merepotkan organisasi,” katanya.
Karena itu, di sela-sela kesibukan yang padat, ia menyempatkan diri untuk berolahraga. “Dengan kesibukan yang demikian tinggi, saya harus menyempatkan diri berolahraga. Biasanya saya jalan pagi atau lari kecil. Soalnya kalau untuk olahraga lain seperti bulutangkis, sudah tidak kuat. Yang penting bergerak dan berkeringat,” kata Dudung yang kerap berjalan dan berlari di daerah pedesaan dan persawahan.
Sebagai seorang pendidik, ia menanamkan pentingnya kecintaan membaca kepada anak-anaknya. “Secara rutin saya membiasakan belanja buku untuk anak-anak. Membaca itu penting, karena bisa membuat kita yang tadinya tidak tahu menjadi tahu,” ujarnya.
Durian sebagai Penyemangat

Dengan kesibukan yng tinggi menurut Dudung Abdul Qodir ia sulit punya waktu untuk olahraga, namun ia menyempatkn waktunya meski sedikit. Yang penting bergerak dan berkeringat. (Foto Bambang Eros - VOI, DI: Raga Granada VOI)
Diakui Dudung Abdul Qodir, ada satu kebiasaan yang bagi sebagian orang yang peduli kesehatan mungkin dianggap kurang baik: kegemarannya berburu durian bersama teman-teman sejawat saat berkumpul.
“Terus terang ini saya akui sebagai kebiasaan yang kurang bagus. Tapi ini jadi penyemangat juga. Kalau ngumpul, ending-nya pasti berburu durian,” katanya terbahak.
Bukan hanya di Jakarta dan sekitarnya, perburuan buah yang khas dengan rasa dan aromanya ini bahkan dilakukan hingga ke luar kota.
“Saya sering diajak teman-teman berburu durian sampai ke Rangkasbitung, Banten. Jauh sekali, padahal di dekat TMP Kalibata juga banyak penjual durian,” ujar Dudung, yang bisa kalap makan durian jika tidak diingatkan.
Lalu mengapa harus sampai jauh berburu durian? “Kita memang harus merasakan suasana yang berbeda, jangan hanya itu-itu saja. Kadang ke daerah Kuningan yang agak dingin, lain waktu ke Rangkasbitung. Buat saya itu juga bisa jadi indikator kesehatan. Kalau masih bisa melakukan hal-hal itu, artinya saya masih sehat,” papar Dudung, yang masih mengingat pesan dokternya: boleh makan apa saja, asalkan tidak berlebihan.
Komitmen Memperjuangkan Nasib Guru

Sebagai Sekjen PGRI Dudung Abdul Qodir berkomitmen untuk membela dan mengadvoksi guru di seluruh Indonesia. (Foto Bambang Eros - VOI, DI: Raga Granada VOI)
Sebagai Sekjen PB PGRI, Dudung telah berkomitmen untuk memperjuangkan nasib guru di seluruh Indonesia, terutama yang menjadi anggota PGRI. “Saya terus terang tak bisa tidur nyenyak kalau mendengar atau mengetahui ada guru yang gajinya masih di bawah standar. Saya akan berupaya sekuat yang saya bisa untuk memperjuangkan hal ini,” ujar Kepala SDN Jatibening Baru V.
Saat ini, menurutnya, persoalan gaji guru sudah mulai menunjukkan perbaikan. “Alhamdulillah sekarang gaji guru sudah membaik. Memang masih ada yang masih di bawah standar, terutama guru-guru di bawah naungan Kementerian Agama. Karena itu, anggaran dari Kementerian Agama harus kita dorong agar kesejahteraan para guru bisa sejajar dengan guru yang berada di bawah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah,” kata Dosen STAI Bani Saleh, Bekasi, Jawa Barat.
Ia selalu berdoa agar hidupnya diberikan perlindungan dan keberkahan. “Saya senantiasa berdoa agar hidup saya sehat, diberikan keberkahan, dan bermanfaat bagi banyak orang—terutama para guru yang bernaung dalam organisasi tempat saya mengabdi,” tukas Dudung, yang saat ini sedang menjalani program S3 Pendidikan Bahasa di Universitas Muhammadiyah Prof Dr. Hamka (UHAMKA) Jakarta.
Ada satu hal yang menjadi penyemangat Dudung Abdul Qodir dalam mengadvokasi dan membela guru: “Yang menjadi penyemangat saya adalah pantun yang sering saya sampaikan dalam berbagai kesempatan: Siapa saja yang memuliakan guru, hidupnya sehat, berkah selalu. Terus terang, itulah yang membuat saya tidak pernah merasa lelah dalam mengadvokasi guru. Saya yakin hidup saya akan sehat dan penuh berkah,” tandasnya.
"Bertemunya rasa baik antara guru dan murid, itulah yang disebut Quantum Learning and Teaching. Guru bisa menggetarkan hati murid dan sebaliknya, sehingga terjadi kerja sama yang asyik antara keduanya. Inilah kunci dari proses pembelajaran yang baik,"